Ingatan Icha

17 3 0
                                        

Aku melihat Kakak sedang membangun sesuatu di pohon. Sepertinya dia sedang membuat sesuatu.
"Kakak sedang membuat apa?"
Dia menatapku sambil tersenyum bangga. "Ini rumah pohon. Istana kita." Dia mengalihkan pandangannya pada sesuatu di ujung langit yang ia tunggu. "Nanti ketika aku sudah besar, akan kubangun istana untuk anak-anak jalanan. Jadi mereka ngga akan kesusahan. Akan kucari tanah impianku!"
Dia selalu begitu. Selalu menceritakan tentang mimpinya. Aku yang saat itu masih kecil hanya bisa mendengarkannya sambil tersenyum. Kakakku adalah Kakak yang paling hebat! Dia adalah Kakak lelakiku. Ryan Allendris. Atau yang biasa dipanggil Iyan. Adalah Kakakku yang paling aku kagumi.
Namaku Jessica Emilia. Teman-teman memanggilku Icha. Tahun ini aku memasuki kelas 4 SD. Sedangkan Kakakku kelas 2 SMP. Kakak, adalah orang yang paling kukagumi. Sepertinya aku sudah mengatakan itu berulang kali, ya? Tapi itu memang benar! Kakak itu tinggi, pintar, tampan, populer, asik, dan mudah beradaptasi. Aku ingin menjadi seperti Kakak yang memiliki mimpi yang indah.
Aku tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Kakak. Apa yang Kakak inginkan, selalu dia dapatkan. Setiap Kakak mendapatkan juara apapun, dia selalu dielu-elukan. Bila kami mendapatkan juara disaat yang sama, Kakak akan langsung diberi hadiah. Sedangkan aku hanya dinasehati agar bisa menjadi seperti Kakak. Meski Kakak selalu diajak ke mall, dibelikan baju bagus di sana, sedangkan aku hanya dibelikan baju di emperan jalan. Tapi aku tidak iri. Karena Kakak, diam-diam selalu membagi hadiahnya. Meski jika ketahuan aku akan dikurung seharian di gudang. Tapi aku tambah mengagumi Kakakku. Karena saat aku dikurung, Kakak akan menangis meminta aku segera dibebaskan. Saat aku keluar dia akan memelukku sambil menangis. Makanya aku tak peduli. Aku sangat menyayangi Kakak.
"Nih!"
Kakak menyodorkan sebuah tas. Aku yang saat itu sedang menulis di kamar kebingungan menerimanya. Kemudian aku membuka tas itu dan mengeluarkan isinya. Laptop!
"Apa ini, Kak?"
Dia tersenyum kemudian mengacak-ngacak rambutku. "Icha suka menulis, kan? Daripada Icha membuang-buang buku yang seharusnya Icha gunakan untuk sekolah, mending Icha pakai ini!"
Aku menggeleng, "Ngga usah! Inikan mahal! Ketahuan Papa gimana? Terus tanah impian Kakak gimana? Ini uang dari tanah impian itu, kan?"
"Kakak juara olimpiade sains. Ayah berjanji akan membelikan Icha laptop jika Kakak juara. Makanya kakak berusaha! Agar Icha lebih mudah menulisnya. Icha ingin membuat cerita tentang Kakak, kan?"
Aku tersenyum sambil menatap tas laptop itu. Aku memeluk tas itu. Tanpa kusadari ternyata air mataku menangis begitu saja. Hanya Kakak. Hanya Kakak yang mengerti perasaanku. Hanya Kakak.
"Kak! Lihat apa yang ada di koran!"
Kakakku mengambil koran yang ada di tanganku dan membacanya. Wajahnya yang kusut berubah menjadi sumringah. Dia mengelus kepalaku agak kasar.
"Bagus banget! Kamu memang adik yang paling hebat! Dengan begini kakak bisa membeli tanah impian kakak!"
Aku tersenyum dan mendekati Kakakku yang sedang duduk di sudut rumah pohon kami. "Tanah dimana anak-anak terlantar bisa Kakak urus, kan?" Tanyaku polos.
Kakakku mengangguk mantap. Kemudian dia kembali menceritakan tentang tanah impiannya. Tanah di mana ia akan membangun panti asuhan. Istana untuk anak-anak terlantar. Aku selalu mendengarkan kisahnya sambil menuliskan mimpinya di laptop pemberian Kakak. Kakakku, adalah orang yang paling hebat! Hanya itu yang kupikirkan.
Keesokan harinya aku melihat kotak surat dan menemukan amplop kuning panjang disana. Aku membaca setiap detail isinya. Dengan bahagia aku membawanya kedalam rumah. Aku ingin memberikannya pada Papa dan Mama. Namun apa yang kuharapkan tidak sesuai kenyataan. Baru saja masuk, Papa langsung menamparku.
"Dasar anak sialan! Kamu yang menunjukkan koran ngga jelas pada Kakakmu, kan? Kakakmu pergi untuk membeli tanah di koran sialanmu itu! Dia mengalami kecelakaan! Kakakmu meninggal karena kamu! Mati aja sana!"
Hatiku terkoyak. Kakak meninggal? Aku syok berat. Meski aku tak mengerti apa-apa, semua kesalahan ditimpakan padaku. Kakak meninggal... karena aku? Setelah pemakaman Kakak, keluarga kami hancur berantakan.
Amplop kuning itu, pada akhirnya tidak ada yang membacanya. Sejak Kakak meninggal, surat itu tidak pernah lagi kubuka. Surat yang menyatakan bahwa naskahku akan diterbitkan. Tapi tak ada yang menyalamiku, atau memujiku. Aku juga mulai berhenti menulis. Kebahagiaanku yang selama ini selalu mendukungku, sudah pergi. Kenapa semua kebahagiaanku direnggut? Kenapa?
***
"Dasar! Keluarga ngga jelas!"
Byuuur! Mereka menuangkan minum mereka padaku sambil tertawa. Setelah itu mereka melemparkan wadahnya beserta kata-kata yang sudah menjadi makananku setiap hari. Jika mereka sudah puas, mereka akan meninggalkanku sambil tertawa.
Aku berjalan. Memungut bukuku yang mereka buat berserakan. Aku membersihkan bekas pijakan yang mereka buat di atas buku itu. Tak ada lagi air mata yang mengalir. Aku sudah tak bisa lagi menangis.
Saat aku pulang ke rumah, suara berisik yang berasal dari pertengkaran Papa dan Mama sudah menjadi keseharianku. Setelah kepergian Kakak, mereka selalu bertengkar. Yang bisa kulakukan hanyalah mengurung diri di kamar sambil menutup telingaku dengan bantal hingga aku tertidur.
Hari ini, saat aku bangun, aku melihat Mama membereskan pakaianku dan pakaiannya. Lalu aku melihat Papa tengah sibuk bercengkrama dengan perempuan yang sering ia bawa saat Mama tidak ada.
"Ikut Mama. Jangan banyak bicara!"
Memangnya aku pernah mendapatkan hak untuk bicara? Semuanya, semua hal, bahkan tentang diriku sendiri. Sedikit saja tak pernah kalian biarkan aku untuk berbicara. Karena aku bukan siapa-siapa.
Tanganku ditarik paksa oleh Mama. Aku tetap diam dan mengikuti kemanapun Mama membawaku pergi. Saat itu aku bahkan berpikir, jika Mama ingin membunuhku, aku tak apa.
Mama membawaku ke rumah yang tak terlalu besar dari rumah kami yang dulu. Rumah yang cukup untuk kami berdua. Aku juga pindah sekolah. Aku sudah tak peduli lagi. Hidupku sudah hancur berantakan.
***
"Anak-anak, kita punya murid baru. Ayo perkenalkan dirimu."
Aku menatap sekeliling dengan bosan. "Jessica Emilia."
Semuanya hening.
"Baiklah. Kamu duduk di samping Wisye, ya! Semuanya tolong akrab dengan dia, ya!"
Aku berjalan menuju tempat duduk yang telah ditetapkan. Orang-orang memandangku dengan penuh tanda tanya. Ada juga yang menyapaku. Tapi semuanya tak kupedulikan. Aku hanya ingin segera menyelesaikan pelajaran dan pulang.
Bel istirahat berbunyi. Semuanya berhambur keluar kelas. Hanya aku dan gadis di sampingku yang tersisa di ruangan ini.
Dia terus menatapku dengan matanya yang jenaka. Sejak tadi dia selalu begitu. Dia juga tak berhenti memperkenalkan dirinya. Aku lumayan risih akan hal itu.
Aku mengeluarkan kotak bekalku dan membukanya bersamaan dengan dirinya. Dia tampak sedikit terkejut ketika melihat bekalku.
"Nasi goreng! Boleh aku mencobanya?"
Tanpa persetujuan dariku dia langsung menyendok nasi gorengku dan memakannya. Kemudian dia memberiku omelet gulung tanpa kuminta.
"Masakan Ibumu enak, ya?" Ucapnya sambil melahap bekalnya.
Aku menatap bekalku sebentar, "Mama tidak pernah memasakkan makanan untukku."
"Kalau begitu Ayahmu?"
"Tidak. Mereka tidak pernah ada di rumah."
Dia menghentikan makannya. "Apa orangtuamu sibuk?"
"Tidak. Mereka hanya membenciku. Karena aku yang telah membunuh Kakak."
"Tidak mungkin!" Teriaknya histeris.
Aku menceritakan semuanya yang terjadi pada keluargaku. Ini pertama kalinya aku membicarakan masalahku pada orang lain. Dia tampak mendengarkan dengan seksama. Aku memberitahukannya agar dia mengetahui siapa aku. Karena semua orang yang mendengar ceritaku, akan meninggalkanku secara perlahan.
"Hm... menurutku itu bukan salahmu. Memangnya siapa yang tahu kapan maut akan menjemput?"
Aku tersentak mendengarkan jawabannya. Tidak biasanya ada seseorang yang menanggapi pertanyaanku. Kenapa dia tidak menjauhiku? Kenapa dia justru menanggapi ceritaku?
Dia tampak sedang berpikir keras sambil melahap makanannya. "Pasti sakit, ya. Apalagi kau menjalaninya sendirian. Jika kau butuh tempat curhat, bicara saja padaku. Bicara itu bisa mengurangi rasa sakit, lo!"
Aku tersenyum sembari mengunyah makananku. Rasanya hangat sekali. Pada akhirnya Wisye dan aku saling berbagi cerita satu sama lain. Benar. Ternyata berbicara itu dapat mengurangi rasa sakit, ya?
"Oh, ya!" Dia mengeluarkan sesuatu dari jaketnya. Sebuah jepit kupu-kupu. Dia mengambil tanganku, membuka telapak tanganku, dan menaruh jepit itu di tanganku. "Tanda awal persahabatan kita. Jangan lupa dipakai, ya!"
Aku tersenyum dan langsung menyematkan jepit cantik itu di rambutku. Kami tertawa bersama. Sejak itu aku tidak pernah melepaskan jepit ini.
***
Tanpa terasa, waktu terus berjalan. Aku dan Wisye  menjadi semakin dekat. Dia selalu membantuku saat kesulitan. Tidak seperti di sekolah lamaku, aku merasa bisa lebih terbuka disini. Mungkin karena ada Wisye, ya? Waktu terus berlalu. Berbagai macam ujian telah aku jalani. Aku juga berhasil masuk SMA yang sama seperti kakak.
"Wah! Kamu cantik sekali, Icha!"
Aku melihat bayanganku yang mengenakan seragam khusus SMA yang akan aku masuki. Kami sedang mencoba semua seragam sekolah di rumah Wisye. Aku tersenyum melihat bayanganku di cermin.
Wisye mengambil handphonenya dan kami mengambil foto bersama. Setelah itu dia langsung memposting foto di instagram dan sosial media lainnya. Aku mengambil tasku. Aku ingin segera menunjukkannya pada seseorang.
"Aku pamit pulang ya, Wisye!"
"Mau menunjukkannya, ya?" Tanya Wisye.
Aku mengangguk. Wisye mengacungkan jempolnya. "Aku yakin dia akan menyukainya."
Itu juga yang aku harapkan. Aku selalu menyempatkan diri untuk datang kesini. Sekedar untuk berkeluh kesah, atau melepas rindu. Terkadang aku bisa menghabiskan waktuku seharian disini. Kadang... aku merasa bahwa ceritaku benar-benar didengarkan olehnya. Meski sudah cukup lama... tapi aku tak pernah bisa melupakannya.
"Kakak... bagaimana kabar kakak disana? Kakak cukup makan? Apa kakak sudah mendapatkan tanah impian Kakak?" Aku mengelus nisan Kakak. "Lihat seragamku! Tahun ini aku masuk SMA. SMA yang sama seperti Kakak. Tenang saja, Papa dan Mama sehat selalu. Mereka sangat merindukan Kakak. Mama juga sudah mulai menyayangiku. Buktinya dia mendaftarkanku ketika aku bilang padanya aku ingin masuk sekolah Kakak dulu. Ngga seperti SMP dulu. Waktu SMP Kakak yang daftarin Icha, kan?"
Aku duduk disamping makam Kakak. Aku selalu menyempatkan waktu untuk datang kesini. Menceritakan segala hal yang mungkin ingin Kakak dengarkan. Aku selalu menjalani hidup dengan bahagia, ketika Kakak berada di sampingku. Aku masih hidup dengan bahagia, kok. Karena kakak selalu mengawasiku diatas sana. Meski aku selalu tersenyum untuk berbohong kalau aku bahagia. Karena tanpa kakak,  tidak ada lagi kebahagiaan didalam kehidupanku.
"Kakak... kenapa Kakak harus pergi."
Air mataku mulai menetes tanpa aku sadari. Jika ada yang mengatakan 70% kehidupan adalah kebohongan, itu benar bagiku. Karena kenyataan itu terkadang sulit diterima.
"Aku tahu kamu!"
Aku kaget dan mundur beberapa langkah. Seorang pria yang kira-kira usianya lebih tua setahun dariku menatapku sambil memegang buku. Pria itu memiliki kulit yang lebih putih dariku. Matanya sipit, rambutnya seperti landak, dan tatapannya tajam.
"Anak tetangga di sebelah rumahku, kan? Terus buku ini...," dia menunjuk buku itu.
Mataku menyipit. "Tanah Impian" itu adalah buku yang kutulis. Aku menatapnya serius. Siapa dia?
"Kenalin. Aku Nielson Devadatt. Ini bukumu, kan? Buku tentang kakakmu, kan? Aku sangat menyukainya!" Ucapnya antusias.
Aku tersenyum kemudian menunduk. Air mataku mulai mengalir kembali. Hangat... baru kali ini ada yang memujiku kembali. Rasanya aku senang sekali.
Dia agak gelagapan melihatku kembali menangis. Kemudian dia melihat makam Kakakku. "Katanya jangan nangis."
Aku berhenti dan menatapnya bingung.
"M-maksudku orang yang ada di sampingmu. Dia sedang mengelus kepalamu. Katanya jangan nangis. Kakak selalu ada disini,  kecelakaan itu bukan salahmu. Makanya jangan bersedih lagi. Kembalilah menulis. Kamu menyukainya, kan"
Tanganku bergetar memegang kepalaku. Kemudian pria itu mendekatiku dan mengatur tanganku.
"Di sini. Tangannya ada di sini."
Hangat... ternyata meski Kakak sudah meninggal, Kakak selalu mengawasiku. Aku sangat bahagia.
"A-aku... aku sangat menyukai menulis. Tapi sejak Kakak tidak ada, aku tidak bisa lagi menulis. Setiap aku ingin mengetik sesuatu, tanganku gemetar ketakutan. A-aku... Jangan tinggalkan aku Kakak."
"Apa maksudmu Kakakmu meninggalkanmu?" Dia menunjuk dadanya. "Kakakmu selalu berada disini, kan?" Dia tersenyum sambil mengenggam erat tanganku. "Tenang saja. Aku akan membuatmu bahagia!"
Aku menatapnya. Air muka dan tatapannya menunjukkan keseriusan. Meski bagitu, apa tak apa? Apa aku berhak untuk bahagia?
Kakak selalu bisa membuatku tersenyum. Kakak memiliki tempat istimewa di hatiku. Dia selalu memiliki cara untuk membuatku tersenyum dan bahagia. Dia sumber kebahagiaan dalam hidupku. Dia selalu siap membantuku di saat terburuk dan ikut berjuang demi kebahagiaanku. Kakak... aku menyayangimu.
Aku menggenggam erat tangan pria itu. Pria kedua yang mengatakan akan membuatku bahagia. Yang membuatku merasa istimewa untuk kedua kalinya. Aku juga akan membuatnya bahagia.
"Kak Niel, buat aku bahagia!"
Seseorang yang tepat tak selalu datang tepat waktu. Kadang ia datang setelah dirimu lelah disakiti. Meski begitu dia tetap akan membawa perubahan bagi kita. Baik itu perubahan yang baik, maupun perubahan yang buruk. Aku yakin dia adalah orang yang tepat bagiku. Karena dia akan membawa kebahagiaan, dalam kehidupanku.
***
Aku memandanginya lagi dan lagi. Mata yang sipitnya, kulit putihnya, dan senyumannya yang cool. Dia ketua osis SMA Negeri 48 ini. Namanya Nielson Devadatt. Kelas 11 IPS 1. Cowok yang aku suka. Tetanggaku sekaligus kakak kelas yang selalu mendukungku. Pengisi kekosongan hatiku. Namaku Emilia. Orang-orang biasa memanggilku Lia. Aku siswi SMA biasa. Tinggi dan nilaiku juga biasa. Aku memiliki satu bakat. Puisi, tapi itu dulu. Aku merapikan jilbab dan bajuku. Kemudian mata hitam kecoklatanku kembali tertuju padanya.
Bekal yang ada di hadapanku berkali-kali memintaku untuk segera memakannya. Tapi hati dan mata masih tertuju padanya. Sesekali dia tersenyum. Seolah-olah dia mengetahui aku sedang menatapnya. Sebetulnya, aku tengah berusaha untuk membuat surat cinta. Aku ingin jujur padanya. Aku ingin dia mengetahui perasaanku. Aku sudah siap untuk ditolak.
"Cepet makan, nanti keburu bel, lho!" Seru seorang gadis yang baru saja memasuki kelas. Ia duduk disampingku dan memelukku erat.
Gadis cantik itu namanya Wisye, sahabatku. Dia gadis yang periang. Aku tersenyum dan kembali melihat ketua osis itu. Sesekali dia melambaikan tangannya kearahku. Aku tersenyum simpul. Sama seperti kakak. Hanya dengan melihatnya, aku sudah bahagia.
Wisye duduk di sampingku, dia membisikkan sesuatu. Sesuatu yang membuatku tercengang. "Icha! Kamu pacaran sama Niel, ya?"
Aku langsung menggeleng dengan cepat. Wisye tersenyum seraya mengelus dadanya. Ia mendekatkan dirinya untuk membisikkan sesuatu. "Kalau gitu, bantu aku untuk pacaran dengannya, bolehkan?"
"Uh... ya," aku mengangguk pelan, sedangkan Wisye berlompatan kegirangan.
Tersenyum pahit. Hanya itu yang bisa kulakukan. Sekali lagi aku memandangnya sekali lagi. Hatiku sakit ketika aku berbohong tentang perasaanku. Tapi aku tidak ingin membuat Wisye kecewa. Aku mencengkeram rokku kuat dan tersenyum pahit. Apa aku telah membuat pilihan yang tepat? Surat cintaku, akankah sampai untukmu?
***
Bel pulang berbunyi. Kami semua langsung berhamburan keluar kelas. Jam pelajaran terakhir tadi, guru kami ngga masuk. Jadi aku dan Wisye menghabiskan waktu dengan mencari-cari di internet cara untuk mendekati seseorang. Wisye terlihat bahagia sekali. Mungkin tidak apa-apa jika aku menolongnya.
Aku kembali melihat handphoneku. Tanda-tanda jika seseorang itu menyukaimu. Yang pertama, dia akan selalu menjaga kontak mata denganmu. Kedua, dia akan selalu tersenyum di dekatmu. Ketiga, dia akan memperlakukanmu dengan spesial. Terakhir, dia tidak akan bisa hidup tanpa dirimu. Aku tertawa pelan. Daripada memikirkan hal ini lebih baik aku menulis surat cintaku yang belum selesai.
Aku merasakan tetesan air di kepalaku. Hujan. Aku segera menepi. Aku tidak tau hujan akan turun. Aku juga tidak membawa payung. Ah, padahal tinggal setengah jalan lagi. Hujan yang turun semakin lama semakin deras. Aku tertahan di sini. Tenangnya... suara hujan itu seperti lagu, ya? Aku ingat. Dulu, demi menemaniku main hujan, kakak rela untuk dimarah. Setelah itu dia akan membuatkanku teh panas dan menemaniku menulis. Kakak... seandainya kakak masih ada, pasti kita sudah pulang bersama sambil bermain hujan. Kelabu hari takkan sanggup melunturkan senyum kita.
"Wajahmu murung? Padahal kamu lebih cantik kalau tersenyum."
Mataku membulat. Jantung ini tidak bisa berhenti berdetak. Hujan sepertinya mengerti apa yang kurasakan sekarang. Dia membawakanku pangeran berjaket putih. Pangeran yang saat ini sedang menatapku sambil tersenyum. Aku jadi teringat tanda-tanda konyol itu. Kedua, dia akan selalu tersenyum di dekatmu. Pipiku semakin memanas. Tidak boleh. Wisye menyukainya. Aku harus menghentikan perasaan ini.
"Tadi aku ngga sengaja lewat," katanya memulai pembicaraan. "Saat melihatmu, aku jadi ngga bisa lanjut jalan. Mana bisa aku memalingkan wajahku darimu. Apalagi saat kau murung seperti tadi."
Aku mengangguk. Tanda pertama, dia akan selalu menjaga kontak mata denganmu. Apa itu benar? Tapi dia mengatakan itu sambil tersenyum. Ah! Dia hanya khawatir saja.
"Aku pergi dulu, ya!"
Dia berlari, tapi sebelumnya dia melemparkan jaketnya padaku. Tanda ketiga, dia akan memperlakukanmu dengan spesial. Aku tersenyum bahagia. Andaikan tanda itu salah, aku bahagia. Aku bahagia walau hanya bisa memeluk jaketnya. Setidaknya dengan jaket ini, aku bisa bermimpi dia ada di sampingku sekarang. Setelah itu aku harus bangun. Seperti hujan, dia takkan pernah kumiliki.
Sahabat dan cinta. Jika rasa, bisa berbicara. Akankah dia akan mendengarkan? Jika rasa berbicara, akankah aku kehilangan sahabat? Aku terbelenggu. Dua pilihan yang sangat menusuk. Tapi dalam hidup, kita harus memikirkan kebahagiaan orang, bukan? Kalau begitu, apakah tidak apa mengorbankan rasa meski artinya tidak bisa lagi memeluk kebahagiaan. Aku tersenyum. Pada akhirnya senyumannya memang bukan untukku, kan? Surat cintaku, pada saatnya nanti, sampaikanlah perasaanku padanya. Bahwa aku mencintainya.
***
Aku masuk ke dalam rumah. Rumah yang kosong. Dulu tidak seperti ini. Dulu, aku sering tertawa disini. Bercerita tentang masa depan. Teka-teki apa yang menunggu, atau seperti apa rupa tanah impian kakak. Meski hanya kenangan, tapi kehangatan yang menyertainya takkan pernah kulupakan.
Aku melemparkan tas diatas kasur. Aku menarik kursi meja belajarku dan mulai kembali menulis surat cintaku. Aku menatap kertas kosong di hadapanku. Kosong. Seperti rumah ini.
Sejak kakak meninggal, ayah mulai membawa wanita ke rumah. Setiap malam pasti ayah dan ibu bertengkar. Sampai akhirnya mereka bercerai. Aku ikut ibu. Meski ibu bersikap biasa saja, aku tau ibu juga membenciku. Ibu menikah lagi dengan pengusaha kaya. Dia pergi dengan suami barunya dan meninggalkanku disini. Meski begitu ibu selalu mengirimiku uang. Aku ngga butuh uang yang banyak. Aku hanya ingin keluarga kami seperti dulu.
Aku menatap foto keluarga kami yang kutaruh diatas meja belajar. Foto yang penuh dengan senyuman dan kehangatan. Aku selalu melihat foto itu sambil berharap, keluarga kami akan kembali seperti semula. Tapi mimpi tetaplah mimpi. Meski indah, aku harus segera bangun.
Aku melihat foto lain diatas meja. Foto aku dan Wisye. Jika rasaku berbicara, apa Wisye juga akan membenciku? Sama seperti ayah dan ibuku.
Sahabat dan cinta. Akankah aku dapat memilih pilihan yang tepat? Jika rasa, bisa berbicara. Akankah dia akan mendengarkan? Jika rasa berbicara, akankah aku kehilangan sahabat? Aku terbelenggu. Dua pilihan yang sangat menusuk. Tapi dalam hidup, kita harus memikirkan kebahagiaan orang, bukan? Kalau begitu, apakah tidak apa mengorbankan rasa meski artinya tak bisa lagi memeluk kebahagiaan. Aku tersenyum. Pada akhirnya senyumannya memang bukan untukku, kan? Surat cintaku, pada saatnya nanti, sampaikanlah perasaanku padanya. Bahwa aku mencintainya.
***
Aku berlari. Setelah menaruh jaket itu di atas tas Kak Niel, aku hendak menghampiri Wisye. Aku sudah menyelipkan surat cintaku di jaketnya. Dengan begini selesai. Aku bisa membantu Wisye tanpa menjadi pengkhianat.
Aku melihat Wisye disana. Dia sedang memegang kertas. Saat aku hendak memanggilnya, langkahku terhenti. Kertas yang Wisye pegang, itu surat cintaku. Dia hendak merobeknya.
Aku menggelengkan kepalaku. Aku berlari sekencang mungkin. Tapi saat aku sampai di sana, kertas itu sudah menjadi robekan-robekan kecil.
Aku menatap kertas itu tak berdaya. Aku tak mampu menampung air mataku. Perasaanku, perasaanku yang harusnya tersampaikan... sekarang takkan pernah diketahui olehnya.
Aku menatap Wisye. "Apa yang kau lakukan, Wisye!'
"Aku yang harusnya bertanya! Jadi begini kelakuanmu di belakang temanmu?"
"Memangnya kau tahu apa? Aku melakukan ini agar bisa melupakannya! Aku membuang perasaanku. Semuanya demi siapa? Demi kamu Wisye!'
Dia menamparku. "Mati aja sana!"
Setelah berkata begitu, dia lari begitu saja. Aku memegang pipiku yang ditamparnya. "Mati aja sana!" Aku menutup telingaku. Suara itu... Terdengar lagi di telingaku. Gemanya yang perlahan hilang, kini kembali menghantuiku. Petir mulai menyambar, dan hujan mulai turun.
***
Kakiku membawaku berlari entah ke mana. Hujan terus turun. Seakan-akan tau apa yang kurasakan saat ini. Pepohonan dan gubuk disini menjadi saksi tangisanku. Hari ini adalah hari yang tidak akan pernah aku lupakan. Hari dimana aku akan membuang seluruh emosiku.
Aku menatap jepit rambut kupu-kupu berwarna putih yang ada di telapak tanganku. Aku benci. Aku membencinya. Andaikan aku tidak melakukan hal seperti itu, akankah dia tetap disini?
Aku membuang jepit itu sejauh-jauhnya. Benci. Aku membencinya. Cekrek! Aku menoleh. Seorang gadis kecil berambut coklat yang dikepang dua tersenyum padaku. Dia membawa kamera. Sepertinya dia sedang berteduh di gubuk itu.
Setelah cukup lama kami saling memandang, dia berlari menjauh dariku. Aku tersenyum. Memang siapa yang mau berkenalan denganku. Aku menunduk dan menangis. Tiba-tiba aku merasa ada yang memegang tanganku. Perlahan aku membuka mataku. Gadis kecil itu!
Dia menunjuk tanganku. Aku melihat apa yang dia tunjuk. Jepit kupu-kupu yang tadi aku buang! Dia mengambilnya?
"Kalau ini berharga, jangan dibuang. Meski sakit... masih ada cinta di dalamnya, kan?"
Suara itu... Ya, hari itu aku membuang seluruh emosiku. Tapi aku mendapatkan emosi baru. Lebih tepat disebut perasaan. Ini hanya kesimpulanku. Tapi aku merasa... aku mencintainya.
"Kau ingin melupakan semua ingatanmu?"
Aku mengangguk.
"Aku akan menghapus ingatanmu dan mereset ulang ingatan teman-temanmu tentangmu. Sehingga kau yang seharusnya hanya pergi dua hari, akan terasa seperti dua tahun."
Dia berubah. Menjadi gadis berambut putih dengan mata biru yang manis. Gaun hitam dengan bordir bunga mawar merahnya itu memiliki ujung panjang hingga menyapu tanah. Anehnya gaun itu tidak kotor mengingat saat ini sedang hujan dan tanah disini becek.
Dia mengajakku masuk kedalam gubuk. Menidurkanku dengan nyanyiannya. Ia melakukan hal itu selama dua hari berturut-turut tanpa rasa lelah. Lagunya yang tenang seakan menyinariku.

Tidurlah putri takdir
Jangan pikirkan dunia yang terbalik
Semua kunci ada di laguku
Tentang pangeran berkuda putih

Nyanyian yang aneh. Tapi suaranya, seperti suara seseorang yang kurindukan. Tapi siapa? Aku tidak tahu. Yang jelas aku harus mengosongkan pikiranku. Karena secara perlahan, ingatanku sedang dihapus melalui buaian menenangkan itu.

Edenshii [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang