"Kerlipan bintang mewujudkan cinta yang romantis. Bintang yang berkedip menyampaikan kata-kata hangat pada bulan. Karena itu, bunga yang mekar di bawah bulan dapat membisikkan kata cinta. Jadi siapakah dirimu. Sang bulan, bintang, atau bunga?"
Dia muncul di tengah ruangan tanpa ada suara. Dia mengenakan gaun berwarna putih. Gaun setipis sayap serangga dan seringan sutra, dengan hiasan batu permata biru tua kecil di seluruh permukaan gaun yang terlihat seperti bintang. Kain kasa ringan yang dihiasi mawar putih yang tersemat seperti mahkota di kepalanya. Namun gaun putih itu berubah keemasan ketika kerlip cahaya kunang-kunang menyinari dirinya.
"Apa aku tak bisa menjadi ketiganya?" Matanya yang biru jernih memancarkan cahaya yang sama dengan bulan yang sedang bersinar saat ini. Aroma es yang dingin menyeruak ke setiap sudut ruangan. Sesuai perkiraanku. Dia akan datang.
Senyumnya yang hangat terukir begitu indah di wajahnya. Tepat pada saat cahaya putih bulan menyinari seisi ruangan. Seakan tahu pemilik mata indah itu berada disini, cahaya putih itu terus mengikuti kemana dirinya pergi. Bahkan saat dia berjalan mendekatiku dan memelukku sinar itu tetap mengikutinya.
Suara detik jarum jam yang berhenti berdetak membuatku sadar. Aliran sinar bulan, pembeku waktu. Hal yang kusadari saat melihat seisi ruangan tidak bergerak sama sekali. Bahkan Munmei hanya berdiri diam tanpa meneriakiku. Kekuatannya sudah kembali, bahkan jauh lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Apa dia benar-benar adikku?
"Jadi..." aku melepaskan pelukannya dan mengelus lembut puncak kepalanya. "Apa yang salah satu adikku inginkan?"
Lemari buku di sudut ruangan itu mulai berguncang hebat saat gadis kecil ini mengayunkan tangannya. Kemudian berhenti sejenak. Saat dia menjentikkan jarinya, salah satu rak terbuka dan sebuah buku terbang darisana. Mendarat dengan sempurna di tangan putihnya. Entah sejak kapan buku tua itu berada di salah satu rak bukuku. Tapi, yang lebih aneh lagi gadis kecil ini. Bahkan dengan mata telanjang aku bisa melihat, aura sihir yang sangat kuat dari tubuhnya.
"Aku mengetahuinya. Bahwa sejak zaman dahulu, para utusan sudah menapakkan kakinya di tanah ini. Hanya saja mereka selalu bereankarnasi karena tidak pernah mencapai harapan. Tapi, Tiga dari para utusan tidak pernah bereankarnasi." Matanya menatapku.
Apa yang bisa kulakukan. Aku hanya tersenyum. Buku bodoh itu pasti yang telah mendongeng kisah-kisah yang terjadi di masa lalu untuknya. Saat semua akan berakhir, selalu begini. Saat mereka semua akan bereankarnasi lagi selalu begini. Aku sudah tidak mau lagi, berpisah dengan orang-orang yang kusayangi. Kenapa para Takdir selalu saja egois seperti ini? Apa mereka tidak tahu? "Kita semua tidak akan bereankarnasi kalau Sang Takdir tidak akan mati!"
"Tapi pada kenyataannya kami ditakdirkan untuk mati. Dan aku ingin mati sekali lagi."
Orang gila mana yang ingin kembali merasakan kematian? Kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak memiliki sedikitpun keraguan. Dia menatapku sambil tersenyum seolah kata-katanya tidak menyakiti hatiku. Aku selama ini selalu menunggu kapan saatnya mereka terlahir kembali, dengan santainya dia berkata dia ingin mati lagi?
***
Crash! Suara pedang yang merobek kulit itu berhasil membuat darah merah segar mengalir keluar. Tidak ada rasa sakit yang ditunjukkan dari wajahnya. Tanpa menunggu dia segera membuat lingkaran sihir dari darahnya. Tujuannya hanya satu. Membuat semua orang hidup dengan normal.Rumput itu berwarna merah. Bau amispun mulai keluar. Meski butuh banyak sekali darah yang harus digunakan untuk ritual pemanggilan, tapi dia tampak tidak memperdulikan hal itu. Prioritas utamanya saat ini adalah umat manusia yang ada di seluruh dunia. Sebanyak apapun darah yang dikeluarkannya tidak ada apa-apanya jika dia tidak bisa membuat dunia ini tersenyum bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edenshii [COMPLETED]
FantasyNielson Devadatt Dua tahun aku menunggumu, dua tahun aku mencarimu, dua tahun aku merindukanmu. Dua tahun pula waktu yang cukup untuk kau melupakanku. Jessica Emilia Aku tidak keberatan terluka. Karena kamu akan selalu mengobatinya. Roberto Stephene...