"Brendon!" Mega buru-buru menghampiri sambil menjongkok di hadapan pemuda yang meringkuk dan menyembunyikan wajahnya itu, ia memegang bahunya dan terperanjat.
Panas.
"Brendon, kamu kenapa?" tanya Mega khawatir, Brendon mendongakkan wajahnya dan menatap sendu sang istri. Matanya sembab dan masih berkaca-kaca. "Kamu ... nangis?"
Ia pikir akan ada penyangkalan, namun nyatanya memang benar, Brendon mengangguk sebelum akhirnya air mata berjatuhan dari pelupuk matanya. Ia merengek layaknya bayi yang minta disusui, bahkan sembari memeluk Mega layaknya minta digendong ibunya.
Brendon sendiri tak tahu apa yang ia pikirkan, ia biasa menyimpan kesedihan ini sendiri tetapi ia berubah pikiran ketika melihat Mega.
Untuk kali ini, ia sangat ingin membaginya.
"Aku capek!" pekik Brendon menangis. "Aku capek!" Dan tangisannya mengencang, spontan saja membuat Mega panik karena pelukannya mengerat dan air mata Brendon membasahi kemejanya.
"Brendon, Brendon!" Mega berusaha memanggil Brendon agar ia sadar apa yang ia lakukan, hanya saja ia sadar satu hal yang kemudian mengurungkan niatnya menyadarkan pemuda itu.
Badan Brendon panas, gemetaran, dan basah. Kini tangisannya sesenggukan layaknya bayi yang kehilangan permennya. Mega jadi tidak tega, benar-benar tak tega meninggalkan Brendon sekarang.
"Mamah, Papah kenapa?" tanya Michael yang entah sejak kapan ada di ambang pintu kamar mandi. Posisi mereka yang berpelukan di mana Brendon memunggungi Michael membuat pria kecil itu semakin penasaran.
"Sayang, kamu jaga adek kamu, ya! Papah lagi sakit."
"Sakit apa?" tanya sang putra panik, terlebih mendengar isakan dari Brendon. "Panggil dokter, ya, Mah?"
"Papah demam, Sayang. Kamu sana jagain adek, ya! Entar kamu ketularan. Biar Mamah yang jaga Papah! Bentar lagi babysitter sama guru kamu datang, lho."
"Iya, Mah. Jaga Papah, ya, Mah, sampe sembuh!"
Mega tersenyum. "Iya, Sayang."
Micheal pun pergi, Mega berusaha membantu Brendon yang berdiri. Ia bisa lihat wajah pemuda itu pucat pasi. Padahal, ia ingat pagi tadi ia kelihatan sehat-sehat saja. Hanya berselang beberapa menit, sudah berubah.
"Pusing ...," rengek Brendon.
Mega terus membantunya berjalan hingga ke arah kasur, lalu membaringkannya pelan. Badan pemuda kelihatan gemetaran, ketika Mega meletakkan punggung tangan di kening suhunya begitu panas. Ia buru-buru keluar mengambil alat kompres serta termometer. Ia mengompres kening Brendon, lalu mengenakan termometer di antara lipatan tangannya.
Beberapa saat, ia melepaskan termometer dan menatap angka yang tertera. "Kamu demam tinggi, Brendon." Ia buru-buru mengeluarkan ponsel dari tas kerjanya, siap menelepon dokter tetapi tangan suaminya itu menahannya.
"Enggak mau ...." Layaknya anak-anak, Brendon merengek lagi.
"Kamu sakit, Brendon. Demam tinggi. Harus ditangani yang ahli." Mega mendekatkan ponsel di telinganya setelah mengetik nomor rumah sakit.
"Enggak mau! Maunya dirawat kamu aja! Gak mau! Gak mau! Gak mau!" Mega menatap jengkel Brendon, apa ini yang dikatakan masa puber? Mood swing?
"Brendon, aku harus kerja, lagi juga kamu harus diurus yang ahli!" tegas Mega. Panggilan pun tersambung, Brendon tak bisa lagi protes karena kepalanya yang pening menghalangi niatnya. Ia hanya bisa meringis sampai Mega selesai menelepon pihak rumah sakit. "Dokter bakalan datang."
"Di sini aja, ya!"
"Aku bakal di sini sampe dokter dateng."
"Jangan gitu ... di sini aja!" Brendon menatap Mega sayu dengan netra cokelatnya yang berkaca-kaca. "Aku mau kamu di sini aja. Aku mau cerita sesuatu."
"Brendon, nanti aja pas aku pulang kerja, kalau sekarang enggak bisa karena kerja adalah kewajiban aku." Mega menerangkan, ia tanpa sadar mengusap rambut Brendon persis seperti ibu ke anaknya.
"Aku mau cerita, setiap kecil, ketika aku sakit, aku selalu dirawat dokter. Orang tuaku? Entah mereka ke mana." Mega mengerutkan kening karena ucapan Brendon. "Dia ninggalin aku, alasannya sama, kerja. Mungkin pas aku mati, baru mereka lebih peduli gitu, kan, ya? Nangisin aku, ngelus nisan aku dan bukannya kepala aku, kek yang kamu lakukan saat ini."
"Kamu jangan ngomong gitu, Brendon. Maksud kamu apa?"
Brendon hanya tertawa, apa ini pengaruh sakit demam hingga ia meracau?
Brendon memegang tangan Mega di rambutnya, mengusap tangan itu dengan lembut. "Iya, pas aku sakit mereka gak ada buat aku. Alasannya sama kek kamu, kerja. Tapi kamu beda, kok. Bedanya mereka gak menciptakan kenangan indah sebelum pergi, mereka gak ngelus kepala aku. Mereka gak pernah lakuin itu."
Rasa iba bak air yang bendungannya jebol merasuki benak Mega. Entah racauan atau apa yang Brendon katakan, tetap saja menyakiti hatinya.
Orang tua Brendon bahkan tak pernah mengelus puncak kepalanya? Memberikan perhatian? Begitukah?
Mega sekalipun sibuk bekerja, ia tetap dan selalu menyediakan waktu khusus untuk ia dan anaknya. Demi tetap menjaga hubungan ibu dan anak yang baik. Sedang Brendon?
Dari wajahnya yang menutup mata, meski begitu senyuman lebar keluar, ia tampak menikmati elusan sayang Mega di kepalanya. Serupa kucing. Mega lalu mengusap pipinya, dan tepian kening yang tak terhalangi kompres. Brendon semakin tenang seiring ia beri sentuhan kasih ala ibu darinya.
"Stay ...," gumam Brendon, pegangannya melemah di tangan Mega dan mau tak mau Mega melepaskan tangannya darinya.
Ia mengecup pipi Brendon, sentuhan terakhir sebelum akhirnya dokter yang ditunggu datang. Usai ia memeriksa Brendon, lalu memberikan segala keperluan pemuda itu, barulah Mega berangkat ke tempat kerjanya.
Namun, di dalam mobil kini, isi kepalanya diisi oleh rasa kasihannya kepada suaminya.
"Stay ...." Suara lirih itu terngiang di kepala Mega.
"Pak Supri, kita balik lagi ke rumah, ya.Keknya hari ini saya cuti dulu."
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUNG MARRIAGE, OLD MARRIAGE [Brendon Series - C]
Romantizm21+ Karena menginjak sebuah jam, Brendon, remaja SMA 18 tahun, tiba-tiba mendapatkan ingatan asing yang membuatnya jatuh cinta pada seorang janda muda anak dua, Mega.