Aku yakin, aku berada di tempat yang sama. Kusebarkan pandanganku pada seluruh ruangan. Tidak ada tanda-tanda Alex disini. Dengan hati-hati aku turun dari ranjangku. Berjingkat-jingkat melewati pecahan kaca, sobekan buku, perabotan yang saling tumpang tindih, dan genangan air. Benar-benar berantakan. Aku mengambil sapu yang ada di sudut ruangan dan mulai membersihkannya.
Manusia mana yang membiarkan sampah-sampah berserakan seperti ini. Aku mulai menyapu sampah-sampah disini. Saat semuanya telah kembali seperti semula, barulah kusadari. Terlalu sunyi. Ada yang tidak beres.
"Keluar kau! Siapapun itu!"
Plak! Sebuah tamparan melesat dan jatuh tepat dipipiku. Meninggalkan bekas merah disana bersamaan dengan suara tawa yang terdengar sangat puas. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat. Secepatnya aku berlari menuju jendela. Tapi tidak bisa. Jendela terkunci!
Orang yang menamparku marah. Dia menarik rambutku seraya tersenyum lebar. Menikmati setiap ringisan yang keluar dari mulutku. Dia kembali menamparku hingga aku jatuh tersungkur.
"Lama tidak bertemu Lia. Atau haruskah kupanggil, putriku tersayang?"
Wanita tua itu tertawa lagi. Badannya yang kurus kelihatan tidak seimbang dengan besar kepalanya. Dia berwajah lonjong dan tirus dengan bola mata biru besar. Rambut merahnya menyalanya dikepang. Riasan wajahnya sangat menor tapi cocok untuk kesan angker wajahnya. Dia Ibu yang selalu menyiksaku. Salah satu orang yang memisahkanku dengan Nenek dan Kakek. Orang yang membuat mata adikku buta.
"Berikan aku kristal takdirmu!" Teriakannya membuat gendang telingaku rasanya akan pecah.
Aku ketakutan. Benar-benar ketakutan. Dia tampak berbeda. Tidak seperti sebelumnya. Tapi aku tidak mau memberikan kristal takdirku. Aku menggeleng dengan cepat.
Dia tampak sangat marah. Wajahnya memerah dan dia berteriak sangat kencang sambil menarik rambutnya. Membuatku semakin tersudut. Yang bisa kulakukan hanyalah mencari celah untuk lari. Tapi tidak ada! Aku bisa merasakan seluruh ruangan ini telah terkunci dengan sihir
Aku kaget saat dia tertawa sambil melihat pedang yang ada di dekatnya. Dia mengambil pedang itu. Tertawa keras saat melihatku gelagapan. Berulang kali aku mencoba untuk tetap tenang dan fokus pada aliran sihir. Tapi tidak bisa. Aku terlalu takut bahkan untuk melihat wajahnya. Semua siksaan yang dia berikan padaku di masa lalu menjadi trauma mendalam bagiku. Aku terlalu takut.
"Aku akan mengambilnya secara paksa! Hahahahaha! Hahahahaha!"
Dia mulai mengayunkan pedangnya. Aku hanya bisa melihat ajalku dengan pasrah. Tepat saat 1 cm lagi pedang itu akan membelah dadaku, sebuah sinar tiba-tiba muncul. Membuat pedang itu hancur berkeping-keping. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi aku lega. Aku selamat.
Saat pandangan wanita itu teralihkan oleh patahan pedang, aku melihat jendela yang tiba-tiba terbuka. Pasti burung kecil itu. Aku segera berlari menuju jendela. Meski ini adalah menara yang tinggi, tapi sekarang beberapa ingatanku telah kembali. Aku tahu sihir yang tepat sehingga aku yakin aku tidak akan mati.
Aku membuka jendela lebar-lebar dan mulai memanjat keluar jendela. Kulihat wanita itu masih berteriak sambil menatap pedangnya. Ini kesempatanku. Aku segera melompat turun. Sedikit lagi aku terbebas dari menara gelap itu. Aku sudah mulai merapalkan mantera. Bersiap untuk melayang. Sampai rambutku di tarik oleh seseorang. Siapa lagi? Wanita itu.
Aku tergantung dengan rambut di pegang olehnya. Sakit sekali rasanya ingin aku berteriak. Dan wanita itu? Dia tertawa bahagia. Tertawa lepas dan sangat menakutkan. Aku terus memberontak dan tenagaku hampir habis.
"Mulher feia! Tire suas mãos da senhorita!"
Monyet itu melesat keluar jendela dan memotong rambutku. Aku terjatuh dan belum siap untuk merapalkan mantera. Tapi sesuatu menengkapku. Aku duduk diatas sesuatu yang lembut berwarna putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Edenshii [COMPLETED]
פנטזיהNielson Devadatt Dua tahun aku menunggumu, dua tahun aku mencarimu, dua tahun aku merindukanmu. Dua tahun pula waktu yang cukup untuk kau melupakanku. Jessica Emilia Aku tidak keberatan terluka. Karena kamu akan selalu mengobatinya. Roberto Stephene...