70

1.8K 153 31
                                    

Dinda berjalan menuju parkiran, setelah sampai di mobilnya ia membuka pintu belakang untuk Ali.

Setelah Ali masuk, ia menutup pintunya, lalu ia masuk di bagian samping kemudi.

"Udah?"

Dinda mengangguk, kemudian mobil melaju keluar dari restoran itu.

Sepanjang jalan Dinda hanya terdiam sambil memandangi pemandangan yang terpampang di Jendela mobilnya.

"Ada apa?"

Dinda menoleh, ia tersenyum kemudian ia menggeleng. "Gapapa."

"Ali, Bunda kenapa?"

Ali yang tadinya sedang asik makan pun berhenti. "Gatau Ayah."

"Eh Ali lupa cerita, tadi Ali dan Bunda ketemu Om baik loh! Terus Ali dan Bunda juga ketemu sama temen temennya Bunda!"

"Bener Din?"

Dinda mengangguk pelan.

"Siapa?"

Dinda menoleh ke arah Ali. "Ali, Ali lanjutin ya makannya, Ali mau main game di hp Bunda gak sebentar?"

"Mau Bunda! Udah lama kan Ali ga main HP."

Dinda tersenyum kemudian ia menyerahkan ponsel beserta earphone pada Ali.

Setelah dirasa Ali fokus pada game yang ada di ponselnya, ia menoleh pada lelaki yang disampingnya itu.

"Tadi aku pisah sama Ali, memang ini salah Aku tadi Aku nyuruh Ali untuk tunggu dimeja selagi aku pesan makan dan aku memang ingin ke toilet juga."

"Tapi saat aku kembali Ali gak ada, disitu aku panik nyari Ali, ternyata Ali  ditolongin sama orang, dan yang nolonginnya itu adalah yang Ali sebut 'Om Baik'."

Lelaki ini mangut-mangut. "Alhamdulillah kalau orang itu nolongin Ali, terus siapa yang Ali maksud temen-temen kamu?"

"Mereka adalah Fajar, Jonatan, Melin, dan yang Ali sebut 'Om Baik' itu adalah Rian.."

Lelaki ini terdiam, matanya fokus pada jalanan.

"Jadi itu yang bikin kamu dari tadi diam?"

"Bukan itu."

"Lalu?"

Dinda kembali menghela nafasnya. "Rian bilang, dia sebentar lagi akan menikah."

Lelaki ini tersenyum. "Udah Aku duga."

Dinda mengernyit, ia tak mengerti apa yang dibicarakannya.

"Kamu udah tau?"

"Belum sih, cuma yang aku dengar sebelum aku keluar dari pelatnas aku denger kalau dia di jodohkan sama orangtuanya."

Dinda terdiam, ia memutuskan untuk kembali memandangi jendela yang ada di sampingnya.

"Ternyata kamu belum benar benar ngelupainnya ya."

"Sebenarnya udah, tapi pas tadi berpas-pasan sama dia jadi bikin aku teringat lagi kenangan waktu aku sama dia.."

"Aku minta maaf karena belum sepenuhnya lupain dia.." Lanjut Dinda.

Lelaki ini tersenyum, kemudian ia mengusap-usap puncak rambut Dinda.

"Gak apa apa, semua butuh proses."

"Dan aku bakal bantuin kamu untuk memproses itu semua."

"Jadi itu Kak yang namanya Dinda?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi itu Kak yang namanya Dinda?"

Rian mengangguk, ia fokus pada kemudinya.

"Cantik yah, Pantes Kakak sampai sekarang gak bisa lupain dia."

"Kamu marah?" Tanya Rian.

Uty menggeleng. "Engga kak, engga sama sekali."

"Tapi aku Janji secepatnya aku bakal lupain dia, demi kamu."

"Jangan kak."

Rian mengernyit. "Kenapa?"

"Kakak gaboleh lupain dia demi aku, kakak harusnya lupain dia demi kakak sendiri."

Rian terdiam, karena ia rasa ucapan Uty ini memang benar.

"Kak, Aku bisa merasakan segimana dalamnya perasaan Kakak ke Kak Dinda, aku akan maklumi jika itu akan memakan waktu yang lama."

"Uty" Rian menghela nafasnya. "Kenapa setelah kamu tau bahwa aku belum melupakan Dinda, tapi kamu tidak marah sama sekali?"

Uty tersenyum. "Buat apa aku marah Kak? Kalaupun kita bukan jodoh juga pasti tuhan akan tunjukan itu sebelum ataupun setelah kita menikah."

"Makasih ya Ty."

"Sama sama Kak."

AmethystTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang