Mereka yang tersakiti

13 4 0
                                    

"Bagaimana tuan? Apa ada yang anda suka?" Tanya seorang sales toko.
Mataku menjelajah setiap gantungan kunci yang dipajang di etalase toko. Tapi mataku tertuju pada satu hal. Sebuah gantungan kunci berbentuk hati berwarna biru. Warnanya cocok sekali dengan mata miliknya...
"Apa kau ingin membeli yang itu? Niel?"
Seorang gadis cantik berambut coklat dengan mata hazel yang indah membungkukkan sedikit badannya. Membuat beberapa helai rambutnya jatuh dengan indah melewati bahunya.
Niel menatap gadis itu sambil tersenyum. "Dia pasti akan sangat menyukainya! Yang itu mbak!"
Iya. Dia awalnya senang pria pujaannya mengajaknya berbelanja. Bahkan dia memakai jaket merah muda terbaiknya. Ia. Mereka hanya beradua. Tapi dia menemani pria yang dia suka berbelanja untuk orang yang pria itu suka. Bukan dirinya.
"Aku ingin kau membelikan itu juga untukku..." gumamnya.
Disepanjang perjalanan pulang mereka hanya membicarakan tentang gadis itu. Gadis yang bahkan ingatannya belum pulih. Tapi mengapa dia tetap membicarakan gadis itu dengan bahagia. Setiap membicarakan gadis itu dia selalu tersenyum.
"Terimakasih ya Munmei! Berkatmu aku bisa memilih hadiah yang bagus untuk Icha!"
Iya. Gadis yang dipanggil Munmei itu mencengkeram erat roknya. Dia tidak mau begini. Dia hanya ingin pria di depannya menyukai dirinya. Bukan orang lain. Terlebih lagi orang yang bahkan tidak bisa mengingat dengan jelas. Bukankah dia lebih baik dari orang itu? Dia bisa mengingat semua kenangan mereka dengan jelas. Tidak seperti gadis itu.
"Kalau begitu... sampai jumpa!"
"Tunggu! Niel!"
Munmei memeluk pria itu dari belakang. Membuat sang pria kaget dan menghentikan langkahnya. Pria itu sebenarnya tau, kalau mengajak gadis yang sedang memeluknya berbelanja adalah hal yang salah. Tapi dia harus meluruskan perasaannya pada gadis itu.
"Kenapa bukan aku! Kenapa Icha! Aku sudah berjuang! Kau tahu, kan? Aku mengubah penampilanku dan semuanya demi dirimu! Kau selalu memuji gadis itu dan membicarakannya. Setiap detik, setiap menit, setiap bertemu dengan siapa saja kau selalu membicarakannya, Niel! Yang mencintaimu itu aku! Bukan dirinya!"
Munmei mengeratkan pelukannya. Berharap mendapatkan jawaban yang sesuai dengan harapannya. Bahwa cintanya yang bertepuk sebelah tangan ini akan segera terbalaskan.
"Maafkan aku Munmei." Niel melepaskan tangan Munmei dari pinggangnya dan berbalik. Dia memegang bahu Munmei lembut. Mata Munmei melebar saat Niel tersenyum manis. Senyuman yang sangat diketahui gadis itu. Karena setiap senyuman itu keluar, hanya satu yang dia ucapkan. "Aku menyukai Icha."
Perlahan air mata Munmei turun membasahi pipinya. Tubuhnya lemas, gadis itu tidak dapat berdiri dengan benar. Dia menyandarkan dirinya pada tembok sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Kata-kata itu bagai bom kanon yang menghancurkan tembok keteguhan hatinya.
"Aku ingin kau tahu. Tidak ada gadis di hatiku selain Icha. Aku harap kau sadar dan segera mencari lelaki lain yang pantas untukmu. Pria tidak mencintai wanita karena wanita itu rela mengubah segalanya untuknya. Pria menyukai wanita karena wanita itu dapat membuat dirinya merasa nyaman saat berada di dekatnya. Yah, itu untukku, sih? Tapi perasaanmu tadi... terimakasih, ya!"
Niel pergi. Meninggalkan gadis yang tengah patah hati dibuatnya. Gadis itu menangis. Cintanya kini telah kandas.
Apa kau ingin mendapatkan cinta miliknya?
"Iya... aku menginginkannya."
Kalau begitu perkenalkan, namaku adalah Iyan. Aku adalah simbol dari alam. Aku akan membantumu... untuk mendapatkan semua yang kau inginkan!
***
Akhir-akhir ini aku selalu memimpikannya. Bahkan kadang aku merasa bahwa kehadirannya sangat dekat sekali denganku. Aku mengingat rupanya dengan jelas. Pria berambut biru dengan mata berwarna langit malam. Rindu, mungkin kata yang terlalu singkat. Tapi itu sangat tepat untuk mengungkapkan perasaanku padanya saat ini.
Aku membawa setumpuk kertas yang hampir menutupi daguku. Aku diminta membawa kertas itu oleh seorang guru yang lumayan galak. Itu wajar. Aku tidak paham sama sekali dengan apa yang dia ajarkan dan aku tidak tahu kenapa?
Seluruh mata menatapku. Sesekali mereka membicarakanku. Ya, secara teknis aku adalah anak yang masuk sekolah dan sedang menderita amnesia. Tapi aku tidak tau mengapa. Sudah tiga minggu aku berada di sekolah ini, tapi tidak ada satupun yang aku ingat mengenai sekolah ini. Justru yang muncul di ingatanku adalah sosok-sosok aneh.
Tapi ada satu sosok yang membuatku ingin terus menatapnya. Perasaan abnormal yang membuat hatiku tak berhenti berdetak saat mengucapkan namanya. Seperti mantra sihir yang dapat membuatku terbang saat bayangan diriku terpantul di matanya yang seperti langit malam berbintang.
Aku masih ingat dengan jelas bau serbuk sari manis dari rambutnya yang biru itu. Di kegelapan malam, bayangannya seperti menyinariku. Harus kusebut apakah ini?
Eh? Seseorang mengambil sebagian kertasku. Membuatku tersentak dan hampir terjatuh. Tapi dengan sigap tangannya dilingkarkan pada pinggangku. Semua kertasku jatuh ke lantai. Tepat saat mata kami bertemu.
Manik hazelnya menatapku lembut. Wangi rambutnya yang terkena angin menyelinap masuk ke dalam rongga dadaku. Membuatku tenang dan nyaman.
"Maaf..." ucapku memecahkan kesunyian.
Dia segera melepaskan tangannya dari pinggangku, berjongkok dan memungut kertas-kertas yang berserakan di lantai. Akupun segera ikut memungut kertas yang berserakan.
"Mau diantar kemana?" Tanyanya dengan nada lembut.
Aku mencuri pandang. Badannya tinggi, kulitnya putih, matanya coklat, dan tatapannya yang menghangatkan lewat manik hazelnya. Sebagian rambutnya yang hitam menutupi wajahnya saat dia menunduk. Aku kenal orang ini. Orang yang sama dengan orang yang ikut menjengukku di rumah sakit waktu itu.
Dia menatapku sejenak kemudian tertawa. "Maaf. Kau lupa padaku, kan? Aku aji." Katanya sambil mengambil kertas yang kupegang.
"Eh? Biar aku saja..."
Dia menggeleng. "Tidak apa. Sudah menjadi tugas seorang pria untuk membantu wanita. Terutama yang dia suka." Wajahku memerah seketika dan aku menjadi gagap.
"T-t-terima kasih..."
Dia tersenyum dan mengangguk. Meninggalkan wajahku yang mulai menghangat. Kakiku mengajakku untuk berbalik kembali kelas.
Aku melihat jam. Pukul 10.30. Wisye pasti masih rapat saat ini. Berarti aku sendirian ya di kelas. Hatiku seakan menciut. Meski otakku memaksaku untuk tetap berjalan menuju kelas, tapi hatiku berkata bahwa aku harus pergi menjauhi kelas.
Aku tidak yakin. Mereka berkata bahwa aku telah hilang selama dua tahun dan aku tidak mengingat satupun hal yang terjadi sebelumnya. Wisye bilang semua orang menyukaiku. Benar. Mereka selalu tersenyum saat aku berjalan bersama Wisye. Tapi saat aku sendirian... Tidak ada satupun dari mereka yang mau melihatku. Mereka menganggapku... sampah!
Jarak antara aku dengan pintu kelas kurang lebih enam meter. Tapi rasa risau ini tak kunjung menghilang. Aku takut, aku takut mereka tidak menerimaku. Aku takut mereka membenciku. Apa lebih baik aku pergi? Aku ingin berbalik, tapi sudah terlambat. Kini aku sudah berada di depan pintu kelas.
Badanku gemetaran. Berulang kali aku mengatur nafasku. Aku menenangkan hatiku dan berkata "Aku akan baik-baik saja." pada diriku sendiri. Akhirnya hatiku siap dan perlahan aku membuka pintu kelas. Ia. Aku akan baik-baik saja. Aku tidak takut. Aku akan menghadapi mereka.
"Memangnya dia kira aku bodoh, ya? Aku tau dia pura-pura lupa ingatan agar mendapatkan perhatian dari Kak Aji sama Kak Niel, kan?"
Perkataan itu, menusukkan tepat saat aku membuka pintu. Semua mata menatap rendah kearahku. Aku bagaikan kuman yang harus segera disingkirkan. Tidak ada niat sedikitpun untuk meminta maaf kepadaku. Mereka justru tertawa saat melihat wajah tidak percayaku.
"Siapa?" Tanyaku mencoba menghentikan suasana menyeramkan ini. "Siapa yang berbicara tadi."
"Dasar bego!"
"Lihat dia! Sok cari perhatian lagi!"
Perlahan aku melangkahkan kakiku ke belakang. Berusaha tersenyum meski rasanya aku ingin berteriak sekencang mungkin. Aku terus berusaha menenangkan hatiku yang baru saja ditusuk oleh pengkhianatan. Aku kecewa, sakit, sedih. Semuanya bercampur menjadi satu.
Bruk! Aku segera berbalik. Sepertinya aku menabrak seseorang. Seseorang dengan wajah teduh dan tatapan mata yang tajam. Seseorang yang sebenarnya membuat hatiku merasa lega.
"Icha? Ada apa?"
"Niel..."
"Lihat tuh! Mulai cari perhatian lagi, tuh!"
"Dasar cewek murahan!"
"Icha? Ada apa?"
Aku mendorong Niel dan berlari sekencang mungkin. Air mataku tidak dapat dibendung lagi. Aku terus berlari menelusuri lorong. Semua mata menatapku jijik. Memangnya apa salahku? Kenapa mereka menatapku begitu? Siapapun tolong aku!
***
Bruk! Wisye berdiri di hadapan kelasnya. Dialah orang yang sejak tadi membuat keributan. Satu persatu teman sekelasnya habis dihajarnya. Sebenarnya Wisye bersembunyi di balik dinding saat kejadian Icha di ejek berlangsung.
"Dasar bodoh! Kalian tahu kalian berhadapan dengan siapa?"
Bruaak! Hanya dengan satu tendangan dia berhasil membuat seorang pria terbang hingga menabrak dinding. Mengakibatkan dinding itu retak karenanya.
Semua orang ketakutan. Apalagi saat menatap mata Wisye yang berkilat-kilat. Dia menyeramkan! Jauh lebih menyeramkan dibandingkan dengan monster manapun! Tidak ada yang berani bicara. Bahkan guru juga tidak berani masuk ke kelas. Tidak ada yang berani menonton atau memvideokannya. Semua itu karena dia adalah Wisye Dwi Rahayu. Ketua geng SMA ini sekaligus anak donatur utama. Semua orang betekuk lutut dihadapannya.
"Maafkan aku Wisye! Aku bersalah! Maafkan aku!"
Wisye tertawa keras. Tawa yang membuat buku kuduk siapapun berdiri. Setelah itu dia menatap orang yang tadi berbicara dengannya seperti monster yang siap untuk memakannya.
"Dasar bocah bego!" Wisye menendang perut orang itu hingga terpelanting beberapa senti. Wisye kembali mendekat dan menginjak punggung korbannya sambil tertawa. "Memangnya kau kira aku akan meloloskanmu begitu saja dasar sialan! Akan kubuat kau mati baru aku melepaskanmu. Kau adalah mangsaku!"
***
Aku tidak tahu aku berada dimana. Saat aku berhenti berlari, aku sudah berada disini. Aku mendongakkan kepalaku ke atas. Sedikitpun langit tidak terlihat. Hanya dedaunan hijau yang sangat lebat. Aku melihat sekeliling. Tempat ini sama sekali tidak menakutkan. Bahkan, aku merasa sangat tenang berada disini.
"Dasar cewek murahan!"
Aku memeluk lututku erat. Kutenggelamkan wajahku diantaranya. Berharap masalahku juga bisa ikut tenggelam. Kata-kata mereka... entah mengapa mengingatkanku pada sesuatu. Sesuatu yang sangat samar dan terkesan jauh. Tapi rasa sakitnya sama. Kepedihan yang aku rasakan ini... benar-benar membuat jantungku ingin lepas. Air mata yang sejak tadi mengalir tidak bisa lagi kuhentikan. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Setidaknya disini hanya angin, pohon, atau kucing lewat yang dapat mendengarku. Mendengar kekacauan hatiku.
"Jangan disini. Nanti kamu kedinginan."
Saat aku mengangkat wajahku sesuatu dilemparkan tepat mengenai wajahku. Membuatku sedikit kesal karena mendengar suara tawa yang mengejekku. Aku segera mengambil benda yang menutupi wajahku untuk melihat siapa pelakunya. Saat aku ingin mengumpat kearahnya, sosoknya yang tertawa membelakangi sinar matahari membuatku terdiam. Terpana akan ketampanan wajahnya.
"Cuaca hari ini dingin. Pakailah itu!" Katanya sambil menunjuk sesuatu yang kupegang. Jaket!
"Pakailah!" Katanya sekali lagi sambil tersenyum manis.
Aku menyembunyikan wajahku yang memerah. Memakainya perlahan sambil sesekali mencium aroma dari sang pemilik jaket. Aroma manis serbuk sari... Aku tersenyum dan membenamkan wajahku di jaketnya. Hangat sekali...
"Syukurlah! Aku bisa melihatmu tersenyum lagi!"
Eh? Dia merogoh sakunya. Mataku membulat saat dia mengeluarkan sebuah kotak dari sana. Kotak yang dibungkus kertas kado berwarna putih dengan pita biru besar di atasnya. Perlahan dia berjalan mendekat. Kini kotak itu berada tepat di depanku.
"Untukmu! Bukalah!"
Aku kebingungan. Tapi aku tetap mengambilnya. Perlahan aku membuka kotak yang telah dibungkus rapi itu. Mataku membelalak saat melihat sesuatu di dalamnya. Aku tersenyum bahagia dan mengeluarkan benda itu dari kotaknya. Sebuah gantungan kunci berbahan metal berbentuk hati biru bersayap.
"Ini cantik sekali!" Ucapku tulus.
"Cantik. Tapi kamu jauh lebih cantik. Jangan dengarkan apapun kata orang itu. Kamu gadis baik. Apapun kata orang mengenai dirimu... aku akan selalu berada di sampingmu! Tapi karena kau lupa, aku akan mengulanginya!"
Dia menggenggam tanganku yang memegang gantungan kunci dengan kedua tangannya. Mata kami beradu pandang dekat sekali. Aku tau, kami merasakan hal yang sama. Bahwa waktu seakan berhenti, dan dunia ini hanyalah milik kami berdua. Aku yakin, dia benar. Karena aku merasa aku mengingatnya. Meskipun samar, tapi aku pasti akan mengingatnya.
"Aku, Nielson Devadatt berjanji akan selalu berada di sampingmu. Aku akan membuatmu bahagia!"
Dia menatapku sambil tersenyum. Dia... yang selalu ada saat hatiku sedang kacau. Dia yang selalu ada dan menghadirkan senyum begonya. Entah mengapa, aku menyukainya. Aku menyukai semua hal tentang dirinya. Air mataku kembali mengalir. Perlahan aku menganggukkan kepalaku. Aku akan berusaha mengingatnya. Janji kita berdua!
"Suka..."
"Huh? Apa?"
"Aku suka Niel!"
Rasanya sakit ketika aku mengatakannya. Waktu berhenti dan digantikan rona merah yang tak mau hilang di pipi kami berdua. Keheningan yang tercipta memperdengarkan suara jantung kami yang tidak berhenti berdetak. Tidak apa. Meski dia tidak menerima perasaanku, setidaknya aku sudah mengatakannya. Aku tidak akan pernah menyesal!

Edenshii [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang