44 Days for Our Wishes

21 3 0
                                    

Prak!
"Dasar anak bodoh! Untuk apa kamu kembali ke rumah! Pembawa sial!"
Tidak peduli berapa banyak air mata yang turun, aku tetap tidak akan dicintai. Mama menarik rambutku. Membawaku ke sebuah ruangan. Setelah pintu di buka aku di lempar masuk ke dalam ruangan itu.
Ctak! Dengan cambuk yang berat dan panjang itu dia meluapkan emosinya padaku. Aku berusaha untuk tetap tersenyum. Aku berusaha untuk tidak melawan. Bagaimanapun dia mamaku bukan?
Tidak sakit. Aku sudah tidak merasakan sakit lagi. Aku merasa sudah biasa. Mama... aku ini anakmu, kan?
Setelah selesai menyiksaku aku mengikuti mama ke dapur. Disana makanan sudah disiapkan. Mama dan suami barunya akan duduk di kursi sambil memakan makanan lezat. Aku disini. Duduk di lantai dengan tangan mengadah. Menunggu sisa makanan mereka.
Mama membuang makanan sisa miliknya ke lantai dan aku akan memakannya. Jika tidak, mama akan kembali menyiksaku. Tidak apa. Jika ini bisa membuat mama menyayangiku, aku tak apa.
Mama menarik rambutku. Tepat di depan pintu kamarku, mama melemparku. Dia pergi. Meninggalkanku yang sedang meringkuk kedinginan disini. Mama... andai kau tahu, sejak datang kemari, yang kuinginkan hanya kasih sayang mama. Tidak perlu kecupan lembut. Cukup dekapan yang menghangatkan.
Aku membuka pintu kamarku dan menutupnya rapat-rapat. Aku menyenderkan kepalaku ke pintu. Aku menangis sejadi-jadinya. Sakit! Rasanya sakit sekali. Ketika teman-teman seumuranku pulang mereka disambut dengan hangat. Sudah berapa lama ini terjadi? Bagaimana aku bisa sekuat ini? Rasanya aku ingin mati!
"Pada suatu hari, di sebuah negeri, hidup seorang gadis bernama Cinderella!"
Aku segera berbalik. Sosoknya yang seakan bercahaya itu tengah duduk di bingkai jendela. Dia mengenakan kaus oblong berwarna coklat dan celana hitam. Rambut landaknya itu tampak agak basah dan berantakan. Matanya yang sipit terkadang mencuri pandang.
Kakiku begitu saja bergerak ke arahnya. Aku duduk di dekat jendela. Dia terus menceritakan kisah Cinderella itu padaku. Tanpa sadar, senyumku terlukis begitu saja ketika menatapnya. Suaranya yang lembut dan bening dapat menenangkanku. Alasanku untuk tetap disini... Apa orang ini?
"Akhirnya mereka hidup bahagia selama-lamanya!" dia menatapku lembut. "kamu menangis lagi, ya?"
Aku tersadar dari lamunanku. Benar. Aku sudah sepakat untuk tidak lagi menangis. Aku menundukkan wajahku. Membayangkan saat ini mama sedang memelukku. Hangat. Pasti rasanya hangat sekali. Entah mengapa air mata ini kembali bercucuran.
"Maaf!" ucapku saat sadar aku mulai berlinang air mata.
Aku segera menghapus air mataku. Astaga... aku sudah terlalu banyak menangis hari ini. Eh? Entah mengapa... rasanya ada sesuatu di kepalaku.
Aku mendongak. Sebuah tangan terjulur. Mengelus kepalaku dengan lembut. Apa ini? Rasanya dadaku sesak sekali. Sejak melihat dirinya, jantung ini selalu berdetak tak karuan.
"Kalau kamu menangis, aku rasanya jantungku cenat-cenut ngga karuan. Kalau kamu tersenyum, rasanya dunia hanya milikku seorang. Gimana, dong?"
Sadarkah aku? Kalau dia... selalu ada untukku?
Aku tertawa. "Maksudnya apa? Aku nyeremin gitu. Kayak hantu? Sampai kamu cenat-cenut cuma gara-gara melihat aku?"
"Jangan ketawa. Nanti aku malah mikirin masa depan kita." aku menepis tangannya. Aku ngga tau lagi warna mukaku saat ini. Warna-warni kali, ya? Soalnya aku bahagia.
Roberto yang tadinya ingin menganggu Niel mengurungkan niatnya saat melihat wajah Ica. Berulang kali dia berteriak, "Tembak langsung! Dor! Kyaaaa... Gitu!" dia juga berusaha melempar sesuatu agar mengenai kepala Niel. Hingga akhirnya dia capek dan lebih memilih untuk menonton sinetron dengan Ibu Niel di bawah. "Semoga tuhan menyembuhkan penyakit bego kalian!"
***
Setelah lama menghilang, Ica akhirnya kembali. Tidak ada yang berbeda dari dirinya. Rambutnya yang coklat terang itu masih di kepang dengan rapi. Bibirnya yang merah alami masih menyuguhkan senyum yang manis untuk kami semua. Tidak ada yang berubah. Memar dan luka di tubuhnya juga masih sama. Hanya saja...
Matanya melebar saat menerima diary dengan sampul langit malam lengkap dengan bintang dan bulan yang kuberikan. "Ini untukku? Yakin?" tanyanya memastikan.
Aku hanya mengangguk. Dia memeluk buku itu erat. Memiringkan kepalanya. Matanya yang coklat itu seakan-akan bersinar terang. "Te-ri-ma-ka-sih!"
Aku menghela nafas dan mengelus kepalanya lembut. "Karena ini mereka pada iri sama kamu?" bisikku pelan.
Dia sama sepertiku. Tidak! Dia jauh lebih parah dariku. Meski Mama dan Papa sudah berpisah, aku tidak pernah mendapatkan perlakuan kasar seperti Ica. Apa karena aku tinggal sendirian? Apa kalau Ica tinggal sendirian dia tidak akan mendapatkan luka lagi?
Aku menatap sosoknya yang lembut dan cantik. Aku agak iri dengan rambut bergelombangnya yang panjang. Rambut pirangku pendek dan lurus. Seperti Papa. Tapi aku puas dengan penampilanku sekarang. Meski orang-orang masih saja menatapku sinis.
Perutku berbunyi. Benar juga. Aku belum menyantap makanan sejak tadi pagi. Aku menarik lembut tangan Ica. Tapi sebuah tangan menepisku kasar.
"Ica?"
Ica mengerang sambil memegangi tangannya. Emosiku langsung naik seketika. Aku menarik paksa tangannya dan menyibak lengan bajunya. Aku kaget melihat luka sayatan yang cukup parah di tangannya. Dia tersenyum saat aku melongo melihat luka separah ini.
"Kenapa ngga cerita? Luka apa ini?" tanyaku mulai mengintimidasinya.
Dia menggeleng pelan. "Aku tidak apa ce..."
Aku memegangi kepalaku yang rasanya mau pecah. Aku melihat luka itu lagi. Tidak mungkin dia baik-baik saja. Aku menegakkan tubuhku seraya menatapnya lembut. Kugenggam tangannya yang dingin itu. Seperti biasa, yang dia lakukan hanyalah tersenyum.
"Ica..." Aku menghela nafas, "dari dulu hingga sekarang aku adalah sahabatmu. Aku tau semua hal mengenai dirimu. Jangan coba menyembunyikan sesuatu dariku. Aku akan langsung mengetahuinya. Dan luka ini...," aku menatap luka itu. "Pasti sakit, kan?"
Dia memalingkan wajahnya dariku. Tangannya mengelus luka sayatan itu.
Aku kembali menghela nafas. Dia selalu seperti ini. Saat hal yang dia sembunyikan agar tidak mengkhawatirkan orang banyak ketahuan, dia akan diam seperti ini. Itu juga berarti luka sayatan itu memang sakit.
"Ya, itu sakit. Kau tahu? Saat kau sakit, aku juga merasakannya. Makanya, jangan berbohong. Hatiku akan terluka jika kau berbohong padaku. Berarti kau tidak mempercayaiku lagi."
Dia langsung menggeleng cepat untuk beberapa saat sebelum dia menundukkan kepalanya. "Maaf. Hanya saja ini sulit untuk dijelaskan."
Aku tersenyum. "Tidak apa. Aku selalu siap untuk menunggumu."
Aku memeluk Ica. Sahabatku tersayang. Tidak apa Ica. Meski di keluargamu tidak ada lagi yang menyayangimu, di sini kami siap menumpahkan kasih sayang hanya untukmu.
"Wisye. Kau bilang kau tahu semua hal mengenai diriku."
Aku berdeham, tapi hatiku tertawa puas. Rencanaku berhasil. Aku mengurai pelukan kami. "Aku satu-satunya orang yang mengetahui seluk beluk kehidupanmu setelah kakakmu. Begitu pula sebaliknya. Kau juga mengetahui semua hal tentangku." aku tersenyum penuh kemenangan.
Dia tampak agak ragu awalnya. Kemudian dia mengatakan, "Kau tahu kemana dan dimana aku saat aku menghilang?"
"Hanya aku yang mengetahuinya."
Tentu saja hanya aku. Aku sudah tak tahan kau diperlakukan layaknya binatang. Akulah yang menyuruhmu untuk menghilang. Ica memandangiku lekat-lekat. Ia mencoba untuk mengetahui apakah aku berbohong atau tidak. Tapi dia segera tersenyum.
"Aku mempercayaimu." aku tersenyum, "Kalau begitu, maukah kau menceritakan tentang masa laluku? Dan kenapa aku menghilang?"
Hatiku bertepuk tangan. "Tentu saja. Tapi ada syaratnya!"
***
"Ica!"
Orang yang kupanggil menoleh. Tapi dia langsung melarikan diri saat melihatku. Padahal sedari tadi kulihat dia sedang berceloteh ria bersama Cece a.k.a Wisye. Tapi kenapa dia melarikan diri saat melihatku?
Aku menoleh ke kanan, kiri, depan, dan belakang. Tidak ada Roberto atau hantu lain yang mengikutiku. Hanya ada penunggu pohon mangga yang sedang tertawa melihatku. Terus kenapa Ica pergi?
Kulihat dua buto sedang berjalan mendekatiku. Mereka saling bergandengan. Buto pertama berkulit putih. Pakaiannya rapi, rambutnya klimis, rahangnya tegas, bahunya lebar, dan badannya tinggi. Buto ini terus tersenyum sambil melambaikan tangannya ke arahku. Membuat para gadis berteriak histeris.
Buto satunya berkulit gelap. Buto ini memakai celana kodok berwarna hijau dengan dasi kupu-kupu berwarna merah. Buto ini sibuk menjilati lolipopnya. Dia tidak peduli pandangan manusia yang mengidik ngeri saat melihat jambul yang berdiri di tengah kepala botaknya.
Buto putih yang tak lain adalah Romi menghamburkan pelukannya padaku. Sedangkan buto yang lebih gelap memberikan tangkai permen lolipopnya yang sudah habis.
Romi merampas tangkai permen lolipop itu dan membuangnya ke tong sampah. "Ibra Ardagio, kapan lu bisa berhenti makan permen ini beibs... lu udah bukan anak kecil lagi sayangkuuuuh..."
Ibra berjalan melalui Romi. Dia sekarang berdiri persis di hadapan Wisye. Ibra mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Apalagi? Sudah pasti permen lolipop.
"Untuk Cece?"
Ibra mengangguk. Wisye berdiri dan mengambil permen pemberian Ibra. "Biar apa ngasih aku?" tanya Wisye memastikan.
"Memangnya ngasih sesuatu harus pakek alasan? Kalau aku bilang aku ngasih ini sebagai ucapan selamat atas kemenanganmu, kamu percaya?"
Semua orang diam. Tidak ada yang mengerti maksud ucapan Ibra. Tuh anak hanya berbicara jika terlintas sesuatu di otaknya atau karena ada keperluan. Irit banget! Dia selalu bawa notes, pena, dan Romi. Romi khusus menjadi penerjemah ketika Ibra memakai bahasa isyarat.
Wisye tersenyum bangga. Dia mengibaskan rambutnya sebelum pergi meninggalkan Romi dan aku yang sedang kebingungan. Tidak! Sepertinya aku mengerti maksud ucapan Ibra. Sangat mengerti malahan.
***
Setelah mendengar cerita Wisye pikiran Ica menjadi bercabang. Perasaan kaget, rindu, bimbang, dan sakit menjadi satu. Ica dilema. Seharusnya Ica tidak mengiyakan perkataan Wisye tadi.
Ica sedang menunggu angkutan umum lewat. Yah, Ica sudah cukup hafal dengan jalan menuju ke rumahnya. Setidaknya Ica harus mengucapkan salam perpisahan, kan?
Seseorang dengan motor beat berwarna ungu berhenti tepat di depannya. Badannya langsung kaku. Ica mencoba untuk mundur perlahan. Tapi tangannya sudah di pegang orang yang menaiki motor ungu itu.
"Ngga usah takut. Aku ngga berubah jadi banci, kok. Mama menyita motorku yang satunya karena aku sibuk main playstation. Mama bilang sampai lulus aku harus menaiki...," orang itu yang tidak lain adalah Niel mengecilkan suaranya. "motor ungu bunga-bunga punya mama."
Ica tertawa. "Terus motormu kemana?"
"Dipakai mama balapan!" ucapnya sambil menggerutu.
Ica segera melupakan alasannya menjauhi Niel. Ica langsung naik tanpa diminta. Niel memberikannya helm ungu sedangkan Niel sendiri memakai helm pink yang terdapat sticker "I Love Mama" di belakangnya.
Tidak ada yang bicara. Mereka semua diam. Ica menatap sosok Niel dari belakang. Baru kali ini Ica menatap punggung Niel begitu dekat. Entah mengapa Ica rasanya sangat merindukan si pemilik punggung.
Ica tersenyum dan menempelkan dahinya di punggung Niel. "Aku tidak ingin jauh-jauh darimu." tidak ada respon dari Niel. Tangan Ica mencengkeram baju Niel erat. "Wisye menceritakannya padaku. Semuanya. Tapi ada syaratnya. Aku harus pindah ke rumah Wisye. Sore ini... dia akan menjemputku."
Entah mengapa meski kecil sekali, Ica dapat mendengar suara Niel mengutuk-ngutuk Wisye. Ica tersenyum. Hangat sekali... Ica memeluk Niel dari belakang. Air matanya mulai berjatuhan.
"Aku ingin selalu berada di dekat Kakak."
Degh! Rindu seketika menjalar ke seluruh tubuh Niel. Kakak... Kalimat yang akhirnya kembali di ucapkan gadis di belakangnya. Niel dapat mendengar isakan gadis itu. Dia tahu gadis di belakangnya sedang menangis. Tapi apa yang bisa dia lakukan? Air mata juga jatuh melewati pipinya. Nielson Devadatt yang terkenal cuek, akhirnya menangis.

Edenshii [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang