Begitu perhitungan suara dalam pemilihan ketua OSIS selesai dilaksanakan, Anza mendapat ucapan banyak ucapan selamat. Damar selaku ketua panitia pemungutan suara berkesempatan memberi selamat kepada Anza terlebih dulu. Kakak kelas yang cukup dekat dengan Anza itu tersenyum begitu lebar, bahkan lebih lebar dari Anza yang berhasil terpilih menjadi ketua OSIS.
"Bener kan kata gue?" Damar tersenyum hingga memperlihatkan deretan giginya yang rapi. "Lo bakal jadi pengganti Andro. Ketua OSIS selanjutnya."
Anza hanya menanggapi dengan senyum tipis. Meski merasa senang sekaligus lega karena berhasil meraih suar terbanyak, Anza tidak ingin besar kepala mendengar pujian dan ucapan selamat dari semua orang. Bagi Anza, menjadi ketua OSIS bukan akhir dari segalanya. Ini justru awal, di mana kemampuan Anza dalam memimpin sekaligus berpikir diuji.
"Damar udah taruhan kalau lo bakal jadi ketua OSIS sejak lo masih jadi peserta PLS, Za," Andro yang berdiri di belakang Anza tersenyum sembari membetulkan letak kacamanya.
Anza menatap Damar tidak percaya. Anza ingat benar kalau Damar merupakan seksi kedisiplinan kala itu. Pengalaman PLS Anza tidak terbilang baik. Ia bahkan sempat berdebat dengan Damar mengenai satu peraturan yang dianggap Anza kurang masuk akal. Di masa itu, Anza dan teman-temannya harus mencari tanda tangan seluruh pengurus OSIS. Mudah sebetulnya, kalau saja mereka sebagai pengurus memberikan tanda tangan secara cuma-cuma. Yang menjadi masalah, beberapa oknum memanfaatkan kesempatan untuk mengerjai siswa baru. Beberapa lagi menyembunyikan name tag-nya dan meminta siswa baru menebak namanya sebelum meminta tanda tangan. Kala itu Anza protes kepada Damar ketika meminta tanda tangan kakak kelasnya itu.
Mereka sempat berdebat. Damar membela teman-temannya, sedang Anza mengkritisi peraturan yang tidak jelas saat meminta tanda tangan. Pada akhirnya, memang tidak ada yang menang atau kalah dalam perdebatan itu. Tapi, sejak itu Damar mulai tertarik memperhatikan kemampuan Anza dalam berorganisasi. Penilaian Damar tepat. Anza memang menjadi pemimpin organisasi siswa terbesar di sekolah mereka.
"Gue harap lo dapat menjaga amanah, Za," Damar menepuk bahu Anza. "Gue percaya, lo memang mampu dan bisa."
"Terima kasih, Kak."
Damar mengangguk setelah memberi tonjokan pelan pada bahu Anza. Pemuda itu beralih pada calon ketua OSIS lainnya. Ada empat calon termasuk Anza. Salah satu calon ketua OSIS kebetulan merupakan teman sekelas Anza. Anjani.
Anjani hanya tersenyum saat menjabat tangan Damar. Akan tetapi, senyumnya memudar saat tatapannya bertemu dengan Anza. Gadis itu menatap Anza dengan pandangan menusuk, sebelum mendekati pemuda itu.
"Selamat," ucap Anjani datar. Terdengar tidak tulus atau pun ramah.
"Terima kasih, Jani," balas Anza. "Selamat juga untuk kamu."
"Selamat karena aku kalah dari kamu lagi?"
Anza tidak menjawab. Ia tidak berpikir begitu. Menurut Anza, dirinya dan Anjani sudah sama-sama berjuang dalam pemilihan ketua OSIS. Apa pun hasilnya, semua berhak diberi ucapan selamat karena telah memberikan yang terbaik.
"Peringkat satu, ketua kelas, ketua OSIS," Anjani bergumam dengan nada sinis. "Nggak ada yang tersisa buat kamu kuasai, ya?"
Anza termenung mendengar pertanyaan Anjani yang lebih terdengar seperti sebuah pernyataan. "Saya nggak berniat menguasai semua itu, Jani."
Anjani tersenyum miring. "Anggap saja seperti itu. Kamu kan memang pangeran baik hati yang nggak pernah ada celanya."
Anza sudah membuka mulutnya, berniat membantah. Akan tetapi, Anza menghentikan niatnya. Menurutnya percuma berdebat dengan Anjani saat ini. "Maaf kalau sudah membuat kamu berpikir begitu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Something about Anza
Teen Fiction"Yakin lo cuma nganggep Anza kayak Binno?" Elbi mengangguk tanpa ragu. "Yakin?" Pertanyaan diulang. Elbi mulai memikirkan kembali. Iya. Benar. Benar begitu?