Part 7

9.3K 704 29
                                    

"Tu bocah masih di sana, Meg. Gila, tahan banget!" kata Nia memperhatikan ke arah dinding kaca yang mengarah ke taman belakang, Mega yang duduk di kursinya dan sibuk dengan pekerjaan hanya menggumam. "Dia gak makan, gak minum, cuman ngais-ngais kek ayam. Kasian tau!"

"Terus aku harus ngapain?" Mega menghela napas dan memandang sekretarisnya.

"Salah kamu lho itu, Meg. Bukannya bilang aja nolak, jangan langsung nyelonong aja ampe gak liat-liat nabrak orang. Kasian, mana masih muda."

Mega menggelengkan kepalanya dan kembali menatap laptopnya. "Salah dia, gak ada angin gak ada ujan, kenal enggak." Wanita itu mendengkus. "Kelakuan kayak berandal, masih SMA pula!"

"Keknya kalau kamu nolak gak usah reaksi segitunya, Meg. Kamu tadi ... enggak selow gitu," ujar Nia melangkah mendekati Mega, dan memperhatikannya. "Ada roman-roman yang ... gimana gitu."

"Cukup, Nia! Sana, kamu duluan pulang!" perintah sang atasan dengan kesal. "Cari jodoh sendiri sana!"

Nia menghela napas. "Iya, Bosku yang Galak!" Ia menyampirkan tas yang ada di atas meja seberang dan mengecup pipi Mega. "Dah, Sis!"

Mega tak menjawab, ia fokus ke laptopnya. Sampai, pernyataan Nia menghentikan aktivitasnya itu. Pikirannya kini melayang-layang mengingat kejadian pukul sepuluh pagi tadi.

'Serius dia masih di sana?' Mega bertanya dalam hati kecilnya, ia berdiri dan menuju spot di mana Nia tadi berada.

Benar, Brendon masih ada di sana, berjuang mengais-ngais tanah bererumputan demi mencari cincin yang Mega tanpa sengaja jatuhkan karena menabraknya. Rasa bersalah hadir, walau sebagian dirinya yang lain bersikeras itu kesalahan pemuda itu sendiri.

Langit senja yang menguning perlahan menggelap, menyelimuti dengan pekat, sepekat rasa bersalah yang hadir karena Brendon yang ia harap pergi saja tak beranjak dari tempatnya.

Kini malam, Brendon mengeluarkan senternya dan kembali mencari.

Tak tahan, Mega pun turun tangan.

"Duh, mana, sih, lu cincin?! Abis uang jajan gue buat beli elu, kan bisa dijual lagi, tuh! Brendon, Brendon, apa sih maksud lu pake acara ngelamar makhluk bebuntut dua dahal relation lo aja berantakan sama dia! Heck yeah, kenapa, sih, sama gue!" Brendon memukul-mukulkan senter ke kepalanya. "Beg*, beg* banget! Keluar lu film roman alay anjer!"

Dan senter yang ia pukulkan di kepalanya mati.

"Aduh, beg*!" umpatnya lagi kesal, entah berapa kali kebodohan yang telah Brendon perbuat hari ini.

Brendon menghela napas, hari sudah begitu gelap dan senternya tak lagi berfungsi. Memang pencahayaan ada tetapi terlalu minim karena dari lampu taman yang jauh. Tak ada harapan selain esok.

Oh, atau ada harapan lain.

Brendon merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya, dinyalakan senter di ponsel itu.

"Nah, oke juga. Syukur aja gak lowbat kek kemarin." Brendon tertawa pelan.

Ia berbalik, dan objek wajah yang tiba-tiba disinari oleh ponselnya yang tepat ada di hadapannya membuat pria itu berteriak seketika. Tepatnya, keduanya berteriak, namun hanya sesaat sampai keduanya sadar akan masing-masing.

"Eh, um ... Bu Natalia." Brendon menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.

"Brendon, cukup kamu nyarinya, ini!" Mega menyerahkan selembar kertas pada Brendon. "Tulis sesuai harganya atau lebih di cek itu, biar saya ganti, dan kamu pulang!"

Brendon menatap sekilas kertas cek di tangannya, sebelum akhirnya menyerahkan itu kembali ke pemiliknya.

"Gak, cincin itu limited edition, terlalu berharga, uang gak bisa digantiin." Brendon menatap serius wanita di hadapannya, tentu membuat Mega tercengang.

Bahkan Brendon sendiri, pria di dalam dirinya memekik keras, 'Harusnya lu ambil aja duitnya, anjer! Mayan buat jajan!'

Ia tak tahu, jantungnya terlalu tak karuan berdetak kala di dekat Mega. Rasanya selalu ingin menyenangkan wanita itu, membuat bangga wanita itu, segalanya ia pertaruhkan untuk wanita itu.

Semuanya karena rekaman sialan yang ada di dalam kepalanya.

"Ngeyel banget kamu! Kamu tahu, saya nolak lamaran kamu! Saya berusaha sabar dari kemarin, oke? Kamu cuman bocah ingusan, berandalan, cari cewek yang pantas dengan umur dan kelakuan kamu!" Kali ini Mega tak bisa menahan emosinya.

"Enggak!" Brendon membentak, ia memegang kedua bahu Mega yang membuat wanita itu membeku seketika. Mata cokelat keduanya saling tertaut erat memandang satu sama lain. "Saya maunya Anda, Bu!"

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

YOUNG MARRIAGE, OLD MARRIAGE [Brendon Series - C]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang