Aku melihat. Seseorang gadis yang diselimuti cahaya. Bermata biru dengan surai putih yang panjang, sedang mengelus kucing hitam bermata merah. Gaun hitam dengan renda merahnya menjuntai kebawah hingga ke lantai. Dia duduk di atas sapu terbang berwarna emas dengan pelitur yang indah. Bunga mawar berwarna merah seakan turun dari atas untuk menyambutnya. Benar-benar sosok yang cantik dan elegan.
Manik biru kami saling bertemu. Membuat mulutku menganga saat melihat ukiran mawar di matanya. Sorot matanya yang teduh seakan sedang menginterogasiku. Bahkan kucing hitam yang dielusnya melompat dan berlari mendekatiku. Aku tidak tau aku berada dimana sekarang. Terdapat pepohonan dan teluk kecil disini. Aku yakin yang berada jauh di atasku adalah sang mentari, tapi apakah yang mengelilingiku ini kunang-kunang? Aku tidak tau. Aku tidak pernah kesini. Tapi rasanya aku sangat tenang saat kucing itu mulai mengeong padaku.
Melihat diriku yang mulai bingung, gadis itu langsung melompat turun dari sapunya dengan lembut dan tenang. Membuat sosoknya menjadi semakin rupawan. Seaka-akan ia memiliki sayap di punggungnya. Dengan langkah yang tegas dan elegan dia berjalan mendekatiku. Badannya tinggi dan langsing membuatnya sangat cocok untuk menjadi model. Ditambah kulitnya yang putih bak pualam membuat dirinya semakin berkilauan. Bibirnya mungil dan merah. Pipinya yang ranum menambah kecantikan wajahnya. Dia gadis yang sangat bercahaya.
Aku tersadar dari kekagumanku saat gadis manis itu berada tepat di depanku. Dia tersenyum sambil menunjuk sesuatu dari balik sakuku. Dengan sedikit ayunan jari telunjuknya sesuatu keluar darisana. Gantungan kunci pemberian Niel.
Gantungan kunci itu bergerak sesuai dengan gerakan telunjuknya. Hingga akhirnya gantungan itu berhenti tepat di depan leherku. Cahaya menyilaukan mulai menyelimuti gantungan kunci. Membuatku harus menutup mataku saat cahaya itu menutupi seluruh ruangan.
"Dengan kekuatan cahaya yang diberikan padaku. Aku, Elise Allight, utusan tuhan pembawa cahaya. Memohon padamu untuk mengubah bentukmu. Metamorfosa!"
Pendaran cahaya itu semakin lama semakin berkurang. Saat cahaya itu benar-benar menghilang, barulah aku membuka mataku. Aku terkejut saat melihat kalung emas dengan liontin yang sama dengan gantungan kunciku mengalungi leherku. Aku menatap gadis itu tak percaya.
"Aku membutuhkanmu." Ucapnya agak serak. "Aku akan masuk ke dalam kalung itu untuk melindungimu."
Aku bertanya-tanya dalam hati. Siapakah dirimu yang ingin melindungiku? Apakah kita sudah pernah bertemu sebelumnya? Sejenak aku memperhatikan lingkungan sekitarku. Semuanya normal. Daun berwarna hijau, air berwarna biru, tidak ada yang aneh jika kucing dan kunang-kunang ini berada di sini. Yap. Aku yakin. Aku tidak pernah berada di sini. Tapi mengapa dirinya ingin melindungiku? Tidak ada bahaya di luar sana yang akan menggangguku, kan?
Aku mengusap kedua tanganku saat merasa udara disekitar sini semakin dingin. Bahkan kakiku rasanya sudah membeku. Gadis itu kembali mengucapkan mantera anehnya dan sesuatu keluar dari tangannya. Sebuah buku. Buku besar dengan sampul kulit coklat yang benar-benar berdebu. Aku yakin kertasnya juga sudah kuning dan usang. Mungkin sudah ada beberapa bagian yang hilang.
"Baca ini. Jangan ada yang terlewati." Ucapnya dengan nada mengancam.
Aku menerima buku itu dengan cepat. "Kau tahu aku tidak suka membaca?" Tanyaku sambil membolak-balik buku itu.
Dia tersenyum. "Kalau begitu kau lebih memilih mati?"
"Tentu tidak." Aku menyilangkan kedua tanganku dengan bibir gemetaran. "Hei! Apakah memang dingin disini? Aku tidak tahan dingin!"
Saat aku ingin kembali mengoceh, dia sudah menghilang. Kini aku berada di tempat yang lebih aneh. Mungkin dahulunya ini sebuah hutan. Tapi sungguh. Aku yakin ada suatu kejadian yang membuat pohon dan tanah di sini tampak gersang dan hangus. Hanya ada satu pohon yang selamat. Pohon aneh dengan dahan berwarna ungu yang cabangnya sangat runcing di ujungnya. Pohon dengan daun berwarna emas dan buahnya terbuat dari mutiara. Tapi ada yang aneh. Ada sesuatu yang menyangkut di pohon itu.
Aku memegang perutku ketika aku tahu itu bukan sesuatu. Tapi seseorang. Seseorang yang di lehernya terdapat tali. Seseorang yang telah bunuh diri.
"Kakak! Kakak! JANGAN PERGI!"
Seorang gadis kecil. Menatap mayat itu dengan tatapan sendu. Matanya yang biru itu tampak basah akibat air mata. Rambutnya berwarna merah muda ikal di ikat dengan pita berwarna biru. Dia menangis tepat di bawah mayat itu. Entah mengapa hatiku terasa sangat tersayat. Ini seperti sebuah kejadian yang diputar ulang. Aku membenci ini. Aku tak mau melihatnya. Tapi suara angin yang berbisik mengatakan aku harus membuka mataku lebar-lebar. Dan sesuatu telah aku temukan! Sesuatu yang membuat lututku lemas dan hatiku terasa ditusu-tusuk duri yang sangat tajam. Kumohon! Aku ingin bangun!
***
Tit! Tit! Tit!
Aku terbangun dengan peluh membasahi tubuhku. Bahkan nafasku sama sekali tidak teratur. Hal yang pertama kali kulakukan adalah mematikan alarm berbentuk ayam berwarna kuning yang terus berbunyi. Setelah itu aku mencoba untuk menyandarkan tubuhku pada dinding. Berulang kali aku menenangkan diriku. Mencoba untuk menetralkan kembali degupan jantung yang berdetak tak karuan. Terutama saat aku melihat buku bersampul coklat dengan santainya tergeletak di atas meja. Buku yang sama. Yang membuat kepalaku rasanya ingin pecah.
Tek! Tek! Tek! Tek! Aku berbalik. Tepat di belakangku terdapat jendela dengan gorden putih yang telah tersibak setengahnya. Memamerkan burung putih yang tengah mematuk-matuk jendelaku. Tapi bukan itu yang membuatku heran. Aku sibakkan jendelaku seutuhnya. Kini semuanya terlihat jelas. Bukan! Bukan burungnya! Tapi jendelaku yang mulai membeku!
"Icha! Icha!"
Wisye menerobos masuk kamarku. Membuat pintuku terlepas dari engselnya. Aku memandangnya takjub sekaligus ngeri. Tapi dia tidak peduli dengan reaksiku. Wajahnya memancarkan kecemasan yang amat sangat. Saat aku memandangnya lekat-lekat,baru kusadari ada jejak air mata di pipinya.
"Kibibi tidak ada di kamarnya!" Katanya setengah menjerit.
Aku mengerti. Saat ini dia sedang mencoba untuk terlihat kuat. Tapi jauh di lubuk hatinya dia ingin menangis sejadi-jadinya.
"Benarkah? Sudah kau cari di seluruh rumah? Menelpon temannya? Atau menghubungi polisi?" Tanyaku membabi buta.
"Sudah!" Suaranya agak tercekat, "sudah kulakukan semuanya. Tapi dia tetap tidak ketemu. Aku bingung Icha."
Akhirnya Wisye menangis. Baru kali ini aku melihatnya menangis. Segera aku menjatuhkannya ke dalam pelukanku. Meski aku tidak tahu apakah cara ini berhasil atau tidak, tapi layak untuk dicoba.
"Aku tidak menyukainya dan menginginkan dia pergi. Tapi itu semua tidak benar! Aku menyayanginya Icha!"
Wisye meraung-raung. Meluapkan segala kesedihannya di dalam pelukanku. Aku membiarkan dirinya menangis sesukanya. Sesekali kuusap punggungnya untuk menenangkannya. Aku tau dia memang tidak menyukai keberadaan Kibibi dan sering mengejek gadis kecil itu. Tapi sesungguhnya dia sangat menyayanginya.
Burung itu masih berdiri disana. Sesekali mematuk-matukkan paruhnya ke jendela. Apa yang dia inginkan? Sepertinya burung itu ingin memberitahukan sesuatu. Apa dia ingin aku membuka jendelanya? Saat aku memicingkan mataku, ada sebuah kertas yang diikat dengan pita biru di kaki burung kecil itu. Sebuah surat? Untuk siapa?
"Maaf Wisye. Bisa tolong permisi sebentar?"
Wisye yang sudah agak tenang mengangguk. Dia melepaskan pelukanku. Perlahan aku merangkak menuju jendela. Jendelaku terkunci. Dan sepertinya agak sedikit membeku. Mungkin agak susah untuk ditarik? Aku memanggil Wisye dan kami membuka jendelanya bersama. Awalnya agak susah, tapi kami akhirnya bisa membuka kunci ini. Tepat saat jendela terbuka, angin dingin yang kencang dan salju masuk kedalam ruangan. Membuat seisi kamar menjadi dingin.
"Salju?" Tanya Wisye keheranan sambil menatapku dengan wajah polosnya. "Dia indonesia tidak ada salju, Icha! Tapi apa ini?"
Keanehan, terjadi persis di depan kami. Jalanan yang harusnya ditutupi aspal dan taman yang harusnya berwarna-warni karena mekarnya bunga kini ditutupi selimut putih tebal yang kira-kira setinggi 1 meter. Tapi bukan itu saja yang aneh. Sesuatu tiba-tiba melaju dengan cepat di depan kami dan itu ternyata pak pos yang sedang mengirim surat dengan sapu terbangnya. Bukan itu saja, seorang anak kini tengah menaiki sebuah unicorn dan yeti menjadi penjual es krim keliling.
"Romeo..." gumam Wisye perlahan, "aku harus segera menemui Romeo Icha!"
Tanpa mengucapkan salam Wisye langsung saja pergi meninggalkanku sendirian. Aku yang sedang duduk menatap keluar jendela, hanya bisa berharap ini hanyalah sebuah proyektor atau sirkus besar di luar ruangan. Tapi apa mungkin mereka bisa membuat proyektor senyata ini. Aku baru ingat! Dimana burung itu? Aku mencari kesana kemari. Melihat kesetiap sudut yang dapat aku lihat. Tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan burung tersebut.
Cuit! Cuit! Seakan tahu aku sedang mencarinya burung itu bersiul memanggilku. Membuatku menoleh dan menatap burung usil yang tengah berada di dalam kamarku. Aku tersenyum histeris. Diantara seluruh tempat yang ada di kamarku, mengapa burung itu memilih buku cokelat itu sebagai tempat berpijaknya?
"Hei cantik! Ada apa kau kemari?"
Perlahan aku mendekati burung itu. Mencoba untuk bergerak setenang mungkin agar tidak menakuti makhluk usil yang mencari perhatianku. Bukannya gelisah atau terbang, burung itu justru menempelkan pantatnya dengan santai di buku cokelat itu. Membuatku ingin muntah melihat sikap bodo amat sekaligus menantangku. Burung itu burung yang sombong dan berani. Aku yakin burung ini takkan bisa kemana-mana. Namun ketika aku merasa tanganku sudah pasti akan menangkapnya, burung itu terbang. Burung itu terbang menuju lampu sambil menggoyang-goyangkan pantatnya.
"Sayangnya aku tidak tergoda dengan bokongmu!"
Burung itu sepertinya sengaja. Mendekatkanku dengan buku yang ada di atas mejaku. Apa dia ingin aku membacanya? Kalau begitu baiklah! Aku mengambil buku yang ada di atas meja. Menaruhnya ke pangkuanku dan membukanya. Saat aku membuka lembar pertama buku ini, burung usil itu langsung terbang dan kini mendaratkan kakinya di pundakku.
"Apa kau ingin aku membacanya?" Burung itu membalas dengan cuitan kecil. "Kalau begitu aku akan membacanya dengan keras."
Buku usang berdebu. Yang kudapatkan dari mimpiku, berada di depanku. Apakah karena kemunculan buku ini, terjadi perubahan cuaca yang sangat ekstrim dan fenomena aneh yang kulihat dari balik jendelaku? Dan apakah ada hal yang sangat penting di dalam buku ini hingga burung kecil berbulu putih memaksaku untuk membaca buku ini?
Aku sudah membuka buku usang. Mataku memicing dan kubolak-balik setiap halaman yang ada. Kertas buku ini tebal dan sudah berwarna kuning. Hampir setengah kertas buku berwarna hitam. Seperti habis terbakar. Tapi ada hal aneh di buku ini. Tidak ada sama sekali tulisan! Yang ada hanya lukisan sosok aneh mirip peri memakai kostum monyet.
"Bagaimana aku membacanya? Tidak ada sama sekali tulisan di sini!" Ucapku sambil kembali meneliti buku ini.
Setiap aku ingin membalik buku, halaman itu kembali pada gambar monyet aneh. Aku berpikir untuk menutup buku ini. Tapi buku itu kembali terbuka dan menunjukkan gambar monyet itu lagi. Ada suatu yang tidak beres. Aku membuang buku itu ke lantai. Awalnya tidak terjadi apa-apa. Sampai buku itu terbuka dan membalik halamannya sendiri. Hingga kembali menunjukkan gambar monyet aneh itu. Perlahan gambar itu mengeluarkan sinar. Sinar yang semakin lama semakin terang hingga aku memutuskan untuk bersembunyi di balik selimut hingga sinar itu hilang. Terdengar suara ledakan yang sangat kuat bersamaan dengan hilangnya sinar itu. Dengan hati-hati aku keluar dari selimutku. Perlahan aku memunculkan kepalaku untuk melihat apa yang ada di bawah.
"Quem é você?"
Aku berteriak keras ketika makhluk aneh muncul tiba-tiba di depanku. Gambar itu hidup! Dan kini dia berada tepat di depan wajahku. Peri gemuk yang memakai kostum monyet berwarna pink. Matanya yang merah muda itu menatapku lekat-lekat. Dia meniupkan poninya yang berwarna seperti mentari terbenam itu.
" Você não é meu mestre! E onde estou agora?"
Aku mengacungkan dua jariku membentuk huruf V. "Sumpah aku tidak mengerti bahasamu!"
Makhluk itu menatapku bingung. Dia terbang keseluruh ruangan. Hingga akhirnya dia berhenti di buku usang yang masih tergeletak di lantai. Buku itu masih dalam posisi terbuka tapi ada hal yang berbeda. Lukisan makhluk aneh itu tidak ada. Burung kecil yang sejak tadi hanya duduk di atas pundakku kini terbang menuju monyet sialan itu. Mereka terlihat bercakap-cakap dengan bahasa yang sama sekali tidak aku mengerti. Selagi mereka sibuk bicara, perlahan aku turun dari tempat tidur dan mengendap-endap menuju pintu.
" Ah, eu vejo!"
Langkahku terhenti saat makhluk setengah monyet dan burung kecil itu berhenti di depanku. "Meu nome é Clarissa!" Ucap makhluk setengah monyet itu sambil menunjuk dirinya. Kemudian dia menunjuk butung itu. "e ele é Luna." Sekarang dia menunjukku.
Ah! Aku tahu dia sedang memperkenalkan dirinya. Aku menunjuk makhluk setengah monyet itu. "Clarissa!" Aku menunjuk burung putih di sebelahnya. "Luna" kini aku menunjuk diriku sendiri. "Icha!"
"Icha! Seu nome é Icha! Estou muito feliz!"
Makhluk itu berputar-putar dengan gembiranya. Kemudian dia mengambil tanganku seperti orang yang sedang berjabat tangan. "A partir de hoje somos amigos, hein!" Aku tidak mengerti apa yang dia ucapkan sehingga aku hanya ikut mengangguk-angguk saja. Tapi aku yakin, hari yang akan kulewati setelah ini pasti tidak akan sama.
***
Pria itu memakai jaket hitam. Dia menutupi rambut birunya dengan tudung jaketnya. Tapi orang-orang masih bisa melihat mata birunya yang indah sekaligus menyeramkan. Celana jeans hitamnya tampak kumal dan memiliki banyak lubang di bagian belakang. Dia duduk sambil membaca buku di atas ikan paus berwarna biru yang memiliki tanduk seperti unicorn. Terdengar banyak sekali suara jeritan di setiap penjara. Tapi tak ada yang berani mencoba untuk kabur. Itu karena naga putih miliknya terus berpatroli di sekitar penjara.
"Dasar kau gila! Aku tahu Driad tua si beringin itu sebenarnya adalah dirimu! Aku akan membunuhmu!"
Teriak seorang gadis dengan rambut pirang panjang. Gadis itu dimasukkan ke dalam sebuah bola kristal besar yang tepat berada di tengah ruangan. Mata merah muda gadis itu berkilat-kilat, menunjukkan kemarahan besar. Tapi pria di depannya tertawa.
"Kau yang sengaja mengumpankan dirimu Kegelapan! Atau harus kupanggil kau... Kibibi?"
Pria itu tertawa. Sedangkan gadis itu berulang kali memukul bola yang mengurungnya dengan putus asa. Dia tidak tau, kalau saat dia mengikuti seorang gadis dari sekolahnya akan berujung dengan masuknya dia ke dalam bola. Dia benci melihat pria itu tertawa. Tentu saja pria itu tertawa. Pria itu sangat puas karena telah berhasil menangkap satu dari sepuluh keseimbangan dunia. Sang Kegelapan, Kibibi Ciarda!

KAMU SEDANG MEMBACA
Edenshii [COMPLETED]
FantasiNielson Devadatt Dua tahun aku menunggumu, dua tahun aku mencarimu, dua tahun aku merindukanmu. Dua tahun pula waktu yang cukup untuk kau melupakanku. Jessica Emilia Aku tidak keberatan terluka. Karena kamu akan selalu mengobatinya. Roberto Stephene...