Akhir-akhir ini, Elbi merasa kurang bersemangat. Hal ini disebabkan oleh absennya eksistensi Erlang di sekitar Elbi. Pacarnya itu mulai disibukkan dengan kelas tambahan di sekolah dan juga les untuk menghadapi UN sekaligus ujian masuk perguruan tinggi.
Gara-gara rutinitas dan kesibukan baru Erlang, pemuda itu jarang menghabiskan waktu makan siang bersama Elbi. Dirinya juga jarang mencuri kesempatan mengajak Elbi jalan sepulang sekolah. Erlang terlalu sibuk untuk itu semua.
Terlalu sibuk sampai suka lupa memberi kabar pada Elbi di akhir pekan seperti ini. Padahal biasanya pacarnya itu tidak akan absen menelepon atau pun mengirim pesan. Elbi sekarang pun mengerti bagaimana perasaan Erlang ketika dirinya susah dihubungi. Pantas Erlang senewen jika Elbi lama tidak membalas pesannya.
"Mas Anza duduk sini dulu. Binno ambilkan minum."
Suara Binno membuyarkan lamunan Elbi. Gadis itu mengernyit mendapati Anza berdiri di belakang Binno. "Anja? Ngapain?" Elbi pun bertanya ketika Anza duduk di sofa yang berada di seberang Elbi.
"Privat Binno. Seperti biasa," jawab Anza singkat.
Ah, Elbi baru ingat. Semenjak kakaknya—Reka—melanjutkan kuliahnya di luar negeri, Anzalah yang membantu Binno belajar. Tanpa paksaan sebenarnya. Anza yang menawarkan diri ketika Binno mengeluh karena tidak ada lagi Reka yang akan mengajarinya. Tentu saja Binno langsung menyambut bahagia tawaran itu, karena sejak kecil Binno begitu mengagumi sosok Anza.
Binno—adiknya itu mengingatkan Elbi kepada Anza semasa kecil. Anza kecil selalu mengikuti Reka ke mana pun. Seperti Anza, Binno akan mengikuti Anza ke mana pun. Anza adalah panutannya. Kakak impiannya. Bahkan Binno pernah mengatakan ingin bertukar dengan Putri agar Anza bisa menjadi kakaknya. Namun, keinginan itu segera dihapus dalam angan Binno karena dia harus kehilangan Reka sebagai kakak jika mau menjadikan Anza sebagai kakaknya. Dan Binno tidak mau itu terjadi.
"Sirup nggak apa-apa, kan Mas Anza?" tanya Binno membawa segelas es sirup menggunakan nampan.
Anza mengangguk sebagai jawaban. Ia tidak mungkin menolak. Pemuda itu selalu menghargai apa yang disuguhkan tuan rumah. Lagi pula es sirup cocok sebagai pelepas dahaga di siang yang cukup panas ini.
"Mbak kok masih di sini?" tanya Binno melihat Elbi yang masih bersantai tiduran di sofa sambil memainkan ponsel. "Ke kamar sana!"
Elbi berdecak mendengar perintah kurang ajarnya Binno. Adiknya itu memang tidak pernah bersikap manis padanya. Padahal sewaktu bayi Binno sangat senang bermain dengan Elbi. "Nggak mau! Orang Mbak yang duluan di sini!"
"Tapi, Binno mau belajar, Mbak!" Binno tetap memaksa sang kakak untuk pergi.
"Ya udah, belajar aja. Mbak nggak bakal ganggu, kok," balas Elbi acuh.
"Mbak ...." Anza segera meraih bahu Binno, melarang anak kelas IV SD itu mengusir kakaknya dari ruang tengah kediamannya.
"Nggak apa-apa, Binno," ucap Anza sambil mengulas senyum tipis. "Ambil bukunya, gih. Biar kita bisa segera belajar."
Mau tidak mau Binno menuruti perintah Anza. Dalam perjalanan menuju kamar untuk mengambil buku, Binno menyempatkan diri melirik Elbi yang tersenyum kemenangan. Kekesalan Binno semakin meningkat melihat gerakan bibir Elbi yang terlihat sedang mengejeknya.
"Sampai kapan musuhan terus dengan Binno?" Anza bertanya pada Elbi yang masih menjulurkan lidahnya ke arah Binno. Yang ditanya hanya mengangkat bahu.
"Kakak beradik itu harus akur," kata Anza menasihati.
Elbi hanya meringis. Nasihat Anza terdengar seperti nasihat yang biasa diucapkan Reka—sang kakak. "Dia duluan yang cari gara-gara, Ja," Elbi beralasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something about Anza
Teen Fiction"Yakin lo cuma nganggep Anza kayak Binno?" Elbi mengangguk tanpa ragu. "Yakin?" Pertanyaan diulang. Elbi mulai memikirkan kembali. Iya. Benar. Benar begitu?