Aku berjalan di tengah ruang hampa. Untuk pertama kalinya aku pergi ke celah antar dimensi. Tidak ada udara, pepohonan, atau tanda-tanda kehidupan di sini. Yang ada hanyalah ruang hitam tanpa batas.
Aku melihat jam saku yang mulai berjalan maju. Kulihat ke kanan dan ke kiri. Tidak ada siapa-siapa di sini. Seharusnya. Aku memutuskan untuk menunggu. Saat robekan itu terjadi, aku akan tahu segalanya.
20 menit! Sudah 20 menit aku menunggu di tengah-tengah ruangan gelap yang membosankan ini. Harusnya robekan itu sudah terjadi. Tapi entah mengapa belum. Yang bisa ku dengar hanyalah suara jarum jam yang bergerak.
Tunggu? Jarum jam ini bersuara. Bodohnya aku! Aku merentangkan tanganku ke atas dan sabitku memenuhi panggilanku. Aku memutar-mutar sabitku yang mulai bercahaya dan menusukkan ujungnya dimana saja. Tapi saat aku akan melakukannya, ada sesuatu yang mencengkeram erat sabitku. Aku dapat melihat tangan hitam yang menahan sabitku. Aku tidak bisa melihatnya, karena seluruh ruangan ini berwarna hitam.
"Tidak akan kubiarkan!"
Aku merasakan tangan dingin mengelilingi leherku. Mencekikku hingga aku tidak bisa bernafas. Suara tawa seseorang terdengar sangat jelas di telingaku. Hawa dingin yang berasal dari tangannya membuatku muak.
"Atas nama tuhan yang menciptakan. Aku, sang kematian-"
"Atas nama tuhan yang menciptakan. Aku, sang takdir. Memintamu untuk tidak menganggu takdirku!"
Aku terlempar jauh. Darah keluar dari hidungku. Rasanya aku tidak bisa bergerak. Bahkan deru jantungku sepertinya tidak lagi terdengar. Warna hitam yang menjadi warna dasar ruang antar dimensi ini mulai pudar. Berganti dengan warna pelangi yang sangat indah.
Kini aku dapat melihat semuanya. Seseorang yang memegangi sabit dan mencekik leherku, dia adalah wanita yang dikelilingi aura menyeramkan. Matanya lebar dan keseluruhannya berwarna hitam. Dia memiliki rambut berwarna hitam yang kusut dan kaku layaknya akar pohon beringin. Tubuhnya yang kurus hanya dibalut baju yang lebih mirip lumut tak terurus. Tangannya ada empat dan memiliki telinga yang runcing. Badannya bungkuk dengan sayap peri yang mulai pudar warnanya.
Aku lebih tak percaya saat melihat gadis kecil di sampingnya. Gadis dengan rambut berwarna pink dan mata biru bulan yang indah. Gadis itu memakai baju gaun berwarna putih yang terdapat bercak darah dan robek. Takdir! Gadis itu adalah sang takdir. Aku melihat seseorang yang di gendong gadis itu. Seseorang yang tubuhnya sudah pucat dan dingin. Tapi aku masih bisa melihat nyawa di tubuhnya. Seorang pria yang kehadirannya di tunggu banyak orang. Mimpi!
"Takdir! Jangan lakukan itu! Kalau kau merobek ruangan ini, tidak akan menjamin bahwa mimpi akan tetap di sampingmu! Sudah menjadi takdirnya mimpi mati dengan cara seperti itu!"
"DIAM!!!"
Mata bulan itu menatapku. Kini warna bulan biru yang ada di matanya tidak seindah seperti yang aku ingat. Matanya telah... mati. Sama seperti perasaannya.
"Kau yang bisa selalu bersama waktu tahu apa? Kau hidup di keluarga bangsawan dan sangat di sayangi keluargamu. Kau menjadi raja iblis dan menikah dengan sang waktu! Kau yang selalu bahagia, tahu apa tentang kehidupanku?"
Aku terdiam. Kini bisa kurasakan energiku mulai terkuras. Aku terkena mantra yang sangat menyulitkan. Tapi aku tidak bisa diam saja. Jika sabit ini berhasil mengambil roh yang ada di tubuhnya, mimpi pasti tidak akan terlahir.
Aku menatap takdir yang memeluk mimpi sambil menangis sesegukan. Berkali-kali dia mengguncangkan tubuh mimpi tapi tidak ada yang terjadi. Tentu saja. Karena seharusnya aku sudah mengambil roh miliknya. Dimana aku yang dulu?
"Aku terlahir, untuk mengetahui masa depan," dia mulai kembali berbicara, "aku di asuh keluarga yang bahkan tidak menyayangiku. Mereka bahkan tidak membiarkan aku bahagia! Orang-orang lebih menyukai kalian dari aku. Tapi... masih ada kakak dan mimpi yang selalu membuatku tersenyum. Tapi aku harus melihat takdirku meski akulah sang takdir. Kakakku yang aku sayangi, mati bunuh diri karena tidak kuat lagi menghadapiku, dan mimpi! Mimpi mati... karena aku yang membunuhnya. SEMUANYA MATI KARENA AKU!"
Dia menidurkan mimpi dengan lembut. Mengecup kening mimpi dengan lembut. Kemudian dia menatapku dengan tajam. Sebuah tongkat muncul di tangannya.
Di arahkan tongkat itu ke atas. Seberkas sinar di ujung tongkat mulai menyilaukan mata siapa saja yang melihatnya. Wanita beringin itu tertawa tiada henti. Puas karena rencananya berhasil. Berkali-kali aku mencoba untuk berdiri, tapi tidak bisa! Tubuhku seperti di lem. Aku tidak bisa melakukan apa-apa. Jantungku juga mulai berhenti berdetak. Bisa-bisanya aku kesulitan seperti ini. Sial!
Sebuah lingkaran mulai terbentuk dan semakin membesar. Lingkaran yang membuat seluruh dimensi kacau balau! Ya, robekan antar dimensi. Sial! Aku masih tidak bisa bergerak! Bagaimana ini? Tuhan... tolong kirimkan seseorang untuk menyelamatkan mereka!
Pats! Sebuah cahaya melesat dan menjatuhkan tongkat takdir. Cahaya itu juga masuk ke dalam tubuh wanita beringin itu yang membuat wanita beringin itu menjerit kesakitan. Aura menakutkan miliknya mulai menghilang ketika cahaya itu keluar membawa sebuah kristal yang diselimuti cahaya menakutkan. Aku merasakan jantungku mulai kembali berdetak normal dan aku bisa berdiri. Cahaya itu mulai berubah menjadi seorang gadis kecil dengan netra abu yang sangat kusayangi. Dialah sang waktu.
"Moa... aku mencintaimu."
Moa memukulku. Pukulannya cukup keras hingga membuat otakku kembali berjalan.
"Maaf!" Erangku sambil mengelus kepalaku.
Wanita itu berteriak. Teriakannya menakutkan. Jarinya yang panjang dan kurus menunjuk sesuatu yang dibawa Moa. Kristal ungu yang di rampas Moa saat masuk kedalam tubuh wanita itu. Tunggu dulu? Jangan-jangan itu... hati kristal!
Hati kristal adalah inti kekuatan setiap orang. Setiap orang di seluruh dimensi memiliki hati ini. Jika hati itu direbut, kekuatan pemilik hati itu akan hilang. Tapi jika hati itu hancur, pemilik hati itu akan mati. Hanya aku dan Moa yang bisa mengambil hati kristal itu. Karena hati kristal menentukan hidup dan matinya setiap orang.
Moa mengucapkan sesuatu. Mantra yang hanya bisa di dengar oleh sebagian orang saja. Lingkaran sihir terbentuk di bawah wanita tua itu. Wanita beringin itu mencoba untuk lari. Tapi seperti ada dinding yang menghalanginya untuk kabur.
Aku berlari menuju lubang yang dibuat oleh takdir. Aku memasukkan sabitku ke lubang itu dan mulai mengucapkan mantera yang akan menghilangkan lubang itu.
Wanita beringin itu berteriak keras. Dia berusaha mencabik-cabik dinding tak terlihat yang mengurungnya dengan jari-jarinya yang kurus dan panjang itu. Membuat suara deritan yang sangat memekakkan telinga. Hingga akhirnya tubuhnya terpotong-potong dan menghilang.
Moa menatapku sambil tersenyum. Senyuman yang aku rindukan. Hingga aku menyadari darah keluar dari perutnya. Seseorang menghunuskan pedangnya pada gadisku.
"MOAAA!!!"
Moa ambruk. Tubuhnya yang kecil jatuh ke tanah sambil tetap memeluk hati kristal. Aku melemparkan sabitku dan bergegas menghampiri Moa yang tidak berdaya. Kuraba tangannya. Denyut nadinya hampir tak terasa. Badannya dingin dan kaku. Darah mengalir deras dari perutnya. Gadis kecilku yang manis kini tengah sekarat.
Suara tawa menggelegar. Membuat amarahku kian memuncak. Takdir yang kini berdiri sambil menggendong mimpi masuk ke dalam lubang yang akan tertutup. Dengan tanganku aku menggerakkan sabitku. Tidak ada cara lain. Aku harus mengambil nyawa mereka.
"Jangan lakukan itu."
Ruang hampa ini berubah bersamaan dengan terdengarnya suara lembut yang berdenting seperti lonceng. Aku meneliti dengan seksama. Aku memijaki rumput. Terdapat tiga pelangi di langit. Unicorn, peri, dan makhluk astral lainnya nyata! Aku berdiri di bawah teduhnya sebuah pohon. Pohon besar dengan daun berwarna merah muda dan buah yang lonjong seperti ubi. Aku tidak tau ini pagi atau malam. Karena matahari, bulan, dan bintang muncul bersamaan di langit.
"Ini dunia mimpi. Dunia yang di ciptakan mereka yang berani bermimpi."
Seorang anak lelaki dengan rambut biru dan mata seperti langit berbintang muncul di antar dahan pohon. Di atas kepala anak itu terdapat bintang jatuh dan awan petir yang mengelilinginya seperti mahkota. Dia memakai baju seperti orang-orang pada zaman yunani kuno. Dia membawa payung bening yang biasa di gunakannya untuk menentukan mimpi seseorang. Dialah sang mimpi! Noel Le Agrigent.
"Aku merindukanmu sahabat."
Dia tersenyum dan perlahan terbang mendekat. Dia mendaratkan kakinya di atas tanah dengan sangat ringan dan lembut seperti bulu.
"Hei! Aku hidup sebagai anak yang selama ini kau jaga. Kenapa merindukanku?"
"Ya! Anak itu menyebalkan. Persis seperti dirimu."
Dia tertawa mendengar ucapanku. Tawanya membuat seluruh binatang yang ada di hutan ini berdatangan. Tawanya menenangkan seperti lagu dan menyejukkan seperti desiran angin. Tak heran jika dia adalah sosok yang selalu di tunggu kehadirannya.
"Dia yang selalu percaya pada mimpi. Seperti dirimu. Dia yang selalu berusaha menyenangkan hati orang di dekatnya, seperti dirimu. Kau tahu? Itu menyakitkan. Aku seperti melihatmu tapi bukan dirimu."
"Kalau begitu jangan lihat dia sebagai aku. Lihatlah dia sebagai dirinya sendiri."
Binatang-binatang di sekitar kami tib-tiba menjauh. Petir mulai menyambar padahal tidak ada awan gelap. Mataku membulat saat melihat tubuh mimpi yang perlahan mulai menghilang.
Dia tersenyum lembut. "Aku akan terlahir kembali, ya?"
Kini dia menatapku. Matanya yang penuh dengan bintang itu membuatku tak tega melihatnya menghilang. Aku menutup mataku. Ini sama saja seperti aku akan melihat kematian sahabatku sendiri. Meski aku sudah terbiasa, tetap saja jika sahabat, rasanya sakit.
"Padahal kau sering sekali kesakitan nantinya. Kenapa takdir begitu bodoh dan mengabaikan tugasnya."
Aku kesal. Amat kesal. Tapi tangan seseorang yang menyejukkan menarik tanganku. Dia menggeleng lembut sambil tetap tersenyum.
"Dia tidak pernah merasakan kebahagiaan. Kumohon, tolong jangan bunuh dia sampai saatnya tiba. Dia itu gadis baik. Dan aku mencintainya. Pada akhirnya aku memang akan pergi meninggalkannya. Maka dari itu, jika aku masih bisa berada di sampingnya, dia akan terus bahagia. Kau dan waktu yang paling mengerti itu, bukan?"
Kini sosoknya benar-benar menghilang. Dunia ini pun perlahan mulai memudar. Sekarang aku berada di ruang hampa. Tempat seharusnya aku berada. Aku melihat Moa yang kini kesulitan untuk bernafas. Aku memeluknya erat. Apakah sudah saatnya waktu kembali ke pangkuan tuhan?
"Belum."
Sebuah lingkaran sihir berwarna putih muncul di bawah kami. Lingkaran sihir itu mengeluarkan cahaya yang menenangkan. Luka di perut Moa perlahan mulai menutup dan suhu badannya mulai kembali normal. Aku memeluknya erat. Seakan-akan aku sudah lama sekali tidak bertemu dengannya.
"Dengan kristal hati dan kekuatannya yang belum pulih, dia akan kusegel di alam mimpi. Disana ada pohon waktu. Tempat dimana Moa pertama kali di temukan. Jika Moa berada di dalamnya, dia akan kembali pulih. Bagaimana menurutmu?"
Pohon waktu, adalah pohon besar yang kulihat tadi di alam mimpi. Jika Moa berada di alam mimpi dan berada dekat dengan pohonnya, dia akan kembali pulih dan tidak ada yang menemukannya.
Aku mengangguk. "Aku mohon bantuanmu."
Segerombolan kunang-kunang datang dan mengelilingi tubuh Moa. Kunang-kunang itu mengangkat Moa perlahan ke udara dan mengeluarkan cahaya yang menyilaukan sebelum menghilang.
Aku tersenyum. Ya. Meskipun aku di masa lalu akan tidak mengetahui hal ini, tapi aku senang Moa aman. Moa adalah prioritas utamaku.
"Terimakasih, mimpi."
***
"Kau berbicara pada siapa Roberto?"
Aku melihat sekeliling. Sepertinya aku sudah kembali ke rumah Niel. Aku menatap seseorang yang sedang tersenyum di depan pintu.
"Kalau begitu jangan lihat dia sebagai aku. Lihatlah dia sebagai dirinya sendiri."
Dia adalah mimpi. Tapi versi dunia ini. Mimpi yang terlahir kembali. Aku melihat dia sebagai dirinya. Bukan mimpi yang dulu. Harus kuingat itu.
Aku menggeleng. Dia mengangkat sebelah alisnya dan menatapku heran. Kaki kecilnya berjalan masuk ke dalam kamar dan melempar tasnya asal. Dia duduk di meja belajar yang membelakangiku. Biasanya aku akan memarahinya. Tapi untuk sekarang, aku akan mencoba untuk tenang.
"Niel, terimakasih."
"Untuk apa?"
"Semuanya."
Dia menoleh kebelakang dan melemparkan bukunya padaku. Meski harusnya dia tahu buku itu akan menembus tubuh astralku.
"Menyeramkan, tahu! Kalau mau mengambil nyawaku ambil saja! Jangan mengucapkan hal menjijikkan seperti itu!"
Kami berdua tertawa. Niel adalah Niel dan Noel adalah Noel. Meski Niel adalah reinkarnasi Noel, mereka tetap orang yang berbeda. Dan aku akan tetap menjaga mereka berdua hingga waktu yang tepat tiba.

KAMU SEDANG MEMBACA
Edenshii [COMPLETED]
ФэнтезиNielson Devadatt Dua tahun aku menunggumu, dua tahun aku mencarimu, dua tahun aku merindukanmu. Dua tahun pula waktu yang cukup untuk kau melupakanku. Jessica Emilia Aku tidak keberatan terluka. Karena kamu akan selalu mengobatinya. Roberto Stephene...