53

1.5K 151 3
                                    

Dinda berlari tak tentu kemana tujuannya, intinya dia merasa malu jika harus berhadapan dengan teman temannya, terutama dengan Rian.

Hingga pada akhirnya, kakinya tersandung kerikil hingga membuatnya terjatuh.

"Ya tuhan" Hanya itu yang bisa Dinda ucapkan, air matanya semakin deras mengalir.

"Aku harus gimana ya tuhan, wajah ini harus ku taruh dimana?"

Dinda memegangi kakinya yang terasa sakit.

"Dinda!"

Merasa terpanggil, bukannya menoleh Dinda mencoba untuk kembali berlari, namun sayang kakinya terlalu sakit bahkan hanya untuk berdiri.

"Menjauh kalian dari Gue." Ucap Dinda.

"Din" Lirih Melin.

"GUE BILANG, MENJAUH DARI GUE!!"

Melin tak merasa sakit hati mendengar nada bicara Dinda yang sangat terdengar menyakitkan, ia justru sakit hati melihat sahabatnya ini mulai hancur perlahan.

Dengan cepat ia menghampiri Dinda lalu memeluknya.

Dinda sempat memberontak sebentar, tapi tak lama kemudian ia menerima pelukan Melin, bahkan ia menangis didalam pelukannya.

"Lepasin aja Din lepasin, gausah jelasin apa apa dulu." Melin mengusap punggung Dinda.

Dinda mengangguk, ia masih menangis dalam pelukan Melin.

"Feeling Gue ga enak nih tentang si Jom." Fajar berbisik pada Jonatan.

Jonatan mengangguk. "Tapi Rian gaboleh gini, mau siapapun Dinda, kalau dia benar benar sayang sama Dinda, dia pasti terima apapun yang terjadi."

"Tapi kan Jo, ini kan beda"

"Cinta tuh ga memandang apapun Jar! "

Fajar terdiam, mau bagaimanapun ucapan Jonatan ini ada benarnya.

Tak lama kemudian datang lah Kevin dan Rian.

Berbeda dengan Kevin yang datang terburu buru, Rian malah berjalan dengan santai menghampiri mereka.

"Yan?" Tanya Fajar.

"Untuk apa Gue harus kesini hm?"

Ucapan Rian barusan seketika membuat semuanya tak percaya, bahkan Dinda yang tadinya sedang menangis dipelukan Melin menghentikan tangisnya.

"Maksud lo apa?" Tanya Jonatan.

"Iya, untuk apa Gue harus kesini sih?"

Dinda menghampiri Rian, dengan wajah kacaunya dia berdiri dihadapan Rian.

Dinda menundukan pandangannya. "Maafin aku"

"Aku gapunya niat buat sembunyiin semuanya dari kamu, bahkan aku baru tau kalau Sye itu ternyata Alin, kakak kembarku, aku minta maaf Rian, demi tuhan aku gak ada maksud buat nyembunyiin---"

"Udah?"

Dinda mengernyitkan dahinya, kemudian ia menatap Rian. "Hah?"

"Udah jelasin hal yang gak pentingnya?"

"Maksud kamu?"

Rian berdecih. "Apalagi yang kamu sembunyiin? Keluarin aja sekarang, kamu sengaja deketin aku gitu terus mau bantuin Sye gitu biar aku semakin jatuh? Itu kan niat kamu sebenarnya."

Bugh!

Kepalan tangan Jonatan melayang pada wajah Rian, membuat Rian jatuh   seketika.

"Jo udah jo!" Teriak Dinda.

"LO GABOLEH KURANG AJAR SAMA DINDA! GITU GITU DIA PACAR LO!" Jonatan menarik kerah baju Rian.

Rian tersenyum kecut. "Pacar apaan yang punya niatan nusuk dari belakang?"

Tanpa menjawab Jonatan kembali menghadiahi Rian pukulan diwajahnya.

Dinda menarik Jonatan. "Jo udah Jo, semua yang Rian ucapin emang bener adanya!"

Dinda menghela nafasnya. "Aku memang gak pantas buat kamu, jika kamu berpikir aku demikian, itu hak kamu, sekarang terserah kamu mau bagaimana."

Rian mengusap wajahnya gusar, sebenarnya ia bingung bagaimana harus menghadapi masalah ini.

Dia mencintai Dinda, tapi ia sangat membenci masa lalunya.

"Di awal kita kenal kamu bilang kamu gak kenal siapa itu sye, dan sekarang fakta mengejutkan adalah kamu ini adik kembarnya."

"Aku terakhir ketemu Alin itu 10 tahun yang lalu sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan keluargaku! Wajar aku tak mengenal foto Sye yang waktu itu kalian kasih ke aku! Dari nama nya pun beda Rian."

Rian terdiam, memang ucapan Dinda ada benarnya, tapi itu tak membuat rasa sakit hati yang ia rasakan hilang begitu saja.

Rian membalikan badan, lalu ia berjalan menjauhi Dinda dan teman temannya.

"Jom? Mau kemana?" Tanya Fajar.

"Gue butuh waktu sendiri."

Melihat punggung Rian yang semakin lama semakin menjauh membuat hati Dinda terasa sakit.

Kenapa Rian tak mempercayainya?

Bukannya selama ini Rian begitu menyayanginya?

"Kalau lo butuh Gue, gue dikamar Mbak Ella ya, lo tenangin diri dulu aja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau lo butuh Gue, gue dikamar Mbak Ella ya, lo tenangin diri dulu aja." Melin mengusap bahu Dinda.

Dinda mengangguk. "Makasih ya Mel, sorry karena Gueingin sendiri dulu lo jadi harus ngungsi gini."

Melin tersenyum. "Gamasalah, yaudah Gue ke kamar Mbak Ella dulu ya?"

Melin menutup pintu, tinggalah Dinda sendirian dikamar.

Ia berjalan dengan lunglai menuju tempat tidurnya.

Ia tak menyangka, bahwa hari ini menjadi kacau sekacau-kacaunya.

"Hahh.." Dinda merebahkan badannya di kasur.

"Dinda harus gimana bunda.."

"Dinda harus menyelesaikannya dari mana?"

Air mata kembali lagi menetes dari mata Dinda.

"Dinda sayang sama Rian, Bunda. Bagi Dinda, Rian itu bisa menggantikan sosok seorang ayah bagi hidup Dinda.."

Ia mengambil ponselnya dan mengecek aplikasi pesan.

Rian sama sekali tak mengiriminya pesan.

"Sebenci itukah kamu?"

Dinda bangkit dari kasurnya, ia mengambil koper didalam lemari lalu merapihkan dan membereskan pakaiannya.

"Rian mungkin butuh waktu untuk menjernihkan pikirannya, berarti Gue gaboleh ada di sampingnya.".

AmethystTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang