"Gadis buruk rupa, memimpikan cahaya. Tapi satu hal yang harus dia tahu, cahaya itu adalah kematiannya."
Entah masih adakah jiwa diluar sana? Yang kurasakan saat ini hanyalah potongan-potongan kecil dari kegelapan yang mulai berkumpul menjadi satu. Ketakutan, kekecewaan, keserakahan, kerakusan, dan teriakan-teriakan keputusasaan. Dia sudah berusaha untuk menyeimbangkan yin dan yang saat ini. Tapi tanpa cahaya, rasanya sangat sulit sekali.
Penjara bawah tanah yang dingin dan gelap, menjadi tempat persinggahannya saat ini. Tempat yang cukup menyenangkan. Dia tidak perlu memikirkan hal lain disini. Makanan selalu tersedia, tempat tidur yang luas dan empuk, serta baju-baju indah untuk dipakai. Hanya saja dia tidak terlalu menyukai tempat gelap tanpa kebebasan. Meski dia adalah sang kegelapan, tapi dia lebih menyukai cahaya.
"Apakah tidak capek? Menunggu dan mengawasiku?"
Gadis yang sejak tadi memperhatikannya menulis tidak menjawab apa-apa. Sosoknya yang anggun dan dewasa hilang setelah dia membuat kesepakatan dengan iblis. Dia menjual jiwanya, hanya karena kecemburuan.
"Kau pikir dia akan menyukaimu, Munmei? Dasar boneka!"
Mata hazel yang gelap itu melirik manik merah yang terus saja berkilat-kilat seakan mengejeknya. "Aku akan mendapatkannya. Jika hatiku tidak dapat menyentuhnya, biarkan tubuhku yang berbicara dengannya." Gadis itu menaikkan sedikit sudut bibirnya. Menantikan malam indah yang akan terjadi beberapa menit lagi.
Pemilik manik merah itu hanya tertawa. Kehadiran gadis di depannya ini terus saja mengisi ulang energi kegelapan yang hampir terkuras saat dia menyeimbangkan energi yin dan yang di dunia ini.
"Lakukanlah wahai pengikutku! Perbesar kegelapan dalam hatimu, dan berikan aku santapan yang terbaik."
***
Sejak kemarin aku merasakan tubuhku tidak karuan. Kepalaku terus berdenyut-denyut dan jantungku memompa dengan sangat kencang. Rasanya bagian dari diriku hilang entah kemana. Meninggalkan bekas luka yang tak dapat dilihat mata. Mereka bilang aku belum mengingat kenangan masa laluku? Tapi aku merasa aku belum siap menerima masa laluku.
Entah sadar atau tidak, langkahku semakin menjauh dari kastil aneh itu. Meski aku yakin penyusupan ini tidak akan ketahuan, tapi aku tetap resah. Aku merasa tidak asing dengan monster-monster yang berada di sekelilingku. Padahal baru pertama kali aku melihatnya.
Hanya pohon yang membatasi ruangku berjalan saat aku mengelilingi istana ini. Aku berpikir untuk kembali, tapi aku urungkan niatku itu. Ada sesuatu yang lebih menarik. Ada cahaya kekuning-kuningan yang mengintip di balik akar pohon yang menjuntai dengan lebatnya. Rasa penasaran memaksaku untuk melihat apa yang ada di baliknya.
Dengan tangan kananku kusibak akar pohon secara perlahan. Membiarkan cahaya lembut itu sedikit demi sedikit menyapaku. Hingga akhirnya alam menunjukkan pesona indah di balik akar pohon ini padaku.
Telaga kecil, dengan warna seperti pelangi memamerkan perhiasan teratai beraneka warnanya padaku. Suara tetesan air yang jatuh di sela-sela rongga pohon menggema dengan indah di telingaku. Aku dapat mencium aroma manis dari pohon apel yang rantingnya menjulur ke danau seakan-akan berkata bahwa dialah pelindung danau itu.
Sinar menyilaukan datang dari arah kanan. Tempat kunang-kunang berkumpul mengelilingi seorang gadis. Dia tersenyum dengan bibirnya yang tipis. Gaun putihnya tampak keemasan karena terkena cahaya kunang-kunang. Tawanya masuk sampai ke relung hatiku. Menetap dan terekam secara jelas. Matanya yang biru bagaikan rembulan bersinar lembut fokus membaca tulisan di buku yang kelihatan sangat usang. Rasanya hatiku sakit saat mengetahui gadis di depanku akan menikah dengan pria lain besok.
"Apa kau sudah ingat hal yang terjadi di masa lalu?" Hanya ada keheningan. Kuanggap itu sebagai jawaban iya.
Aku tersenyum. "Kau tahu? Aku cukup bahagia melihatmu dari sini. Bohong jika aku bilang aku tak ingin lebih. Seharusnya dua hari yang lalu merupakan kencan pertama kita, bukan? Aku sangat bersemangat hingga tak sadar dunia telah berubah." Hening untuk beberapa saat. Tidak ada respon apapun.
"Karena yang ada di pikiranku hanyalah kamu." Untuk beberapa detik aku sempat melihat binar di mata bulannya yang indah. Seandainya bulan itu bisa menetap di langitku. "Aku akan hadir di pernikahanmu. Ikut bertepuk tangan bersama monster-monster yang berada disana. Jika kau gugup, aku akan menyemangatimu. Mungkin aku akan menangis dan berteriak. Tapi aku akan bahagia saat kalian mengucapkan sumpah pernikahan. Setelah itu mungkin kalian akan memulai lembaran baru. Hidup bersama. Mungkin juga kalian akan memiliki banyak anak dan saat itu kau pasti sudah melupakanku! Tapi aku tidak akan melupakanmu. Terimakasih, karena dirimu, hari-hariku terasa menjadi lebih indah. Meski kita tidak ditakdirkan untuk bersama, setidaknya kita bisa menjadi teman, kan?"
Mulutnya sama sekali tidak terbuka. Dia hanya sibuk membolak-balik halaman. Rasanya sesak sekali, mengucapkan selamat pada dia yang akan segera pergi dariku. Mungkin memang lebih baik jika dia diam. Aku pasti akan terus mengajaknya bicara jika dia menjawab pertanyaanku.
Suara langkah kaki membuat diriku sedikit terkejut. Ada bayang-bayang beberapa orang dari balik akar. Untungnya akar ini panjang dan lebat sehingga mereka tidak akan mungkin melihat diriku. Mereka berbicara tentang betapa hebatnya sosok calon isteri tuan muda dan betapa beruntungnya tuan muda. Mereka juga mengucapkan beberapa hal yang membuat hatiku seakan ditikam pisau. Hingga suara itu akhirnya terbawa angin bersamaan dengan hilangnya bayangan mereka.
"Pergilah..." kata pertama yang keluar dari mulutnya setelah sekian lama. "Aku tidak ingin menjadi temanmu."
Ternyata begitu. Bahkan aku tak pantas menjadi temannya. Berserakan. Perasaanku telah hancur berantakan. Mereka mengatakan di masa lalu kisah cinta kami berakhir tragis. Bukankah tidak ada bedanya dengan sekarang? Sejarah seakan terulang kembali dan resmi berakhir dengan jejak sepatuku sebagai pertanda pupusnya hubungan kami.
Saat cahaya terakhir kunang-kunang lenyap bersamaan dengan suara buku yang tertutup membuat suasana di telaga terasa berbeda. Ada yang kosong. Ada yang hilang. Entah berapa kali hati ini sudah terasa sakit. Terutama saat melihat punggungnya yang perlahan mulai mengecil, air mataku mulai terus bercucuran. Pada akhirnya semua yang berharga akan cepat menghilang.
"Aku tidak ingin menjadi temanmu." Isak gadis itu sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Aku lebih egois dan menginginkanmu untuk diriku sendiri. Tapi jika aku egois, kau akan mati."

KAMU SEDANG MEMBACA
Edenshii [COMPLETED]
FantasíaNielson Devadatt Dua tahun aku menunggumu, dua tahun aku mencarimu, dua tahun aku merindukanmu. Dua tahun pula waktu yang cukup untuk kau melupakanku. Jessica Emilia Aku tidak keberatan terluka. Karena kamu akan selalu mengobatinya. Roberto Stephene...