65

1.6K 156 6
                                    

Dinda menghela nafasnya, ia mengumpulkan mental terlebih dahulu sebelum mengetuk pintu ini.

Tok, tok, tok.

"Permisi."

"Iya silahkan masuk." Ucap orang yang ada didalam ruangan itu.

Setelah mendapat izin, Dinda masuk kedalam Ruangan tersebut.

"Silahkan duduk."

Dinda kemudian duduk di sofa yang disediakan diruangan itu.

"Ini pak" Dinda menyerahkan beberapa map yang berisi dokumen-dokumen penting pada Willy.

Willy mengambil beberapa map itu, kemudian ia membuka-buka beberapa map dan setelahnya ia menaruh di Meja.

"Kamu serius dengan keputusan kamu ini Dinda? Padahal sayang loh 2 bulan lagi akan kami angkat menjadi dokter tetap disini.

Dinda tersenyum, kemudian ia mengangguk. "Sebenarnya juga saya sangat betah pak disini, tapi dengan adanya beasiswa ini, bisa meningkatkan performa saya dalam berkarir."

Willy terkekeh. "Iya sih memang betul, tapi kami cukup sayangkan saja emas seperti kamu harus membatalkan kontrak ini, tapi karena alasan kamu membatalkan kontrak ini sangat baik, pasti akan kami kabulkan."

"Namun sesuai dengan peraturan yang tertera, kalau jangka waktu kerja kamu tidak sesuai kontrak, berarti kamu harus siap menerima punishmentnya yaitu membayar 3x lipat gaji sisa bekerjamu yaitu selama dua bulan."

Dinda mengangguk. "Baik pak, saya mengerti."

"Yah, kalau begitu persyaratan sudah lengkap, tinggal kamu tanda tangan surat pembatalan kontrak, mungkin lusa ya karena saya harus minta dulu ke pak Tirta."

"Baik pak, tapi sebelumnya saya boleh bertanya?"

"Apa yang kamu ingin tanyakan?"

"Untuk Melinda, dia akan tetap kan menjadi suster disini?"

Willy mengangguk. "Dia pasti tetap disini walaupun kamu resign, karena walaupun kalian satu paket datang kemari, tapi kontrak kalian kan beda, dan kebetulan saya sudah bicara dengan Melinda, dia setuju untuk tetap bekerja disini."

"Baik kalau begitu pak, mungkin itu saja yang ingin saya sampaikan dan saya tanyakan, terimakasih ya pak atas waktunya."

"Iya, tidak masalah."

Dinda berjalan keluar dari ruangan Willy, kemudian ia akan kembali lagi menuju Ruang Medis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dinda berjalan keluar dari ruangan Willy, kemudian ia akan kembali lagi menuju Ruang Medis. Karena sebentar lagi jam kerjanya akan dimulai.

Saat berjalan menuju Ruang Medis, ia melewati lapangan tempat para atlet berlatih, ia sempatkan diri terlebih dahulu untuk masuk kedalam dan menghampiri temannya yang memang sedang beristirahat.

"Hey kalian."

"Eh Din, kemana aja lo?" Tanya Fajar.

"Ada, selalu ada hehehe, lagi istirahat? Tumben jam segini?"

"Iya tadi nanggung kalau stop dulu, yaudah deh lanjut dan baru istirahat jam segini." Jawab Jonatan.

Dinda membulatkan mulutnya.

"Darimana Din emangnya?" Tanya Kevin.

"Habis dari ruangan Pak Willy, ngasih berkas berkas untuk resign."

Ucapan Dinda seketika membuat mereka melihat satu sama lain.

Fajar mengernyit. "Jadi emang resign?"

Dinda mengangguk. "Iya, sayang kesempatan ini kalau dilewatin Jar."

"Hey"

Merasa terpanggil dari belakang, Dinda menoleh ke arah belakang.

"Eh Rian, darimana aja?"

"Habis ngambik raket yang baru hehe, tumben kesini."

"Iya hehe kebetulan lewat jadi mampir deh, tapi ini mau balik lagi kok."

"Yaudah bareng yuk sama Gue? Kebetulan Gue mau ke ruangan Ci Susy."

" Rian udah manggil dirinya sendiri dengan sebutan 'Gue', hahaha berarti kita balik ke 0 lagi ya." Gumam Dinda dalam hati.

"Boleh, yuk sekarang? Sebentar lagi jam kerja Gue juga mulai."

Rian menghampiri teman temannya. "Bro, Gue ke Ci Susy dulu ya sekalian bareng sama Dinda balik ke ruangannya."

"Iya, Gue balik dulu ya keruangan Gue" Ucap Dinda.

Kemudian Dinda dan Rian berjalan menuju tujuannya bersama.

"Tadi ga sengaja denger, katanya lo jadi resign?"

Dinda mengangguk. "Jadi.."

"Sejujurnya Gue sedih sih denger lo mau resign, mungkin lo tau sendiri kalau Gue masih sayang sama lo."

Dinda tak menanggapinya, ia hanya terdiam karena sesungguhnya ia merasakan sakit ketika Rian mengucapkannya.

"Gue bingung harus bagaimana sekarang, untuk melupakan lo kayanya bakal jadi PR yang sangat berat buat Gue, dan kalau Gue maksa untuk baikan sama lo juga Gue takut bakal ga bener nantinya."

Dinda tersenyum, kemudian ia memegang bahu Rian.

"Lupakan Gue jika itu memang dibutuhkan."

"Semoga aja bisa ya"

Dinda kembali tersenyum, menyadari sebentar lagi ia akan sampai di Ruang Medis ia menghentikan langkahnya.

"Kenapa berenti?" Tanya Rian.

"Ini Gue mau ngasih ini buat lo, sebentar."

Dinda kemudian mengorek isi tasnya, kemudian ia memberikan sebuah kotak berwarna biru tua kepada Rian.

Rian menerima kotak itu, ia memperhatikan bentuk dari kotak itu.

"Apa ini?"

"Mulai besok, sepertinya Gue bakal jarang ketemu lo dan anak anak, Gue bakal sibuk karena harus urusin visa, paspor, dan akomodasi buat Gue tinggal di Inggris."

Rian mengernyit. "Lalu ini apa?"

"Itu buat lo, tapi lo bukanya nanti ya kalau Gue udah berangkat?."

"Hmm sebenernya Gue penasaran banget sih sama isinya, tapi yaudah deh Gue janji Gue bakal buka kotak ini setelah lo berangkat."

"Makasih ya Rian, untuk segalanya."

"Makasih juga ya Din, atas segalanya."

AmethystTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang