57

1.6K 165 3
                                    

Sudah satu minggu lebih ini Dinda tinggal di apartemennya.

Baginya, apartmentnya ini tempat yang sangat nyaman untuk ia menenangkan pikirannya.

Selama tinggal di apartmentnya ini Dinda selalu memikirkan banyak hal, terutama hubungannya dengan Rian.

Ia belum memiliki nyali yang besar untuk mengungkapkan semua hal yang terjadi ini pada Rian.

Karena ia mengkhawatirkan dua hal resikonya.

Yang pertama, Rian akan menerimanya kembali namun hubungannya tak akan kembali seperti dulu.

Yang kedua, Rian akan semakin membencinya.

Dinda sudah menceritakan juga pada Melin dan Jonatan, dan mereka berdua berjanji akan membantu menjelaskan semua itu pada Rian.

Perihal Rian, sudah 4 hari ini pula Dinda tak pernah melihat Rian karena Rian fokus mengikuti turnamen di china.

Ia tak mengetahui Rian mengikuti turnamen itu jika Ilham tak memberi tahunya.

Tok, tok ,tok.

Mendengar ketukan di pintu apartemennya ini dengan cepat Dinda  berjalan ke arah pintu dan membuka pintunya.

"Siang Din."

"Siang, eh ayo masuk."

Kemudian Dinda mempersilahkan tamunya itu masuk ke dalam ruang tamu yang ada di apartmennya ini.

"Kakak lo nyuruh Gue buat ngasih makan siang ini buat lo, dia khawatir lo ga makan lagi kaya kemarin."

Dion memberikan sebungkus besar kantong kertas yang berisi makanan pada Dinda.

"Padahal gak usah repot repot, sekarang Kak Alin ada dimana?"

"Dia lagi ngurusin hotel yang di bogor, katanya sih bakal nambahin fasilitas yang ada di hotel itu."

Dinda membulatkan mulutnya. "Eh lo udah makan belum?"

Dion tersenyum seraya menggelengkan kepalanya.

"Yaudah, makan bareng yuk, lagian ini porsinya cukup banya. Kan mubadzir kalau Gue gak abisin makanannya."

Dion mengangguk, lalu Dinda permisi sebentar untuk ke dapur lalu mengambil beberapa peralatan makan yang akan ia pakai makan bersama Dion.

Dinda membuka bungkus makanan itu dan menaruh di piring yang ia bawa.

"Tadi Gue bingung mau beliin apa untuk lo karena Alin gatau apa makanan kesukaan lo, tapi tadi pas Gue lewat Gue jadi inget lo itu suka banget sop seafood khas batam yang ada di deket cempaka putih."

Dinda berbinar melihat makanan yang ada didepannya itu. "Wah, masih inget aja lo makanan kesukaan Gue. Makasih ya."

Dion mengangguk, kemudian mereka berdua dengan khidmad menghabisi makanan itu.

Setelah mereka berdua selesai makan,  Dinda membereskan bekas piring makan lalu beranjak menuju dapur.

Namun ketika ia akan beranjak, tangannya di tahan oleh Dion.

"Boleh duduk bentar dulu gak Din? Ada yang mesti Gue omongin."

Dinda kembali duduk di posisinya semula. "Ada apa?"

"Ini soal kita waktu dulu."

Dinda tersenyum, kemudian ia mengusap-usap bahu Dion.

"Gak ada yang harus di omongin, Gue udah berdamai sama masa lalu kita, sekarang tugas lo adalah bahagiain kakak Gue ya."

"Tapi, Gue belum minta maaf secara personal sama lo, andai aja kalau itu Gue dan Alin gak nurutin omongan Ayah, pasti gak akan gini jadinya."

"Gapapa Dion, itu masa lalu, sekarang tugasnya adalah fokus pada masa depan lo dan Alin. Jangan mikirin masa lalu lagi, lagipula Gue udah berdamai sama masa lalu kalian sudah mengakui kesalahan kalian."

Dion tersenyum. "Rian beruntung dapatin wanita baik kaya lo Din."

Dinda menundukan pandangannya, seketika ia teringat akan sosok Rian.

"Sorry, Gue salah ngomong ya?"

Dinda menggeleng. "Engga kok, cuma Gue kangen aja sama Rian."

"Dari waktu kejadian itu hubungan kalian belum membaik?"

Dinda mengangguk.

"Ya tuhan, Gue dan Alin mesti apa ya supaya Rian balik lagi ke awal?"

Dinda tersenyum. "Gausah dipikirin Dion, mungkin dia pun butuh untuk menenangkan dirinya sendiri."

"Tapi kan Din, ini udah keitung hampir 10 hari lebih."

"Udah gapapa, toh kalau dia jodoh Gue pasti dia bakal balik lagi sama Gue."

Rian menghela nafasnya, badannya terasa sama sekali tidak enak untuk di gerakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Rian menghela nafasnya, badannya terasa sama sekali tidak enak untuk di gerakan.

Tubuhnya pun rasanya mengigil.

"39,5°c, lo harus istirahat atau gak gakan bisa lanjut ke semifinal." Ilham menempelkan plester penurun panas pada dahi Rian.

"Kalau kamu ga sanggup lanjut gapapa, kita WO aja." Ujar coach.

Rian menggeleng. "Gapapa, saya kuat ko."

"Batu lo Jom, udah WO aja, jangan maksain gini."

"Gapapa Jar, Gue kuat."

Fajar menghela nafasnya. "Terserah deh."

Tak lama kemudian, coach dan Ilham keluar dari kamar Rian dan Fajar.

"Dinda tau lo sakit?" Tanya Fajar.

Rian menggeleng.

"Lo gak ngasih tau?"

Rian kembali menggeleng.

"Biasanya sebelum Gue bilang kalau Gue sakit, dia udah tau duluan."

"Nah nah nah" Fajar memukul bahu Rian. "Kenapa gak baikan aja?"

"Gue gatau."

"Lah kok gatau?"

Sebenarnya Rian pun sudah sangat merindukan Dinda, apalagi sudah hampir 10 hari ia tak melihat wajah Dinda.

Tapi ego Rian berkata tidak untuk berbaikan dengan Dinda.

Rian mengalihkan pandangannya pada Jendela.

"Din, apa kamu gak Rindu?" lirihnya dalam hati.

AmethystTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang