Jarak antar bintang

12 3 0
                                    

Aku didandani layaknya boneka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku didandani layaknya boneka. Dengan gaun aneh. Gaun berwarna putih dengan motif bulu angsa di bagian dalamnya. Saat aku melihat kecermin, yang kulihat bukanlah diriku. Tapi gadis di mimpiku. Mataku beralih pada pria dengan rambut biru yang mengaku dia adalah calon mempelaiku. Apakah aku pernah mengenalnya?
Dia duduk dengan tenang sambil menyesap tehnya. Tepat di depanku. Yang membatasi kami hanya meja kecil berbentuk bundar ini. Dan mungkin kue-kue manis dan teh di atasnya. Aku sangat menyukai makanan manis ini. Setelah dia membuktikan kalau di dalam makanan ini tidak ada racun, baru aku memakannya.
Dia tidak pernah mengajakku berbicara. Dia hanya sesekali berkeliling kastil ini dan mengunjungiku pada saat istirahat saja. Tapi kami belum pernah berbicara. Kami hanya diam. Tapi ada satu ruangan di kastil ini yang tidak boleh kumasuki. Penjara bawah tanah.
Aku dengar dari pelayan monster yang bekerja disini, kastil ini berada di sebuah hutan. Itu menjelaskan mengapa saat aku membuka jendelaku aku hanya bisa melihat pepohonan dan monster-monster yang berasal dari dunia dongeng. Semua monster itu adalah pelayan pria biru yang tidak pernah bicara. Tapi para pelayan itu tidak pernah menjawab pertanyaanku saat aku bertanya tentang kastil ini atau tuan mereka.
Keseluruhan bangunan di kastil ini terbuat dari batu. Dengan nuansa ungu gelap dan hijau yang berasal dari lumut yang tumbuh di beberapa tempat. Kastil ini berbentuk seperti kastil-kastil pada umumnya di era victoria. Yang membedakan hanyalah aura gelap yang menyelubungi kastil ini. Lantai di seluruh kastil ini berbentuk seperti papan catur.
"Istanamu ini merupakan bentuk besar dari papan catur, kan?" Untuk pertama kalinya aku berbicara dengannya sejak aku menginjakkan kaki di kastil ini.
Tidak ada jawaban. Dia hanya melihatku sekilas. Tenang, artinya iya. Berarti firasatku selama ini benar. Aku yang katanya akan dijadikan pengantin, hanyalah sebuah bidak di otaknya. Berarti pelayannya merupakan pion dan bentengnya.
"Jika itu yang kau mau, maka aku tidak akan tinggal diam."
Sesuatu yang tidak pernah aku duga sebelumnya. Dia menarik kerahku dan menyerangku dengan bibirnya. Tangannya yang besar memegang daguku kuat. Aku mendorongnya dengan kuat hingga tangannya terlepas dari daguku.
"Aku benci dirimu yang selalu bahagia bersama pria itu."
Pria? Pria yang mana? Kapan dia melihatku? Belum sempat aku berpikir dia menarik tanganku dengan kasar. Dia menarikku seenaknya dan melemparku ke atas tempat tidur. Tubuhnya yang besar kini berada tepat di atasku.
Aku tidak bisa melihat hal lain selain dirinya. Lidahku kelu dan suaraku tidak bisa keluar. Aku tidak bisa bergerak karena ketakutan.
Dia mulai bergerak. Bibirnya yang dingin menyelusuri setiap jengkal leherku. Aku tidak mau ini! Aku tidak mau ini! Niel, Wisye, Kibibi, tolong aku!
***
Saat aku terbangun kepingan salju berada tepat di atas hidungku. Membuatku bersin karena rasa dinginnya. Roberto duduk di jendela sambil melihat pemandangan. Mataku terbelalak dan aku langsung lompat dari tempat tidurku. Hampir aku terjatuh karena tidak melihat bola kasti di lantai. Aku memegang erat kusen jendela dan menjulurkan kepalaku keluar.
"WAAAAH! SALJU! SALJU!"
Roberto memukul kepalaku kuat. Aku berlari ke meja belajarku. Hari minggu! Hari ini libur! Aku membuka lemari dan mencari barang-barang yang aku perlukan. Topi rajut, sweater hangat, sepatu boot, dan celana panjang. Untung aku masih menyimpannya! Setelah menemukan barang yang kucari, aku segera memakainya. Aku mengambil tas yang sudah kuisi dengan makanan-makanan ringan yang kusiapkan tadi malam.
"Kau mau kemana terburu-buru?"
"Ah! Belum kuceritakan, ya?" Aku berlarian kesana kemari mencari kunci motor. "Mulai kemarin aku dan Icha resmi berpacaran! Dia yang menembakku, sih..."
Roberto mengeluarkan wajah sinisnya. "Payah! Sampai perempuan yang berusaha untuk menembakmu. Peka dikit, dong!"
"Ketemu!" Aku segera membuka pintu. "Hei! Aku tahu aku memang payah. Sampai seorang gadis mendahului langkahku. Tapi bagiku yang penting sekarang ini kami sudah pacaran!"
"Besok dia yang akan melamarmu."
"Tidak! Tidak!" Aku berpikir sebentar sebelum menutup pintu. "Mungkin?"
Roberto menggelengkan kepalanya heran. Kemudian dia tercengang saat melihat kamar Niel yang sangat berantakan.
"Astaga anak itu! Sampai kapanpun dia tidak akan berhenti merepotkanku."
Aku menyalakan motornya. Dia naik ke motor ungunya. Saat mesin dinyalakan motornya tidak bergerak. Aku turun dan melihat banyak salju yang masuk ke knalpot dan ban belakangnya juga tertutup salju.
Tidak ada cara lain! Aku berlari secepat yang dia bisa. Dia sudah tidak sabar untuk kencan pertamanya. Setelah lama mereka bersahabat, akhirnya mereka bisa keluar dari lingkaran friendzone yang selama ini mengurung hati mereka. Sampai kejadian kemarin, saat Icha mengungkapkan perasaannya, saat itulah aku juga mengatakan perasaannya yang selama ini dia kubur baik-baik.
Hari ini, akan menjadi saksi hari-hari berikutnya. Awal kebahagiaan yang akan dia tulis setiap detailnya di buku hariannya. Aku melambatkan langkahnya saat melihat Wisye menangis di pelukan Romeo. Langkahnya terhenti saat melihat atap rumah Wisye berlubang. Dan lubang itu tepat berada di atas kamar Icha.
Aku berlari kencang. Dia menarik tangan Wisye dan mengguncangkan bahu gadis itu. Dia kaget saat melihat mata gadis itu sembab dan lingkaran hitam terlihat jelas di matanya. "Dimana Icha Wisye?" Tanyaku hati-hati.
Wisye menggelengkan kepalanya pelan. Saat itu suara retakan terdengar dari dalam diriku. Hatiku patah. Hari yang seharusnya membahagiakan dan penuh tawa justru berujung tragis. Aku bahkan belum melihat sosoknya hari ini.
Di langit sosok pria bersambut biru muncul tiba-tiba. Di samping pria itu terdapat seorang gadis bermata biru bak rembulan dengan rambut pink bergelombang. Setelah itu sekawanan burung muncul dari utara. Burung-burung itu membawa sepucuk surat berwarna putih dengan pita merah. Setiap burung menghampiri satu orang. Hanya saja burung yang menghampiriku lain dari yang lain. Burung itu lebih kecil dengan warna bulu seperti salju. Aku membuka surat itu.
Mataku membelalak saat melihat sebuah nama tertulis disitu. Jessica Emilia. Aku menatap gadis berambut pink yang masih berada di langit. Itu Icha!
"Halo semua! Rakyat-rakyatku! Kalian semua diundang ke pernikahan sakral yang sangat luar biasa! Semua orang wajib hadir ke pernikahanku. Tapi dengan satu syarat! Kalian akan melalui ujian sihir yang kubuat!"
Semua orang mulai mengeluh dan bingung. Mereka bahkan masih bingung dengan apa yang terjadi. Kini, seorang pemuda aneh yang hologramnya tiba-tiba muncul di langit memerintahkan setiap orang untuk hadir ke pernikahannya dengan syarat semua orang wajib mengikuti ujian sihir yang dibuat.
"Bagaimana kalau kami tidak mau?" Ucap seseorang di tengah kerumunan.
Wajah orang-orang itu perlahan berubah. Kulitnya mengerut dan ia bertambah tua. Hingga asap perlahan keluar dari tubuhnya. Bola matanya keluar dan tubuhnya perlahan meleleh. Orang-orang yang melihatnya berteriak ketakutan.
"Aku harap tidak ada yang bertanya lagi. Ujian itu akan dimulai besok. Aku harap kalian semua bersiap-siap"
Pria biru itu menghilang dari langit. Bersamaan dengan menghilangnya wajah Icha. Tatapan miliknya yang seharusnya memancarkan kebahagiaan, kini menghilang. Dia menjadi dirinya yang lama. Dirinya jauh sebelum mengenalku.
***
Dia berhenti melakukannya saat manik biru kami bertemu. Dia berdiri setelah membuat banyak tanda merah di leherku. Dia berjalan menuju pintu. Sebelum keluar dia berhenti terlebih dahulu. "Aku telah mengutus satu pelayanan untuk mengurusmu. Aku mau kau nyaman berada disini!" Ucapnya sebelum membanting pintu.
Apa-apaan itu? Sebuah perintah? Setelah memastikan pintu kamarku benar-benar terkunci, aku segera melompat turun dari tempat tidurku.
"Kemari! Kemari!"
Sesuatu melesat keluar dari kolong tempat tidur. Dia mendarat tepat di pelukanku. "Icha tenho medo!" ucap sosok yang memakai kostum monyet berwarna pink. Dia masih berbicara dengan bahasa yang tak kumengerti. Tapi aku tau apa yang dia ucapkan tadi. Karena saat ini kami sedang merasakan hal yang sama. Ketakutan!
Tuk! Tuk! Tuk! Monyet itu berseru gembira. Dia melepaskan pelukannya dan terbang tergesa-gesa menuju jendela. Monyet itu membuka jendela. Seekor burung putih kecil mencuat dari balik jendela. Tubuhnya sedikit tertutupi salju. Salju itu membuatnya benar-benar terlihat seperti bola salju. Senang, setidaknya mereka berdua mengikutiku. Cukup dengan mereka berdua, aku bisa keluar dari sini.
"Kau sudah memberikan suratku padanya Luna?"
Burung itu mengangguk sambil mengibaskan sayapnya. Membuat salju yang tadi menutupinya berterbangan ke seluruh ruangan. Dia terbang mendekatiku. Mendarat di bahuku sembari membisikkan sesuatu yang terdengar seperti desisan angin.
Aku mengangguk. Entah bagaimana sepertinya aku mengerti suara desisan angin burung ini. Seperti mengerti apa yang akan kulakukan, monyet itu mengambil perkamen yang berada di atas nakas dan memberikannya padaku. Perkamen yang sudah kutulis dengan rapi. Aku menggulung perkamen itu dan melilitkannya di kaki burung putihku.
"Maaf merepotkanmu. Tapi sekali lagi. Aku membutuhkan bantuanmu."
Burung itu mengangguk seakan mengerti ucapanku. Dia melebarkan sayap putihnya dan melesat keluar dengan kecepatan yang tidak bisa dilihat dengan mata biasa.
Tiga hari lagi. Aku hanya diberi waktu tiga hari. Karena sesuai dengan apa yang ditulis buku itu, aku akan mati tiga hari lagi. Itu waktu yang lebih dari cukup, untuk keluar dari sini dan pergi menemui teman-temanku untuk mengucapkan selamat tinggal. Itu waktu yang lebih dari cukup, untuk membuat kenangan manis terakhirku bersama Niel. Aku harap, kami dapat bertemu lagi. Meski untuk yang terakhir kalinya.

Edenshii [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang