Rapuh

6K 709 92
                                    

Kabar mengejutkan tiba-tiba datang dari Jevan. Jason datang membawa kabar bahwa kedua orang tua Jevan mengalami kecelakaan lalu lintas dan kini sedang berada di rumah sakit, itu sebabnya hari ini Jevan tak datang ke sekolah. Tentu hal tersebut membuatnya terkejut, maka hari itu juga Rose dan teman-teman Jevan serta sahabatnya menyusul ke rumah sakit.

Begitu sampai di sana, Rose dapat melihat Jevan sedang terduduk di depan ruang UGD bersama dengan sekretaris Ayahnya. Rose ikut sedih melihat Jevan yang seperti ini, Jevan yang tengah menunduk sedih tanpa mengeluarkan air mata setetes pun. Mungkin Jevan menahannya karena tak ingin terlihat hancur di depan teman-temannya, tapi bukannya hal itu akan membuatnya hatinya lebih sakit?

Ketika Jevan menegakkan kepalanya, mata laki-laki itu berkaca-kaca. Sekeras itu Jevan menahan air matanya. Geng bangtan menghampiri, guna memberikan Jevan dukungan.

“Sabar ya Jev, kita berdo’a semoga kedua orang tua lo baik-baik aja.” Kata Raffa.

Saga merangkul bahu Jevan, “gue tahu lo orang yang kuat.” Kata Saga yang diangguki oleh yang lainnya.

Jisha menimpali, “kekuatan do’a itu adalah segalanya.”

Jevan mengangguk dan berucap terimakasih pada teman-temannya yang telah datang untuk memberikan dukungan. Setelah beberapa lama mereka menunggu, seorang dokter dan beberapa perawat keluar dari ruangan. Membuat mereka langsung menghampiri tim medis tersebut. Namun tanpa diduga bahwa salah satu dari perawat di sana adalah Jihan, si perawat UKS sekolah mereka.

“Kak Jihan,” gadis itu hanya tersenyum kecil ke arah mereka. Tapi Rose merasa bahwa senyuman Jihan adalah senyuman yang gadis itu tunjukkan pada saat Jihan menceritakan tentang kejadian meninggalnya anggota keluarganya saat di UKS tempo hari. Perasaan Rose menjadi tak enak.

“Dok, bagaimana keadaan orang tua saya?” Tanya Jevan pada dokter yang telah menangani orang tuanya.

Sang dokter menghela nafas berat. “Tuan Hirata mengalami pendarahan di kepala, namun beruntung karena pendarahannya masih ringin. Jadi kami bisa mengatasinya.” Dokter menghentikan kalimatnya sejenak. “Akan tetapi Nyonya Hirata mengalami henti otak—“

Dunia Jevan runtuh saat itu juga bahkan walaupun penjelasan sang dokter belum usai, ia tak dapat mendengarnya lagi. Hatinya sakit bersamaan dengan rasa bersalah yang ia pendam dalam-dalam selama ini. Ia tak menangis, bahkan terlihat frustasi pun tidak. Ia hanya terdiam dengan pandangan kosong, siapapun yang melihat pasti tahu betapa hancurnya hati Jevan.

Semua orang ikut bersedih akan berita tak terduga ini. Namun mau bagaimana lagi? Biarpun manusia sudah sekuat tenaga bertindak, kalau Tuhan sudah berkehendak, manusia bisa apa?

“Jev—“ belum usai kalimat Handoro keluar dari mulutnya, Jevan sudah lebih dulu menyela. “Maaf, gue lagi butuh waktu sendiri.” Setelahnya Jevan pergi meninggalkan semua orang. Rose yang melihat mengejar Jevan.

Ia mencari-cari Jevan ke segala penjuru, namun tak ia temukan. Sampai pada rooftop rumah sakit, ia melihat Jevan di sana sedang menunduk dalam. Berdiri di pagar pembatas sambil memandang ke arah jalan raya. Ia berjalan mendekat, “Jevan….”

Jevan menoleh dan saat itulah Rose dapat melihat air mata Jevan yang keluar dari sudut matanya. Jevan menghapus air matanya begitu menyadari kedatangan Rose. Rose mendekat dan saat itu Jevan jatuh terduduk di lantai.

Ia menyamakan posisinya dengan Jevan, kemudian membawa tubuh Jevan ke dalam pelukkannya. “Nangis aja, Jev. Gue janji gak akan bilang siapapun.” Hanya kata tersebut yang mampu keluar dari bibir Rose. Ia tak pandai berkata untuk menenangkan hati seseorang, maka yang bisa ia lakukan hanya berupa tindakan kecil.

Jevan menenggelamkan wajahnya di antara ceruk leher Rose, perlahan tubuh itu bergetar dan mulai terdengar suara tangis yang memilukan hati. Rose menngusap-usap punggung Jevan dan saat itulah tangis Jevan semakin pecah, yang awalnya hanya isakkan pelan, kini berubah menjadi isakkan yang lebih mengiris hatinya. Pertama kalinya Rose melihat Jevan yang dingin dan terkenal nakal ini begitu rapuh. Jevan si laki-laki gentle yang katanya tidak takut apapun, menangis di pelukkannya karena kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh Jevan, berusaha menyalurkan kehangatan sekaligus kekuatan untuk Jevan. “Gue gak tahu gimana caranya nenangin cowok saat lagi nangis, tapi gue harap lo bisa lebih relax saat ada di pelukan gue.” Gumannya.

Jevan menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Rose. “G—gue nyesel, gue nyesel pernah bilang kalau mereka gak usah balik aja selamanya ke rumah, karena terlalu sibuk sama urusan pekerjaan. Nyokap gue sudah pergi, itu semua karena omongan gak ngotak gue. Seharusnya gue gak bilang seperti itu walaupun lagi marah.” Jelas Jevan seraya menahan isakkannya.

Mata Rose panas, ia berusaha mati-matian untuk tak menangis. Melihat orang yang dicintainya rapuh seperti ini membuat Rose ikut sedih. “Lo gak salah, Jev. Itu sudah jadi kehendak Tuhan.”

Jevan tak lagi berkata-kata, ia kembali menenggelamkan kepalanya di ceruk leher sang gadis. Hati Jevan hancur, namun adanya Rose membuat keadaannya menjadi lebih baik. Mungkin perlahan Jevan mulai menyadari, bahwa gadis yang pernah dibencinya ini adalah salah satu sumber kekuatannya. Mungkin juga laki-laki itu perlahan akan menyadari bahwa gadis ini telah memiliki sebagian kecil dari hatinya.

Pemakaman Bunda Jevan dihadiri oleh seluruh keluarga dan orang-orang terdekat, Rose datang bersama para sahabatnya dan geng bangtan, juga guru-guru dan beberapa staf SMA Bima Sakti lainnya sebagai penghormatan terakhir. Ada Ayah Jevan juga yang ternyata baru saja keluar dari rumah sakit.

Pandangan Rose tak pernah lepas dari Jevan yang sedang menatap gundukkan tanah di hadapannya dalam diam. Tatapannya lurus ke depan dan menyiratkan kesedihan yang mendalam, tatapan matanya gelap. Ini merupakan hari yang begitu kelabu bagi Jevan. Tak ada lagi air mata dari mata indah tersebut, mungkin air matanya sudah surut.
Gadis itu menghampiri Jevan saat sesi pemakaman usai, ia menepuk bahu Jevan dan laki-laki itu menoleh seraya memaksakan senyumnya. “Gue tahu, Jev. Lo cowok yang kuat, lo pasti bisa laluin ini.”

Jevan mengangguk, “boleh gue peluk lo?” Tanyanya. Rose merentangkan kedua tangannya seraya tersenyum dan Jevan menyambar tubuh itu. Memeluknya erat seakan tak ingin dilepas.

“Jevan.”

Mereka melepaskan pelukan tersebut, Ayah Jevan memanggil laki-laki itu. Ayah Jevan sebenarnya ramah dan baik hati, terlihat dari bagaimana cara pria parubaya itu memandangnya. Rose tersenyum menyapa Ayah Jevan dan dibalas pria parubaya itu dengan ramah.

“Jevan, ayo kita pulang.” Entah hanya di pendengarannya atau bukan? Tapi cara berbicara Ayah dan anak itu tampak canggung. Karena Rose memang tak mengetahui bahwa Ayah dan anak itu tak dekat karena jarang berkomunikasi, sekalinya komunikasi hanya jika Jevan terkena masalah besar di sekolah, terakhir mereka bertemu sebelum Bunda Jevan meninggal adalah saat Jevan masuk BK karena memukuli tiga orang siswa.

“Rose, gue pamit.” Jevan berpamitan bersama Ayahnya. Rose hanya dapat memandang kepergian Jevan yang kian menjauh dari penglihatannya. Ia sedikit merapikan selendang hitam yang menutupi surainya, kemudian pergi dari area pemakaman bersama yang lainnya.


KUTUB (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang