"Bukannya itu Anza."
Elbi menoleh ke arah yang ditunjuk Luna. Memang benar, Anza berada di sana. Akan tetapi bukan hanya Anza, ada juga dua siswi lainnya. Yang satu sedang menyodorkan kotak bekal pada Anza, dan yang satu mendukung dari belakang.
"Kayaknya makin banyak yang naksir berondong manis kita," komentar Luna. "Lo nggak terganggu, Bi?"
Elbi merasa terganggu. Tentu saja. Di saat semua yang menyukai Anza bisa menyatakan perasaannya dengan bebas, Elbi malah memendam rasa sendiri. Kalau dipikir-pikir, mengapa dia harus menyembunyikan perasaannya pada Anza?
"Perlu bantuan, nggak Bi?" Raya menaikkan alisnya. Elbi rasa Raya sedang merencanakan sesuatu.
"Lo mau a--pa?"
"Anza!" Tanpa Elbi duga, Raya memanggil Anza sambil melambaikan tangannya. Tentu saja Anza menoleh. Suara Raya begitu keras hingga Elbi dan Luna yang berada di sebelahnya pun terperanjat.
"Maksud lo ... ini bantuannya?" tanya Elbi tidak habis pikir.
Raya menganggukkan kepala dan terus melambaikan tangan pada Anza. Apa yang dilakukan Raya cukup berhasil. Anza menghampirinya setelah menolak kotak bekal yang diberikan oleh siswi yang menghampirinya tadi.
Anza mendekat dengan kening mengerut. Ketika melirik Elbi, gadis itu mengalihkan pandangannya. Membuat Anza makin bingung mengapa dirinya dipanggil begitu keras seperti tadi. "Ada apa, Kakak?" Anza bertanya pada Raya. Sedangkan teman Elbi itu hanya tersenyum lebar sambil menatapnya.
"Ray ...." Luna menyikut Raya.
"Makin ganteng aja sih ketua OSIS!" Raya mengatakannya sangat keras hingga beberapa orang menoleh ke arah mereka. "Apa sih rahasia kegantengannya?"
Elbi menepuk dahinya mendengar ucapan spontan Raya. Ketika melirik Anza, pemuda itu terperangah. Mungkin Anza tidak menduga Raya akan mengatakan hal itu. "Kakak ..." Anza menarik napas untuk menahan emosi dan menutupi rasa malu. "... panggil saya ke sini hanya untuk mengatakan itu?"
Dengan polosnya Raya mengangguk. Misi utama Raya adalah untuk membantu Elbi menjauhkan siswi yang mendekati Anza. Sedangkan Elbi dan Luna yang tidak memahami niat "baik" Luna hanya mampu menggelengkan kepala.
Anza menghela napas pelan dan tersenyum tipis, walau Elbi melihatnya sebagai senyum menahan amarah. "Saya pergi dulu kalau begitu."
Raya melambaikan tangannya ke arah Anza yang mulai menjauh dengan suka cita. "Ya ampun, dedek gemes gue masih kaku aja."
"Sialan lo, Ray!" Elbi memukul kencang lengan Raya hingga gadis itu meringis kesakitan. "Lihat muka Anja, nggak? Dia bete abis. Gimana kalau nanti dia ngambek sama gue."
"Haelah, Bi. Takut amat Anza ngambek," komentar Raya. "Sebucin itu ya lo sama Anza?"
Elbi tidak membantah, juga tidak membenarkan. Yang Elbi tahu, perasaannya semakin berkembang setiap harinya. Dia juga sering merasa cemburu jika Anza dekat dengan perempuan lain. Padahal tidak seharusnya Elbi merasa cemburu. Mereka bahkan tidak memiliki ikatan apa pun.
"Sampai kapan, Bi?" Raya bertanya sambil menatap Elbi dengan kepala dimiringkan. "Sampai kapan lo merasa nyaman dengan status kayak gini? Lo nggak mau gitu jujur sama dia mengenai perasaan lo?"
Elbi mendesah pelan. Dia ingin, tapi tidak bisa. "Gue nggak bisa, Ray," jawab Elbi. "Gue nggak mau hubungan kami jadi aneh setelah gue menyatakan perasaan."
Elbi menelan ludah susah payah. Iya, kalau dirinya diterima. Kalau ditolak? Elbi tidak bisa membayangkan betapa canggungnya mereka nanti. Apalagi Anza pernah sangat menghindarinya sewaktu mereka kanak-kanak. Elbi takut Anza akan menghindarinya lagi seperti dulu. Maka dari itu, Elbi sudah merasa cukup dengan keadaannya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something about Anza
Ficțiune adolescenți"Yakin lo cuma nganggep Anza kayak Binno?" Elbi mengangguk tanpa ragu. "Yakin?" Pertanyaan diulang. Elbi mulai memikirkan kembali. Iya. Benar. Benar begitu?