Mega dengan khawatir menyentuh kening Brendon yang semakin memucat. "Astaga, panasnya naik."
"Oke, aku panggil dokter." Jeremy melangkah ke luar kamar dan menghubungi pihak rumah sakit.
Mega menyeka kening Brendon yang berkeringat. "Harusnya kamu jangan terlalu capek, Mas Brendon. Apalagi, beberapa hari lagi, kamu UNBK."
Brendon membuka matanya perlahan, Mega bersyukur suaminya sadar lagi. Ia mengecup puncak kepala pemuda itu. Brendon tersenyum hangat sembari menatap jam dinding.
'Ini bukan pukul satu malam, tapi aku bisa ...?' Brendon mengerakkan kedua tangannya diam-diam. Lebih tepatnya Ferry, ia yang menggerakannya sekarang.
Sementara Brendon, ia bisa menatap saja, ia bisa merasakan jantungnya berdetak ataupun mendengar, mencium bau dan merasakan. Tetapi ia tak bisa bergerak.
Kini, ia seakan terkunci di badannya sendiri dengan Ferry yang sepenuhnya mengambil alih.
"Sebentar lagi dokter bakal ke sini, eh dia udah sadar?" Jeremy yang baru masuk menghampiri keduanya. "Bagus, deh. Dan nggh ... kebetulan aku mau ngomong sesuatu juga sama dia karena sempet ngelakuin hal jahat."
Mega menatap Jeremy serius.
"Jujur aja, aku sempat ngejar dia, aku marah soalnya kalian kuliat tidur bareng di sofa waktu itu."
Kedua pipi Mega memerah. "Yah ... aku wajarkan itu, kok. Kamu pasti khawatir."
Jeremy menggaruk belakang kepalanya. "Yah begitulah, maaf, ya, Bren, sempet nyakitin kamu waktu itu."
Brendon tersenyum. "Yah, gak papa. Emang harusnya begitu." Ia melipat kedua tangannya dan menjadikan bantalan di belakang kepala kemudian menutup mata.
Di mata Mega, padahal Brendon pucat pasi dan berkeringat, namun dipikir-pikir Brendon kelihatan lebih baik sekarang. Mega menghela napas lega.
Namun nyatanya, tak ada yang berpikir soal Brendon yang merasa seluruh badannya seperti remuk seremuk-remuknya. Kepalanya sakit, pening, ia merasa sangat lemah dan lemas tetapi seakan dipaksakan tetap sadar. Walau akhirnya ia bisa tidur nyenyak setelah beberapa saat Ferry membuatnya menutup mata dan benar-benar tertidur.
Ia harap besok, ia akan lebih baik.
Ya, sedikit lebih baik.
Atau mungkin lebih buruk karena ia masih tak merasakan raganya. Ia di bawah kendali Ferry sekarang, hanya bisa berteriak melalui kepalanya dan tak ada yang mendengarkan.
"Pagi, Mas Brendon!" Mega mengecup puncak kepalanya sayang, perasaan Brendon tetap berbunga-bunga karena itu sekalipun ia merasa lumpuh.
Mega duduk di tepi kasur, mengambil piring di meja yang berisi makanan.
"Kamu sarapan, ya!"
"Iya."
Dan Mega mulai menyuapi Brendon. Betapa indahnya karena mata pemuda itu terpaku pada Mega. Hanya pada Mega. Brendon bisa melihat betul-betul bagaimana lekuk pipinya yang tirus, bibirnya yang kecil dan merah muda, lalu hidungnya yang lancip serta sorot matanya yang hangat. Perempuan yang teramat sempurna. Rambut panjangnya pun bergelombang dan rapi, pakaian kasual yang ia kenakan menambah kesan dewasa yang diimpikan banyak pria.
Brendon merasa beruntung.
Walau buntung, karena ia bukan dirinya lagi.
Apa Ferry akan mengambil alih tubuhnya sepenuhnya? Ia tak tahu ....
"Enak banget masakan kamu," puji Brendon tertawa pelan. "Sekalipun kamu sibuk kerja tapi sempet-sempetnya nyiapin sarapan."
"Yah, kalau aku punya waktu kenapa enggak? Toh, makan siang sama makan malam aku udah gak ada." Mega menekuk wajahnya, terlihat kecewa.
"Kamu ibu super." Brendon tersenyum sambil tertawa pelan. "Omong-omong, aku udah sehatan."
"Masa, Mas? Kamu pucat banget sebenernya."
Ya, Brendon bisa merasakan sakit kepala yang hebat yang bisa saja membunuhnya. Tetapi tubuhnya tak bisa diajak bertoleransi. Sungguh.
"Seriusan." Brendon berdiri, memperlihatkan tubuhnya dan bergerak lincah layaknya segar-bungar. Namun nyatanya rasa seperti ditusuk pisau seluruh tubuhlah yang ia rasakan.
Sakit.
"Iya, aku percaya. Tapi minum obat, ya."
Brendon pun menerima pil yang dibuka Mega, menelannya dengan sekali tenggakan dan meminum segelas air. Beberapa saat, rasa ngilu di sekujur tubuhnya perlahan sedikit mereda.
"Ya udah, aku berangkat dulu, ya!" Brendon memegang tangan Mega yang siap pergi, menariknya ke pelukannya agar lebih dekat sebelum akhirnya mengecup puncak kepala wanitanya itu cukup lama.
Mega terdiam, begitu manis perlakuan Brendon padanya. Kedua pipinya memerah dan bahkan ia tercengang ketika Brendon sudah melepaskan itu.
"Dah, hati-hati di jalan, ya!"
Mega sadar dari lamunannya, tersenyum kaku sebelum akhirnya berbalik dan pergi tanpa sepatah kata. Meninggalkan Brendon yang tadi tersenyum bahagia namun kini menajamkan mata cokelatnya.
"Oke, Brendon. Kita berangkat!"
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
YOUNG MARRIAGE, OLD MARRIAGE [Brendon Series - C]
Romance21+ Karena menginjak sebuah jam, Brendon, remaja SMA 18 tahun, tiba-tiba mendapatkan ingatan asing yang membuatnya jatuh cinta pada seorang janda muda anak dua, Mega.