Mega menyeka sisa-sisa keringat di kening Brendon setelah ia melepaskan kompresnya. Pemuda itu kelihatan sudah lebih baik dibanding pagi tadi dan hal itu mengurangi kekhawatiran Mega.
Wajahnya kelihatan damai dan tenang.
"Aku capek ...." Tiba-tiba, Brendon menggumam. Mega pikir suami mudanya itu tengah mengigau akan tetapi matanya kemudian terbuka. "Aku capek hidup."
Mata Mega melingkar sempurna. "Kamu jangan--"
Brendon segera memutusnya. "Aku mau mati aja! Aku gak mau ...." Brendon terisak, air mata mengalir melalui pelupuk matanya. "Suruh suami kamu ngambil alih badan aku, buat selamanya, dan kalian bakal bahagia. Aku mau pergi dari dunia ini! Aku mau pergi!"
"Brendon!" pekik Mega kesal, ia memegang kedua tangan pemuda itu yang siap melepaskan infus dari tangannya. "Brendon ...." Ia menggelengkan kepala, sekarang ia sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan.
Di satu sisi, Mega memang ingin suaminya yang saat ini menempati badan pemuda itu. Hanya saja, mengambil kehidupan orang lain adalah hal yang amat kejam.
Sekalipun Brendon sendiri yang memintanya.
Ia ingin egois, namun melihat keadaan Brendon sekarang dan mengingat lagi Ferry yang berkata malam itu.
"Kamu kenapa? Kemarin kamu baik-baik aja. Ada masalah apa? Cerita sama aku. Aku ... istri kamu." Mega mengusap tangan Brendon, yang kemudian melemah dengan sendirinya.
Brendon menghela napas. "Kepalaku sakit." Kemudian, ia berpikir kembali. "Dan aku udah beberapa hari ini enggak ngerokok."
Ah, begitu.
Masuk akal.
"Aku mau stop ngerokok, sekalipun di luar rumah. Kasian nanti si kecil, agaknya napas aku bakalan bahaya karena racunnya," jelas Brendon kembali. Mega terkejut akan penuturannya yang sebegitu manisnya di telinganya. "Btw, thanks aja sih, kenapa kamu gak ngelarang aku merokok walaupun perjanjiannya aku kudu di luar rumah?"
Mega menggedikkan bahunya. "Kupikir itu cara kamu menghadapi depresi yang kamu derita. Kamu benci obat-obatan 'kan?"
Brendon memanggutkan kepala, ia menutup matanya sejenak.
Sampai Mega berkata, "Kamu cobain cokelat aja, lebih baik daripada rokok. Aku juga menghadapi depresi aku dengan itu." Ia kembali membuka matanya.
"Aku gak suka cokelat." Brendon menyeka sisa-sisa air di tepian matanya, lalu mengangkat tubuhnya. Mega membantunya karena dilihat ia masih meringis ketika menegapkan badan hingga akhirnya ia berhasil bersandar di kepala kasur.
"Kenapa gak suka cokelat?"
Brendon menggedikan bahu. "Gak suka aja, dari kecil, rasanya aneh soalnya."
Mega mengerutkan kening, kemudian tertawa. "Mungkin aja cokelat yang kamu makan bukan cokelat, tapi ...."
"Yikes!" Brendon menjulurkan lidahnya, berperaga muntah. Sementara Mega tertawa pelan. "Eh, apa tadi kamu bilang? Kamu juga punya masalah depresi?"
Mega mengangguk. "Dari kecil, aku bukan dari keluarga berada. Atau lebih tepatnya, aku gak punya keluarga. Aku tinggal di panti asuhan, dan di panti asuhan itu ... banyak kenangan buruk." Brendon menajamkan matanya, menatap serius insan yang tengah bercerita. "Sampai aku diadopsi keluarga Natalia, bertemu Mas Ferry, dan akhirnya ditinggalkan dia, tapi semuanya indah. Semuanya indah pada waktunya kalau kita terus berusaha."
"Wew, that's really deep," kata Brendon mengangguk. "Jujur aja, nasib kamu kurasa lebih buruk dari aku ... tapi kenapa aku selembek gini, ya?"
"Enggak juga, kok. Mental seseorang berbeda, dan gak ada yang tau pengalaman itu buruk atau enggaknya kecuali orang itu sendiri yang menjalaninya. Karena dilihat dari sisi mana pun, tanpa kejadian buruk, manusia gak akan pernah belajar sesuatu dan berkeinginan menggapai sesuatu, kebahagiaan."
Dan, sebuah suara seram berbunyi.
Brendon memegang perutnya, sementara Mega menatap pemuda itu di wajah serta tangannya yang memegang bagian perutnya.
"Sebentar, ya, aku siapin makan!" Berdiri dari duduknya, namun tangan Brendon menahannya. "Kamu diem aja di kamar, biar makanannya yang kubawa ke sini."
"Aku mau ke ruang keluarga, dong. Anak-anak ada di sana 'kan? Btw, demam gak nular 'kan?"
Mega tersenyum, ia lalu membantu Brendon berdiri dengan susah payah. Keduanya keluar sampai ke ruang keluarga, mata Michael dan si kecil Michelle bersama babysitternya memandang ke arah mereka yang datang. Brendon duduk di bawah sofa, bersandar dengan lega di lengan sofa.
"Papah!" Michael menghampiri Brendon dan bersandar di sampingnya.
"Jangan bikin capek Papah kamu, ya!" Mega pun beranjak ke arah dapur.
Brendon menatap dengan senyum lebar ke Michael, ia meluruskan kakinya dan menepuk pahanya. Seakan memberi kode agar duduk, Michael lalu menurut dan duduk di atas paha Brendon.
"Papah sakit apa? Muka Papah pucat," tanya sang putra memperhatikan wajah ayah tirinya.
"Cuman demam aja, kok. Bentar lagi juga sembuh." Brendon tertawa pelan. Michael merengut. "Jangan sedih gitu, dong, mukanya. Papah gak papa, kok!"
"Aku takut Papah kenapa-napa." Michael memeluk erat Brendon.
"Ish ish ish, dibilangin Papah gak papa, juga. Mending, kita main aja, yuk!"
Michael melepas pelukan dan menatap Brendon antusias. "Kita main apa, Pah?"
"Kita main--"
Pernyataan Brendon terhenti karena sebuah ketukan pintu.
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUNG MARRIAGE, OLD MARRIAGE [Brendon Series - C]
Romansa21+ Karena menginjak sebuah jam, Brendon, remaja SMA 18 tahun, tiba-tiba mendapatkan ingatan asing yang membuatnya jatuh cinta pada seorang janda muda anak dua, Mega.