36 Days for Our Wishes

16 3 0
                                    

Aku terbangun di sebuah kamar. Kamar yang sangat megah. Perlahan aku mencoba untuk duduk. Kamar beraroma mawar dengan nuansa warna emas, merah, dan pink.
Aku melihat di ujung kamar, seorang wanita berseragam pelayan sedang membersihkan salah satu guci yang berjejer di sana. Dia berbalik dan kaget setengah mati saat melihatku. Segera dia berlari keluar kamar ini.
"Tuan! Nyonya! Nona Lia sudah bangun!"
Aku melirik kaca yang berada tepat di samping kananku. Seorang perempuan cantik sedang menatapku disana. Dia memiliki rambut berwarna pink yang panjang dan ikal di setiap ujung rambutnya. Bola matanya berwarna biru seperti bulan yang sedang memancarkan cahaya. Dengan senyuman yang sangat manis siapa yang tidak jatuh hati padanya.
"Benar! Aku adalah Emilia Dyvette Pyralis Winnight!"
***
Aku memandang keluar jendela. Riuh terdengar dan kegembiraan dapat kurasakan. Hari ini, di Negeri Edenshii. Negeri para penyihir yang kami cintai, tiga orang anak utusan tuhan akan merayakan ulang tahunnya. Tepat di umur mereka yang ke 17 tahun. Ini adalah hal yang menggembirakan bagi Negeri ini.
Aku menaruh tanganku di atas dadaku. Sakit. Seharusnya ini menjadi kabar gembira termasuk untuk dirinya. Tapi mengapa dia...
"Hanya kita yang tahu. Tugas kita hanya mengikuti perintah tuhan. Tidak ada yang bisa menghindari kehendaknya. Kamu yang paling tahu hal itu, kan?"
Meski dia mengetahui hal itu, rasanya tetap ada yang salah. Aku menyenderkan kepalaku ke dinding. Untuk apa mengetahui segalanya jika kau tak bisa mencegah apa yang terjadi. Aku terlalu banyak melihat hal kejam yang menyayat hati. Pilihan yang merupakan takdir. Tidak ada yang bisa kucegah.
Seseorang masuk membawa secangkir teh dan sepiring kue. Dia menaruh nampan itu di meja dekat tempat tidurku. Dia berjalan mendekatiku kemudian duduk tepat di sampingku. Wajahnya yang memancarkan kelegaan terlihat jelas.
"Nona Lia sudah pingsan hampir dua minggu. Kami semua cemas! Untunglah nona sudah sadar."
Aku tersenyum. Aku tau itu hanyalah sebuah kebohongan. Pelayan yang sedang berceloteh sambil merapikan rambutku adalah ibu pengasuhku. Dian. Begitulah para pelayan memanggilnya. Umurnya seperti Ibuku.
Tadi, meskipun Dian berteriak keluar, tidak ada orang yang datang kemari. Ayahku, Duke Winnight sibuk mengurusi urusannya di kerajaan. Begitu pula Ibuku. Lady Winnight. Hanya Kakakku yang menyempatkan diri untuk mengunjungiku. Ryan Allendris Winnight.
"Bahkan Pangeran Agrigent setiap hari datang untuk menjenguk Nona. Saya harus memberikan persembahan kepada dewa!"
Senyum kecil terlihat jelas di wajahku. Noel Le Agrigent. Putra mahkota, sekaligus tunanganku. Orang ketiga yang memperdulikanku dan menganggapku ada setelah Dian dan Kakak.
"Dian, hari ini ulang tahunku, kan?"
Dian mengangguk. Dia mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah kotak. "Nona, bukalah!"
Aku menerimanya dengan penuh kegembiraan. Aku membuka kotak yang dihadiahkan untukku. Mataku membulat tak percaya saat melihat isinya.
"Dian! Pena sihir keluaran terbaru? Bagus sekali"
"Maafkan saya Nona. Saya hanya bisa memberikan itu untuk Nona."
Aku menggeleng kemudian memeluknya. "Ini yang terbaik."
Meski semua orang dari penjuru negeri menghadiahkanku banyak hal. Tapi hadiah dari orang yang kusayang adalah hadiah yang paling indah bagiku. Aku tau Ayah dan Ibu tidak akan pernah memberiku hadiah. Akhir-akhir ini Kakak juga agak sibuk menangani urusan kerajaan. Hanya Dian yang masih mengingat dengan jelas kapan hari ulang tahunku.
Seseorang mengetuk pintu. Membuatku melepaskan pelukanku selagi memperbaiki pakaianku. Dian segera mengambil hadiahku dan menyembunyikannya di balik kaca. Kami sudah siap saat pintu terbuka.
"Dian bilang, kau sudah sembuh?"
Suara Ibu yang nyaring menggema di ruangan ini. Matanya meneliti setiap sudut ruangan ini.
"Sudah Ibu. Terima kasih telah mengkhawatirkanku."
Tidak ada sedikitpun kekhawatiran atau kelegaan terpancar dari matanya. Ibu mulai memeriksa ruangan ini. Ya, begitulah yang selalu dia lakukan. Melihat di bawah bantal, kasur, atau selimut. Membuka laci, mengobrak-abrik lemari, dan semua itu dia lakukan agar tidak ada satupun hadiah yang aku terima.
Ibu memandangiku tajam. "Tidak ada hadiah dari Putra mahkota?"
Aku menggeleng.
"Tuan muda Stephene?"
Aku menggeleng.
"Si kecil Konno?"
Aku menggeleng.
"Bagaimana dari Dian?"
"Sesuai perintah Ibu aku tidak menerima satupun hadiah dari orang-orang itu."
"Bagus! Kau memang tidak pantas untuk menerima hadiah." Ibu berjalan menuju pintu. Tiba-tiba Ibu berhenti dan berbalik. "Hadiah yang kau terima dari seluruh Negeri, semuanya sudah kubakar. Untuk sekarang tidurlah. Kalau tidak salah, malam nanti pesta ulang tahun sekaligus debutantemu, bukan?"
Suara keras saat pintu ditutup membuat air mata yang susah payah kubendung mengalir begitu saja. Aku sudah terbiasa menerima perlakuan ini. Tapi hatiku tetap saja sakit. Dian segera memelukku. Dia mencoba untuk menenangkanku.
Meski aku tahu hari ini akan ku awali dengan buruk dan berakhir dengan lebih buruk. Setidaknya aku ingin bertemu dengannya. Kenapa harus mereka? Kenapa aku tidak bisa menolong mereka?
***
"Ica! Ica! Bangun!"
Aku mengusap mataku dan melihat sekeliling. Semua orang menertawaiku. Wisye yang duduk di sampingku menunjuk sesuatu yang ada di belakangku. Aku menoleh. Seorang perempuan separuh baya. Memakai kacamata dan bertubuh kurus menatapku tajam.
"Jessica Emilia!"
Aku menggaruk kepalaku. Astaga, kenapa ini bisa terjadi. Aku tertidur saat pelajaran guru paling killer di sekolah ini. Bu Wisma.
Bu Wisma menunjuk pintu keluar. "Berdiri di koridor sekarang juga!"
Aku berdiri dan berjalan mengikuti perintahnya. Semua orang menertawaiku. Bahkan saat aku sudah berdiri di koridor, masih terdengar suara tawa dan ejekan mereka. Tak apalah. Setidaknya aku bisa keluar dari pengapnya ruangan kelas.
Aku masih mengingat mimpiku tadi. Tentang Raja Iblis dengan Ratu kecilnya. Tentang seorang gadis bangsawan yang bernasib sama sepertiku.
"Debutante..."
Gadis yang ada di mimpiku... akan menghadiri debutante, kan? Saat seorang putri bangsawan mengenalkan dirinya pada masyarakat. Langkah pertama untuk memasuki lingkungan sosialita kelas atas. Saat dimana para pria dari berbagai kalangan akan mengajak wanita pilihannya untuk berdansa.
Bukankah debutante merupakan cara bagi gadis-gadis muda dari usia menikah untuk disajikan kepada bujangan yang sesuai dan keluarga mereka dengan harapan menemukan suami yang cocok. Tapi bukankah gadis itu sudah bertunangan dengan putra mahkota? Banyak hal yang ingin kutanyakan tentang mimpiku. Tanpa sadar, sekarang aku tengah berdansa waltz sendirian di tengah koridor!
"Aku ngga tau tuh. Ternyata kamu pandai berdansa juga, ya?"
Suara itu mengagetkanku. Membuatku malu dan ingin segera pergi meninggalkan tempat ini. Tapi tanganku terlebih dahulu di tarik olehnya.
Dia menggenggam tanganku perlahan. Dia menaruh tangan satunya di pinggangku. Untuk beberapa saat pandanganku tidak bisa jatuh selain pada sorotnya yang dingin itu. Perlahan kami mulai bergerak.
"Tuan putri...," ucapnya lembut tepat di telingaku. "Maukah kau berdansa denganku?"
Aku tak menjawab. Yang kulakukan hanyalah bergerak sambil menatap iris hitam yang kusuka. Pada akhirnya aku menenggelamkan wajahku pada dada bidangnya. Tak sadar jika kami masih berada di koridor sekolah. Tidak peduli banyak mata sinis yang memandang. Bagi kami saat itu, koridor sekolah hanya milik kami berdua.
Di tengah-tengah dansa dadakan ini, dia mengucapkan kata yang membuatku sedikit kaget. "Aku senang bisa bertemu denganmu lagi."
Sedikit ambigu bagiku. Entah kenapa atmosfir yang mengelilingi kami berubah hanya karena kata-kata itu. Tapi biarlah.
"Aku juga senang bisa bertemu denganmu lagi, Niel."
Meski kau bukan putra mahkota dan aku bukanlah putri yang berada di mimpiku, tapi perasaan yang kurasakan saat bersamamu... tidak akan kalah dari siapapun.

Edenshii [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang