Cinta Yang Lebih Baik IV

7.6K 692 75
                                    

Seminggu setalah kejadian itu, Alden tak pernah lagi menghubungiku. Dia seperti hilang ditelan bumi.

Aku kembali kepada rutinitasku. Setiap pagi aku mengajar hingga siang hari, lalu dilanjutkan mengajar les tambahan untuk siswa semester akhir.

Aku sangat menikmati hidupku, meski kuakui ada sedikit perasaan berbeda dari sebelumnya. Seperti ada sesuatu yang hilang dari bagian hidupku. Tapi tak mengapa, aku masih bisa mengatasinya.

Sore ini awan mendung memayungi beberapa titik kota, aku yang sedang menunggu bus merasa kecewa karena penuhnya penumpang membuatku tak bisa ikut serta. Karena awan pekat yang semakin tebal, aku memutuskan untuk berjalan kaki sambil menunggu bus selanjutnya. Suasana sedikit sepi, mungkin karena para pengendara motor terlalu malas untuk mengambil resiko kehujanan.

Aku merasa pundakku ditepuk seseorang. Aku menoleh dan langsung memasang sikap siaga.

Dua orang pria berbadan besar seperti preman tertawa melihat tingkahku. "Mau kemana, Bu Guru Cantik?" Sapanya dengan gaya merayu yang menjijikkan menurutku.

Aku diam, memikirkan apa yang bisa kulakukan untuk bisa lari dari sini.

"Ajarin kita dong, Bu Guru," ujar pria satunya lagi. "Atau Ibu yang mau kita ajarin?" Pria itu menatap mesum.

Kurang ajar, dasar laki-laki berotak kotor!

Aku menghitung satu sampai lima. Satu ... aku menarik napas dalam-dalam. Dua ... Aku menggenggam tasku seerat mungkin. Tiga ... Aku melemaskan kedua kaki, sedikit mengatur letak yang menurutku pas. Empat ... Aku tersenyum manis kepada mereka berdua sambil berkata, "Dalam mimpimu, Brengsek!!!"

Lima ... aku lari sekencang mungkin.

Tapi sialnya, kekuatanku tak sehebat mereka. Dengan mudah orang itu bisa mengejar dan menarikku ke sudut lorong yang kotor bekas bangunan tak terpakai.

Aku mulai panik, ingin menjerit tetapi mulutku dibekap tangan bau alkohol mereka. Aku berusaha meronta sekuat tenaga, menendang apa saja yang aku bisa. Akan tetapi usahaku sia-sia.

Aku tak ingin pasrah, tapi keadaan ini membuatku merasa frustrasi sekaligus marah. Marah kepada takdir, marah kepada keadaan yang selalu memberiku musibah kesialan seperti ini.

Airmataku tak dapat kutahan, jiwaku menjerit histeris ketika dengan kasar salah seorang dari mereka menarik kasar kemejaku hingga robek di bagian bahu. Kugunakan tangan kecilku untuk menutupi braku yang mulai terekspos, tapi dengan lancang mereka menari kedua tanganku ke belakang, lalu mengikatnya dengan tali yang ada di sana.

Aku meronta, menangis dan menjerit dalam waktu bersamaan. Tapi, seketika pipiku memanas, aku jatuh terduduk dengan rasa perih yang begitu menyengat.

"Dasar wanita kotor sok jual mahal," hina laki-laki itu kasar.

Aku ingin sekali menyumpal bibir orang itu dengan bangkai, akan tetapi apalah dayaku saat ini yang sebentar lagi akan menjadi korban pemerkosaan dan pelecehan seksual.

Suara langkah kaki mendekat, aku segera mendongak dan menatap siapakah gerangan orang itu, berharap bisa meminta pertolongan agar terlepas dari kekejaman berandalan ini. Akan tetapi, lidahku kelu. Bahkan tubuhku terasa kaku tak dapat bereaksi melihat orang tersebut. Apalagi dengan tiba-tiba ia menghajar salah satu preman itu, dia menendang, memukul, serta meninjau dengan membagi buta sehingga lawannya itu jatuh tersungkur, ketika seorang lagi dari mereka mengeluarkan pisau lipat dari sakunya, aku Sontak saja berteriak kencang. "Aldeeeeeen ... awaaaas!" pekikku.

Untung saja pria itu langsung sigap, mematahkan serangan pria berandalan itu dengan mudah, kali ini pisau itu bahkan berpindah ke tangan Alden.

Kedua preman tadi sudah jatuh tersungkur di tanah, dengan wajah serta tubuh lebam bercampur darah. Alden yang melihat itu tak membuang waktu, ia segera mendekatiku, hal yang membuatku malah ingin menangis. Padahal sedari tadi aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk tak mengeluarkan air mata.

Pria itu melepaskan ikatanku, lalu melepaskan jaketnya untuk kupakai. Lalu dengan sigap ia membawaku dalam gendongan, aku yang tak siap sama sekali langsung mengalungkan tanganku di lehernya.

Wajah pria itu sangat datar, dengan garis rahang menonjol tajam. Matanya menatap lurus ke depan, bahkan tanpa repot-repot menoleh atau sekedar bertanya keadaanku. Ekspresi seperti itu, ia pertahankan hingga kami sampai di kamar kostku.

SEBAGIAN DIHAPUS
EBOOK SUDAH TERSEDIA DI PLAYSTORE

ATAU KALIAN BISA BELI PDF NYA LANGSUNG KE PENULISWA : 0813-6202-7643

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ATAU KALIAN BISA BELI PDF NYA LANGSUNG KE PENULIS
WA : 0813-6202-7643

Romantic Short Story [SUDAH DIBUKUKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang