Lebih baik

5.9K 732 186
                                    

Setelah Bundanya meninggal dunia, Jevan sempat tak masuk sekolah selama tiga hari. Hingga membuat Rose dilanda rasa kerinduan akibat lama tak melihat wajah sang pujaan hati. Tapi kini, sebuah Buggati Veyron hitam berhenti di pekarangan parkir sekolahnya. Siapa lagi jika bukan Jevan, satu-satunya murid yang memakai mobil mewah di sekolahnya.

Rose ingin menghampiri, tapi jam masuk pelajaran pertama sudah mulai. Alhasil ia mengurungkan niatnya untuk bertemu Jevan. Pada jam istirahat, Rose mencari Jevan ke kelas laki-laki itu. Tapi belum sampai ke lokasi, Rose sudah disuguhkan pemandangan menggelitik. Jevan bersama gengnya sedang dihukum di tengah lapangan, tangan mereka hormat pada bendera merah putih di atas tiang pada saat siang hari terik seperti ini. Rose memutuskan untuk pergi ke kantin lebih dulu guna membeli minuman untuk Jevan.
Rose berlari kecil menghampiri Jevan seraya membawa minuman di tangan kanannya. Kasihan Jevan, hari pertama masuk sudah kena hukuman.

“Jevan!” Panggil Rose, ia memberikan sebotol air mineral itu pada Jevan.

“Lo pasti haus kan?” Tanyanya.

Jevan mengangguk seraya menerima air mineral itu dan meminumnya di depan teman-temannya yang juga sedang kehausan.

“Jevan doang yang dikasih, padahal di sini ada enam orang lainnya.” Celetuk Jimmy.

Rose tertawa kecil. “Maaf ya, gak kepikiran. Gue beliin lagi buat kalian berenam, mau?”

Mereka mengangguk semangat, namun Jevan melarang. Ia melempar botol minumannya yang tinggal berisi setengah ke arah Jason dan langsung ditangkap secara spontan. “Gak usah, cukup satu buat berenam.” Kata Jevan yang kemudian menarik tangan Rose pergi dari lapangan, mengabaikan teriakkan teman-temannya di belakang.

Rooftop, tempat yang sudah jadi tempat wajib padi Jevan dan Rose. Tempat favorit untuk nenepi dari keramaian. Jevan menuntun Rose untuk duduk di salah satu bangku kayu, kemudian ia duduk di samping gadis itu.

Gadis itu mungkin bingung akan tindakannya, karena sejak datang ke sini. Jevan tak melakukan apapun bahkan mengeluarkan sepatah katapun. Sampai akhirnya sang gadis berdehem pelan dan memanggil namanya. Jevan menoleh kemudian bertanya, “kenapa?”

“Nggak jadi,” jawab Rose. Ia tertawa kemudian mengusak rambut Rose dengan gemas.

Setelahnya, selama beberapa saat mereka masih saling berdiam. Sampai akhirnya Jevan secara tiba-tiba merebahkan kepalanya di atas paha Rose, membuat sang gadis itu freeze seketika.

“Gue mau tenang untuk saat ini. Jadi, Rose ... Biarin kayak gini dulu untuk beberapa saat aja.” Ujarnya seraya menatap wajah cantik gadis yang ada di atasnya.

Rose tersenyum dan mengangguk, Jevan memejamkan matanya bersamaan dengan deru nafasnya yang kian teratur. Sudah tidur kah? Secepat itu?

Ia memperhatikan wajah tidur Jevan. Damai, tenang, polos, dan tanpa dosa. Jika sedang tertidur seperti ini, Jevan benar-benar polos seperti anak kecil. Gigi kelincinya, hidden dimple yang sangat lucu. Ia tersenyum tak henti mengagumi pahatan wajah sempurna Jevan. Ia sampai heran, sebenarnya Jevan ini manusia atau manusia keturunan dewa-dewi Yunani? Bahkan sedikit bekas luka di pelipisnya sama sekali tak mengurangi ketampanan laki-laki itu.

“Jevan,” guman Rose.

“Iya?” Dan tanpa didugi Jevan membalas, meski kedua matanya masih tertutup rapat.

“Kenapa lo bisa seganteng ini? Sumpah, lo buat gue sulit berpaling.”

“Bagus deh,” Jevan tersenyum kecil.

“Kok bagus?”

“Ya bagus, lagipula gue memang gak mau lo berpaling dari gue.” Jevan membuka matanya lalu bangun dari posisinya. “Rose,” ia menatap mata lawan bicaranya dalam.

KUTUB (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang