Brendon keluar dari minimarket dengan kotak rokok serta korek api yang ia simpan di kantong, sebatang yang ia nyalakan ia apit ke mulutnya. Asap mengepul keluar dari mulut dan hidungnya.
"Oke, Bren, siap siap ajalah," katanya pada diri sendiri, sambil menatap sekitaran dan tutup lubang pembuangan. Dirasa situasi aman, ia membukanya dan masuk ke dalam sana setelahnya menutupnya lagi.
Kini kegelapan yang membuatnya merinding hadir di mana-mana, Brendon menenggak saliva dan mengeluarkan ponselnya. Ia menyalakan mode senter kemudian dan keadaan terang-menderang lagi.
"Oke, semua itu cuman ada di kepala lo, Bren. Gak nyata, oke?"
Suara langkah yang berkecak karena ada genangan air setiap Brendon berjalan terdengar, bahkan suara detak jantungnya sendiri juga terdengar jelas. Ia terus berjalan di kegelapan yang minim cahaya itu, sampai, akhirnya ia menemukan benda yang ia cari.
Jam itu, masih di posisi yang sama, di tempat terakhir ia menemukannya.
Keadaannya pun, masih sama.
Brendon siap memungut, tetapi menarik tangannya lagi. Ia lalu melepaskan plastik kotak rokok, dan dengan hati-hati agar tak bersentuhan memasukkan jam itu serta serpihannya di dalam. Ia lalu memasukkannya ke kantongnya.
Oke, suasana semakin menenggangkan.
Badan Brendon panas dingin, terutama saat angin bertiup di belakang tengkuknya. Ia merinding dan langsung berlari sekuat tenaga hingga menuju gudang sekolah.
Oh sial, dia bolos hari ini.
Pakaiannya pun, bukan pakaian sekolah.
Ia akan tertangkap guru BP.
"Argh! Nyusahin! Gue kenapa, sih?!" teriak Brendon frustrasi, melempar rokok yang diapitnya sembarang, ia tak bisa berpikir jernih sekarang. "Ayo, Bren! Pikirin sesuatu!"
Sampai, sebuah ide akhirnya melintas.
Ide yang mengandung kepasrahan dan ketegangan tingkat tinggi.
Yaitu, melewati lorong dan menuju ke tempat Brendon masuk, gorong-gorong minimarket.
Menenggak saliva, Brendon menghela napas. "Oke, siap!"
Dan dengan gaya lari naruto, Brendon menerobos kegelapan. Di mulutnya menggigit ponselnya sebagai penerangan sementara kedua tangannya di belakang. Persis gaya shinobi.
Sampai di tempat tujuan, Brendon buru-buru keluar melalui lubang gorong-gorong. Napasnya memburu meski begitu ia lega telah keluar dari kegelapan tempat pembuangan itu.
Ia mengeluarkan jam dalam plastik dari kantongnya, memperhatikan tiap detail lalu memandingkannya dengan jam miliknya.
"Gue heran, kenapa gue beli jam ini, yak?" tanyanya pada diri sendiri.
Sebelum akhirnya menggeleng dan menuju toko perhiasan. Seorang penjaga perempuan, yaitu wanita dewasa, tersenyum melihat kehadiran Brendon saat itu juga. Ia membenarkan rambutnya dan menatap lekat pemuda yang kini berhenti di seberangnya.
"Mbak, garansi ada?" Brendon menyerahkan jam dalam plastik rokok ke penjaga toko itu.
"Lho, baru berumur sehari--"
Brendon memperlihatkan jam di tangannya. "Bukan punya saya, saya nemu doang. Cuman mau tau, apa garansinya berlaku?"
Brendon menghela napas tertekan ketika sang penjaga toko mengeluarkan jam yang sudah pecah itu dan menelitinya. "Kamu nemu di mana?"
"Di jalan, sih." Brendon menggedikan bahunya. "Kalau ada garansinya maunya sih, diganti baru. Tapi kalau gak ada dibaikin bisa, gak?"
"Ini udah rusak parah, dan lagi garansinya udah lewat tiga tahun lalu," jelas sang penjual toko.
"Waduh? Tiga tahun lalu? Seriusan? Emang siapa yang beli itu, huh? Kupikir itu keluaran terbaru!" Brendon mendengkus kesal.
"Ini jam limited edition, susah dapetinnya, produksinya pun jarang, ampe tiga tahun lebih sekali. Ini termasuk barang lama. Antik. Tapi jam kamu itu produksi tahun ini sementara ini jam empat tahun lalu. Emang modelnya sama, karena selalu laku sepanjang masa," katanya panjang lebar.
'Kasih tau aja sih siapa yang beli empat tahun lalu!' Brendon sejujurnya hanya ingin mendapatkan informasi itu, dengan berbasa-basi demikian karena ia yakin sang penjual tak akan memberitahukannya (atau malah memberitahukannya) kecuali dalam tekanan.
"Mbak bohongin saya, ya?"
"Enggak, Mas, enggak, kok!" Ia mengimutkan gaya bicaranya. "Liat, ini tahunnya!"
Dan yah, memang empat tahun lalu.
Lalu, ia mengeluarkan daftar pembelian yang terlihat usang dari rak yang penuh file di sana. Ia memperlihatkan itu pada Brendon.
"Ini, penjualan terakhir jam itu sebelum habis dan nunggu produksi baru, tahun ini."
Brendon memperhatikan tiap daftar yang ada, ia manggut-manggut. Tetapi kemudian melingkarkan mata sempurna menemukan salah satu yang tertera di sana.
Paling bawah.
Mega Natalia.
"Oh, oke, makasih infonya!" Brendon memasukkan jam itu lagi ke plastik kotak rokok dan mengerling.
Sang penjaga toko langsung hingar bingar kegirangan.
Sementara Brendon berbalik, memutar bola matanya sebelum akhirnya keluar dari toko. Ia memandang benda di tangannya sekali lagi.
"Mega beli jam ini?" Kemudian ia mengingat, dari segi detail di badannya yang ada waktu kali kedua ia bertemu Mega, di kantornya, Mega juga menanyakan jam yang ia kenakan.
Benar, ada hubungannya.
Sekarang, ia harus bertanya dengan wanita itu.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

KAMU SEDANG MEMBACA
YOUNG MARRIAGE, OLD MARRIAGE [Brendon Series - C]
Romance21+ Karena menginjak sebuah jam, Brendon, remaja SMA 18 tahun, tiba-tiba mendapatkan ingatan asing yang membuatnya jatuh cinta pada seorang janda muda anak dua, Mega.