61

1.7K 169 12
                                    

Kembali pada pekerjaannya, seperti biasa setiap hari senin biasanya Dinda selalu diam di lapangan untuk berjaga-jaga apabila ada atlet yang cedera saat berlatih.

Sambil berjaga, ia juga mencatat gerak-gerik atlet yang pernah terkena cedera dalam waktu dekat ini.

"Menurut Gue si Ihsan dia belum bisa lanjut ke kelas grand prix deh, apalagi ngeliat catatan kesehatan dia waktu dari sakit tipes sebulan yang lalu, berat badannya turun hampir 5 kg." Ucap Melin sambil memperhatikan Ihsan.

Dinda mangut-mangut. "Iya, sepertinya dalam waktu dekat dia cuma bisa ikut turnamen yang gak terlalu jauh dulu deh, daripada banyak WO atau kalah kan resiko degradasinya nanti jadi besar."

"Kevin dan Koh Sinyo juga gabisa selalu di andalkan indonesia untuk mengharumkan nama indonesia, bukannya menghina, tapi ada kalanya orang itu ada jenuhnya. Dan apalagi semenjak Koh Sinyo kena cedera robek otot di leher jadi agak menurun performanya." Ujar Melin.

"Iya memang kita gak bisa selalu mengandalkan kevin dan koh sinyo, lagi pula dengan atlet mengikuti sebuah turnamen yang membawa nama indonesia pun itu udah suatu kebanggaan kok untuk indonesia. Mau itu kalah atau menang, perjuangan mereka udah luar biasa banget."

"Nah itu."

Dinda dan Melin kembali fokus memperhatikan para atlet yang sedang berlatih.

"Fokus amatan woy!"

Melin tersentak. "Astaga dragon, Jar! Kalau jantungan gimana coba?"

"Lebay lo, Din, pijetin telapak tangan Gue dong, tadi agak sakit pas ga sengaja jatuh."

"Sini Jar, lo duduk dibawah ya biar Gue gampang mijetnya."

Fajar menuruti Dinda untuk duduk dibawah, dan kemudian Dinda memijit-mijit telapak tangan Fajar.

"Din, Gue mau cek dulu kesana ya, Fitriani kayanya kakinya agak bermasalah."

"Iya Mel."

Melin pun pergi untuk memeriksa salah satu atlet.

"Next, kejuaraan dimana Jar?" Tanya Dinda.

"Australia open, tapi nanti sih 2 mingguan lagi."

Dinda membulatkan mulutnya.

"Lo pindah ya sekarang udah gak stay di asrama lagi?" Kali ini Fajar yang bertanya.

Dinda mengangguk. "Iya, sayang punya apartement tapi ga dipake."

"Bener itu alasannya? Hahaha."

"Apa sih Jar ahaha."

"Din..."

Dinda berdehem.

"Maafin sahabat Gue ya?"

"Gapapa Jar, dia bukan orang yang tepat untuk di salahkan."

Fajar tersenyum, kemudian ia menoleh pada tangannya yang sedang dipijat oleh Dinda.

"Menurut Gue, lo adalah orang yang tepat untuk Rian..jadi jangan pernah ninggalin dia ya?"

Dinda menghela nafasnya. "Gue gakan pernah ninggalin dia, kecuali kata 'pisah' keluar dari mulut Rian terlebih dulu."

Jam kerja telah usai, saat ini Dinda sedang berjalan menuju mobilnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jam kerja telah usai, saat ini Dinda sedang berjalan menuju mobilnya.

Sambil berjalan menuju mobilnya, ia mengorek ngorek dalam tasnya untuk mencari kunci mobilnya.

"Lah, kunci mobil Gue dimana ya? Masa ketinggalan?"

Dinda kembali mengorek ngorek isi tasnya, akhirnya dia menyerah dan memutuskan untuk kembali ke ruangannya yang jaraknya cukup jauh dari posisinya saat ini.

Saat ia akan membalikan badannya, tiba tiba ia merasakan ada yang menahan tangannya dari belakang.

Refleks Dinda menoleh dengan cepat.

"Rian?"

"Ikut aku."

Rian kemudian menarik Dinda untuk masuk kedalam mobil Rian, yang posisinya sangat dekat dengan posisi mereka barusan.

Rian kemudian melajukan mobilnya, tanpa berbicara sepatah katapun pada Dinda.

"Kita mau kemana?" Dinda memecah keheningan.

"Ada yang aku ingin bicarakan sama kamu."

"Apa yang mau dibicarakan? Kok tegang gini sih?"

Rian tak menjawab, tak lama kemudian ia membelokan mobilnya dan berhenti dipinggir jalan yang cukup sepi.

"Rian, ada apa?"

"Aku ingin kamu berbaikan dengan Ayah kamu."

"Apa?!"

Rian menghela nafasnya. "Kemarin aku dan Sye bertemu ayah kamu dan bicara, sepertinya pikirannya sudah tidak se kacau waktu itu."

"Kamu ketemu sama Ayah? Buat apa?"

"Ayah ngelakuin itu sebenarnya karena terpukul kehilangan bunda, apalagi Bunda adalah wanita yang sangat ia cintai."

"Tapi itu tak menjadi alasan untuk dia menyakiti kita semua!"

"Dinda.." Rian menggenggam tangan Dinda. "Aku mohon, Ayah butuh kamu."

"Kamu gak inget? Ayah pernah mencoba menyiksa kamu perlahan?"

Rian mengangguk. "Iya aku ingat, tapi aku udah memaafkannya."

"Dengan semudah itu?"

"Dinda ada apa dengan kamu? Bukan kah kamu tipe orang yang mudah memaafkan kesalahan orang lain?."

"Memang iya." Dinda menghela nafasnya. "Tapi untuk dia, tidak."

"Hidup aku nyaris ancur Rian! Kamu tahu itu kan?!"

"Iya aku tau."

"Lalu untuk apa kamu memaksa aku?"

Rian menghela nafasnya. "Aku yakin dia membutuhkan kamu saat ini."

"Menurut aku sih engga."

"Dinda!"

"Sejak kapan kamu jadi suka bentak aku kaya gini?"

Mata Dinda mulai berkaca-kaca, rasanya sakit ketika Rian membentaknya.

"Dinda, sekali lagi aku minta kalau kamu sayang sama aku.."

"Aku pasti sayang sama kamu Rian!"

"Kalau begitu, kembalilah pada ayah kamu."

Dinda menghela nafasnya. "Rian aku sayang sama kamu, tapi untuk kembali pada ayah, sepertinya aku tak mampu!"

"Tapi itu keharusan kamu sebagai anak ke orang tua!"

"Tolong jangan paksa aku."

"Atau engga kita pisah!"

Dinda terdiam, dia sudah tak sanggup lagi membendung air matanya.

Tanpa bicara apapun Dinda keluar dari mobil Rian.

Tentu saja Rian yang melihatnya, ikut keluar dan sedikit mengejar Dinda.

"Kamu mau kemana?"

Dinda menghapus air matanya. "Kamu bilang kamu mau pisah, yaudah, ini kan kemauan kamu?"

"Tapi Dinda bukan itu maksud aku--"

"Apapun alasan kamu, kata 'pisah' itu tak pantas diucapkan dalam kondisi apapun jika belum siap! Itu motto dalam hidup aku!"

Dinda berbalik dan mulai berjalan menjauhi Rian.

Rian tak mengejar Dinda, karena ia tahu dirinya salah telah mengucapkan kata terlarang tersebut.

Ia mengacak-acak rambutnya dengan kasar, lalu ia dengan cepat masuk ke mobilnya.

"Kenapa sih hubungan Gue sama dia jadi hancur begini?!".

"Gak, gabisa, Gue gamau pisah gini aja sama Dinda, Gue sayang banget sama dia.."

Karena sudah tak tampak dijalan, Rian kembali melajukan mobilnya dan mulai mencari Dinda.

AmethystTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang