Tindakan Anza memukul Erlang ketika pembelajaran sekolah berlangsung merupakan pelanggaran berat. Orang tua Erlang jelas tidak terima anaknya dipukuli tanpa sebab oleh Anza. Walau pun Anza sudah meminta maaf, hukuman tetap diberikan agar memberi efek jera. Anza terpaksa harus menjalani skorsing selama tiga hari.
Tidak ada pembelaan apa pun dari Anza. Ia menerima dan mengakui kesalahannya. Lagi pula urusannya dengan Erlang sudah dianggap oleh Anza selesai sejak dirinya puas memukuli Erlang. Anza tidak mau memperpanjang masalah.
Hukuman Anza jelas membuat Elbi resah. Elbi kebingungan memikirkan dengan siapa dirinya akan berangkat sekolah nanti, sekaligus mengkhawatirkan Anza yang terpaksa tidak mengikuti pembelajaran selama tiga hari. Bagaimana juga, predikat siswa teladan tidak berlaku lagi bagi Anza karena pemuda itu kini mempunyai cela berupa pelanggaran yang cukup berat.
Akan tetapi, kelihatannya Elbi tidak perlu lagi mengkhawatirkan Anza. Pemuda yang dikenalnya sejak kecil itu tampak baik-baik saja. Tidak merasa sedih mau pun putus asa. Buktinya Anza dengan begitu santainya sudah berdiri di sebelah motor kesayangannya, tepat di depan rumah keluarga Bagaskara.
"Anja?"
Pemuda berkemeja biru dengan motif kotak itu kontan tersenyum. "Siap berangkat sekolah?"
Elbi mengangguk. Namun, tiba-tiba Elbi menyadari sesuatu. "Kamu ngapain di sini?"
"Mau antar Kakak Elbi, seperti biasanya," jawab Anza tanpa beban.
Elbi mengerjap pelan, mencoba mencerna jawaban Anza. Anza bilang akan mengantarnya ke sekolah? Untuk apa? Dia kan tidak berangkat ke sekolah?
"Kakak Elbi, jangan terlalu banyak berpikir," Anza seolah dapat mendengar pertanyaan-pertanyaan yang lalu lalang di kepala Elbi. "Ayo, berangkat! Nanti telat!"
"Tunggu, Ja!" Elbi mundur selangkah ketika Anza mendekat. "Kamu kan diskors!"
Anza mengangguk. "Benar."
"Terus, ngapain kamu masih jemput aku?" Elbi bertanya dengan nada frustasi. "Kan kamu nggak sekolah."
Anza tidak segera menjawab. Pemuda itu justru memainkan kunci kontak motornya.
"Ja?"
Helaan napas kasar Anza embuskan. "Ini tugas."
Elbi makin tidak mengerti. "Tugas dari?"
"Kakak Reka."
Elbi memang pernah mendengar Reka menitipkannya pada Anza. Karena itulah selama ini Elbi berangkat dan pulang sekolah bersama Anza. "Tapi, kan tugasnya berlaku karena kebetulan kita bersekolah di tempat yang sama, Anja," Elbi menjelaskan.
"Kita memang masih bersekolah di tempat yang sama," Anza menegaskan.
"Tapi, kan kamu lagi nggak sekolah!" Elbi mengerang frustasi. "Maksudku, kamu nggak usah ikutin permintaan konyolnya Kakak sampai sejauh ini. Kalau kamu nggak sekolah, ngapain pakai nganter aku segala. Kesannya aku malah merepotkan kamu."
Anza sudah membuka mulut, hendak menyangkal semua perkataan Elbi. Sayangnya, bodyguard sejati Elbi baru saja keluar dari rumah lengkap dengan Binno di sisi kirinya. "Ngapain kamu?" Bian bertanya karena melihat Anza datang ke rumahnya tanpa berseragam. "Bolos sekolah?"
"Skorsing, Om. Tiga hari."
Bian menaikan sebelah alisnya. Ia memang tahu kalau Anza terlibat perkelahian kemarin. Hanya saja, Bian belum tahu hukuman yang harus Anza terima. "Oh. Terus. Sedang apa kamu di sini?"
"Mau antar Kakak Elbi."
Kedua mata Bian menyipit tajam. "Hari ini Elbi berangkat bersama saya. Kamu antar Binno saja," perintah Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Something about Anza
Teen Fiction"Yakin lo cuma nganggep Anza kayak Binno?" Elbi mengangguk tanpa ragu. "Yakin?" Pertanyaan diulang. Elbi mulai memikirkan kembali. Iya. Benar. Benar begitu?