Part 3

14.8K 1K 25
                                    

Brendon meringis, bau yang campur aduk memasuki paru-parunya sehingga kepalanya yang pening semakin menjadi. Meski begitu ia berusaha mengangkat tubuhnya dari pembaringan dingin agar terduduk, mengerjapkan matanya dan menatap sekitaran yang gelap. Hanya secercah cahaya yang ada yaitu dari senter yang terletak tak jauh dari tempat Brendon saat ini.

Pemuda itu memaksakan diri berdiri, dengan penumpu adalah dinding dingin yang lembab. Ia berhasil berdiri dan kini mulai berjalan tertatih mendekati sumber cahaya. Dirasa badannya lebih leluasa dan kepalanya lebih baik ia melepaskan tumpuan dan mengambil senter di lantai.

Brendon menyinari sekitar, menghela napas panjang. Ia lalu melirik jam yang melingkar di pergelangannya.

"Gue tadi ngapain ya jadi di sini?" Ia berusaha mengingat kejadian beberapa jam tadi setelah keluar dari ruangan BP. Dia ke gudang, ke tempat pembuangan saat ini berniat bolos.

Sampai, benda itu ....

"HAH?!" Brendon terperanjat melihat jam pecah yang ada di lantai, jam yang sempat melukainya dan membuatnya tadi pingsan cukup lama.

Dilihatnya tangannya, ada luka kecil yang sudah tertutupi darah beku di sana.

"Hanjir, ni pasti banyak kumannya makanya gue infeksi!" teriaknya, menggema ke penjuru dinding.

Tetapi kemudian ia terdiam, karena sebuah film terputar di kepalanya. Film yang serupa sebuah video kenang-kenangan yang ia yakin milik orang lain namun kini bersarang di kepalanya. Kenangan-kenangan suka-duka seseorang bersama wanita bernama ....

"Mega."

Brendon memegang dadanya, entah kenapa jantungnya berdetak lebih kencang ketika mendengar atau mengucapkan nama itu. Ia tersenyum hangat, sebelum akhirnya menggeleng.

"Dafuq!"

Brendon kemudian berlari, sampai akhirnya bertemu sebuah tangga. Ia naik ke tangga itu, dan ketika di ujung ia mendorong penutupnya. Badannya keluar melalui area sana kemudian ia menutup kembali. Mengepakkan tangannya dan memasukkan senter ke tas, mata Brendon menyisiri sekitaran.

Ia ada di gang sempit, keadaan sekitar disinari cahaya jingga dan langit yang mulai menggelap. Waktu yang bagus.

Brendon menuju ke minimarket yang tak jauh dari tempatnya berdiri, membeli perban dan pembersih luka serta sekotak rokok dan korek api. Ia masuk ke salah satu toilet, menuntaskan panggilan alamnya dan membersihkan luka di jarinya.

Selesai membersihkan lukanya, Brendon keluar dari minimarket dan duduk di salah satu kursi pinggir jalan, berseberangan dan tak jauh dari minimarket, menyesap rokok yang telah ia patik. Mengeluarkan dan mengembuskan asap di udara.

Malam ini cukup sunyi, agak dingin dan lembab.

Sebuah mobil hitam melintas melewatinya, mata cokelat Brendon memperhatikan sampai mobil berhenti di depan parkir minimarket. Ia mengerutkan kening, posisinya sedikit condong ke depan memastikan apa yang ia lihat benar.

Ada seseorang, pria dewasa, dengan gerik mencurigakan yang perlahan mendekati mobil itu.

Dari mobil, keluar seorang pria dewasa dari pintu sopir, dan kala ia membukakan pintu di sebelah sang pria jahat itu akhirnya beraksi. Ia menyergapnya dan menodongkan pisau ke arah pria sopir itu dan sosok di pintu mobil yang sport-nya tak bisa Brendon lihat.

Karyawan minimarket yang berupa perempuan, tampak tak bisa bergeming dari balik dinding kaca.

Brendon mendengkus, dengan rokok diapitan mulutnya ia mulai mengendap mendekati mereka.

"Serahkan semuanya, cepat!" bentak pria penjahat itu.

Sosok di mobil Brendon lihat grasak-grusuk masuk dan mengacak-acak seisi tasnya.

Brendon sudah ada di tempat yang bagus, tepat ketika pria jahat itu lengah ia melepaskan putung rokoknya dan mengarahkannya ke pipi rampok tersebut. Berteriak keras, spontan ia melepaskan sergapannya dari sopir dan menghunuskan pisaunya ke Brendon.

Brendon mudah saja mengelak karena kondisi rampok tak memungkinkan untuk bertarung, terlebih tengah kesakitan sambil memegangi pipinya. Dengan mudah Brendon menendang perutnya hingga tersungkur di tanah, serta merebut pisaunya dan membuangnya ke selokan kecil yang ada di tepi jalan.

"Duit mana? Ganti rokok gue!" Brendon mengulurkan tangannya, perampok itu menatap nyalang sebelum akhirnya bangkit dan lari terbirit-birit. "Woi! Mau ke mana lo, hey!" teriak Brendon.

"Pak, Pak Supri enggak apa-apa?" Suara halus itu, Brendon mengenalnya, sangat mengenalnya. Hal yang membuat ia berbalik untuk menghadap ke arah sopir yang tadi ia selamatkan nyawanya.

Matanya melingkar sempurna.

"Gak papa, Nyonya. Saya enggak papa," kata sopir itu gugup.

Jantung Brendon berdebar, mata besar bewarna cokelat gelap, bibir tipis merah muda, rambut panjang terurai dan gaya kasual ala wanita kantoran. Ia sempurna, dewasa yang sempurna.

Tanpa pikir panjang Brendon memegang bahu wanita itu, membuatnya menghadapnya dan menatapnya dari atas ke bawah. Tentu saja, sang wanita kaget bukan main.

"Kamu gak papa? Ada yang luka? Kamu baik-baik aja 'kan?"

Wanita itu tersenyum paksa, sambil menurunkan tangan pemuda dari bahunya. "Saya gak papa, Dek. Terima kasih, ya!" Ia lalu merogoh tas yang ada di tepi pintu mobil, yang sempat ia acak-acak isinya. Menemukan sebuah kotak bewarna hijau, wanita itu menyerahkannya ke Brendon. "Ini permen nikotin buat kamu, Dek. Kamu masih SMA dan gak seharusnya merokok."

Brendon menyambut permen itu dari tangan wanita tersebut. Memandang kotak yang bertuliskan, 'Berhentilah merokok.'

Ia menatap wanita itu lagi, memegang dadanya yang berdegup kelewat kencang karena bahagia. Melihat wajahnya saja, rindu yang terpecahkan segera membasuh seisi sukmanya.

Tetapi tunggu ...

Brendon mengerutkan kening.

Memang mereka pernah bertemu sebelumnya dan punya hubungan spesial?

"Bangs*t!" Tanpa sengaja ia mengumpat sambil memegangi kepalanya yang lagi-lagi melihat kenangan ala film romansa drama di kepalanya.

Wanita itu memandang takut ke sopir. "Pak, belanjanya di tempat lain aja, ya," bisiknya.

"I-iya, Nyonya."

Mereka masuk kembali ke mobil, meninggalkan Brendon yang masih dalam mode kalutnya. Sampai, ia sadar dari isi kepalanya dan menatap sekitaran. Mobil sudah menjauhinya.

"Mega, tunggu!" panggil Brendon, namun percuma saja karena mobil terus menjauh.

Mega yang ada di mobil mengerutkan kening bingung.

"Kenapa, Nyonya Natalia?" tanya sang sopir melihat wajah Nyonya-nya dari balik kaca spion.

"Saya rasa ada yang manggil nama saya, tapi ... ah, mungkin cuman perasaan saya."

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

YOUNG MARRIAGE, OLD MARRIAGE [Brendon Series - C]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang