Lho? ( ͡° ͜ʖ ͡°)

5.8K 681 82
                                    

Budayakan vote sebelum membaca dan comment setelah membaca.

.
.

Begitu sampai di apartemen Jevan, mereka berdua langsung ke dapur untuk memasak. Setelah masakan selesai mereka memakannya berdua seraya menonton televisi.

“Gak ada yang seru acaranya,” kata Rose sambil mengganti chanel televise berulang kali.

“Nonton film aja kalau acaranya gak ada yang lo suka,” usul Jevan.

“Nonton film apa?”

“Lo cari aja koleksi film gue di laptop, nanti sambungin ke tv.” Jevan menunjuk ke arah laptopnya yang berada di samping kabinet televisi.

Rose mengambil laptop Jevan, mencari kumpulan film di file yang berjudul ‘West Film’ dengan polosnya. Ia bahkan tak mengetahui deretan film apa saja itu, padahal judul film-film hot and adult Amerika terpampang jelas di depan matanya.

“After, Killing Me Softly, Fifty Shades of Grey, aaaah ... Killing Me Softly kayaknya seru.” Guman Rose tanpa sepengetahuan Jevan. Karena laki-laki itu sedang asik mengunyah makanan seraya bermain PUBG.

Setelahnya Rose menyambungkan laptop ke televisi, dan film itu pun telah perpindah tayangan. Rose menonton film sendirian karena Jevan sibuk bermain ponsel, bermain game. Baru saja awal film Rose sudah disuguhkan oleh adegan yang cukup membuat mata perih. Tapi ia tak ambil pusing, namanya juga film luar negeri pasti ada saja adegan berciuman seperti itu. Sejauh ini filmnya tak meresahkan, hanya menceritkan tentang perselingkuhan si wanita dengan pria lain. Sampai akhirnya Jevan ikut menonton.

“Seru banget kayaknya?” Tanya Jevan yang baru selesai bermain PUBG.

“Iya nih.”

“Iy—ya,” Jevan membulatkan matanya saat sadar film apa yang Rose tonton. Salah satu film edukasi masa depannya.

“Hmm, Rose.” Jevan rasanya ingin menghentikan, tapi takut membuat Rose curiga.

“Iya, Jev.”

“Eung—gak jadi.”

Jevan jadi gelisah, dia hapal betul dengan film tersenut. Di mana letak adegan yang panas, karena sudah terlalu sering menonton. Harusnya tadi Jevan tak membiarkan Rose memilih film sendiri, karena koleksi filmnya rata-rata bertema 18+.

“Haduh berabe nih,” guman Jevan pelan. Bentar lagi, batin Jevan karena tahu setelahnya akan muncul adegan panas.

Setelah itu, adegan di film jadi tak kondusif. Si pemain utama pria membuka pakaiannya, dan perlahan membuka pakaian wanita seraya tetap berciuman. Dan setelahnya, mereka benar-benar naked tanpa sehelai benangpun. Rose mengedip-ngedipkan matanya berulang kali, masih tak menyangka dan cukup syok akan adegan tersebut. Jevan menatap Rose dengan rasa frustasi. “Lo gak seharusnya nonton film ginian.” Jevan buka suara seraya mematikan televisi.

“Gue gak tahu, gue cuma pilih yang judulnya kelihatan menarik dan seru.”

“Lain kali cek dulu genre sama rate filmnya."

“Ya gue mana tahu.”

“Memangnya lo sama sekali gak tahu ini film apa? Film ini populer banget loh.”

Rose menggeleng, gadis itu menutup wajahnya, malu sekali karena menonton film dewasa berdua dengan Jevan. Gue gak polos lagi, ringis batinnya.

Jevan menghembuskan nafasnya. “Haduh jadi panas gini si?” Jevan mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah.

“Jev, gue mau pulang. Sudah malam soalnya, takut nyokap nyariin.” Rose hendak pamit pergi, namun Jevan mencekal tangannya.

“Tanggung jawab dulu baru pergi.” Jevan memberi smirk pada Rose.

“Ha?”

Tanpa diduga Jevan merebahkan tubuh kecil gadis itu di sofa, dan menindih tubuh Rose. Ia menopang tubuhnya dengan salah satu tangannya, sedangkan tangan lainnya di sisi tubuh Rose.

You drive me crazy, Rose.” Bisik Jevan dengan begitu sensual.

Rose masih terdiam dengan mata membelo. Masih tak dapat ia tafsirkan akan apa yang terjadi kali ini. Jevan mendekati wajahnya pada Rose, sedikit demi sedikit. Sampai akhirnya hidung mereka bersentuhan, dan kemudian ... Cup—akhirnya bibir tipis Jevan menyentuh bibir tebal dan lembut milik Rose. Satu tangan laki-laki itu memeluk pinggang Rose erat, Jevan mulai memejamkan matanya perlahan.

Rose tentu terkejut, karena ciuman Jevan bukan sekedar kecupan singkat semata. Melainkan sebuah lumatan dalam dan intens. Lama kelamaan Rose mulai terbuai dan mengikuti permainan Jevan. Membalas ciuman itu meski bibirnya kaku. Gadis itu ikut memejamkan matanya.

Jevan yang merasa Rose nembalas ciumannya pun semakin memperdalamnya. Melumatnya dengan penuh kasih, sibuk bertukar saliva hingga tanpa sadar Rose mengeluarkan suara desahan yang memancing hasrat Jevan. Tangan Jevan perlahan turun ke perut rata Rose dan menelusup ke dalamnya, mengelusnya pelan seraya perlahan menaikkan kaus putih yang gadis itu kenakan.

Mereka rupanya lupa diri, hingga suara desahan terakhir gadis itu berhasil membuat Jevan tersadar. Ia membulatkan matanya, terkejut akan tindakan kurang ajarnya. Di sisa-sisa kesadarannya Jevan langsung melepaskan tautan di antara mereka dan berdiri menjauhkan tubuhnya dari Rose.

Rose masih terpaku, entah kenapa wajahnya antara ikhlas dan tak ikhlas saat Jevan melepaskan tautan di antara mereka berdua.

“Maaf,” kata Jevan lirih. Untung saja ia sudah lebih dulu sadar, padahal imannya sudah sangat tipis. Bahkan lebih tipis dari pada selembar tisu paseo.

“Kita harus hentiin ini sebelum terjadi yang lebih jauh,” lanjut Jevan lagi.

“Ha?”

“Maaf, gue gak bisa ngontrol diri.”
Rose masih tak dapat mengatakan apapun, perlahan ia memegang bibirnya, wajahnya perlahan memerah menahan malu. “Gue mau pulang,” kata Rose.

“Gue antar.”

“Gak usah, gue naik gojek aja.”

Rose buru-buru pergi dari apartemen Jevan. Dia malu, sangat malu karena bisa terbuai semudah itu oleh Jevan. Rose benar-benar telah kehilangan muka di hadapan Jevan.

Seperginya Rose, Jevan mengacak rambutnya frustasi. Ia takut bahwa setelah ini Rose akan menjadi benci dan ilfeel terhadapnya. Ia takut setelah ini Rose akan menjauhinya.

“Arghh, hormon gak bisa dikontrol banget sih, fuck!”


KUTUB (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang