Kupu-kupu yang ingin kumiliki

26 3 0
                                    

"Lah! Kasihan amat. Baru aja terbang, udah dijatuhin. Sakit ngga?"
Aku menatap Roberto yang sedang asyik melihat jendela. Tuh monyet memang kalau ngomong ngga nengok tempat. Tapi kadang apa yang diomongnya ada benarnya juga.
***
"Ica ingat aku, kan?" tanya Aji sambil menunjuk wajahnya.
Ica hanya menggeleng sambil tersenyum. Kami semua menatap Wisye yang sekarang kami tuduh sebagai saksi. Roberto hanya melongo melihat kami. Tumben dia diem.
"Ce," aku mencoba untuk sabar, "ada apa ini sebetulnya Ce?"
Wisye mendecak kesal. Dia menatap aku dan Aji bergantian. Seolah-olah kami seharusnya sudah paham akan semua ini. Ica cengengesan melihat kami yang kebingungan.
"Udah jelas, kan? Ica amnesia! Dia tabrakan!" katanya dengan nada santai.
Aji masih menatap Wisye bingung. "Kenapa bisa tabrakan?"
Lagi-lagi Wisye mendecak. "Kayak mana bisa tahu? Ica habis hilang, kan? Tau-tau aja aku dapat telepon  dari Rumah Sakit."
Aji tampak berpikir, "Kok Wisye yang dapat? Bukan orangtuanya?"
Aku dan Wisye tersentak mendengar pertanyaan Aji. Roberto langsung menghilang begitu mendengar  pertanyaan Aji. Aku berdeham. Berpura-pura tidak mendengar apa-apa. Sedangkan Wisye menghentakkan kakinya sebelum pergi meninggalkan ruangan.
Aku menatap Ica. Selama ini kemana saja dia pergi? Mengapa dia kembali dengan keadaan seperti ini? Keadaannya sama seperti saat pertama kali kami bertemu. Kosong. Yang dia lakukan hanya menatap. Seakan ada sesuatu di ujung sana yang harus dia lakukan. Seseorang yang aku kira tidak akan pernah bisa kuraih. Ketika tinggal sejengkal lagi aku meraihnya, dia justru meninggalkanku.
Dia disini. Dia tidak mengetahui siapa dirinya. Sanggupkah dia pulang ke rumah nanti? Aku menggenggam tangannya. Membuatnya kaget dan sedikit kesal. Tapi jika dia ingin marah juga tak apa. Aku sudah pernah berjanji padanya, kan?
"Dua tahun aku menunggumu. Dua tahun aku mencarimu. Dua tahun aku merindukanmu. Dengan cepatnya kau melupakan aku selama dua tahun." aku tersenyum miris.
"Sedekat apakah dulu kita?" tanyanya hati-hati.
"Kita ngga dekat, tapi ingin selalu bersama. Setiap kau sedih, aku akan selalu memabacakanmu sebuah cerita. Saat kau sakit, aku yang selalu menemanimu dan menggantikan tugasmu. Saat kau tidak percaya diri, saat itulah aku merasa dirimu wanita tercantik di dunia. Satu hal yang perlu kau ingat. Aku akan selalu membuatmu bahagia."
***
"Nielson? Menurutmu, apakah Ica akan diterima di rumahnya?"
Aku menggeleng. Hal itulah yang aku takutkan. Kami menutup telinga kami masing-masing setiap mendengar suara jeritan itu. Kalau dari suara itu.. sepertinya tidak. Aku mencoba mengintip ke jendela. Jendela rumahku bersebrangan dengan rumah Ica. Mungkin aku bisa melihatnya. Untungnya saat ini jendelanya terbuka.
Seorang gadis, tengah duduk di kasur. Dia menangis sambil mengusap beberapa luka dan memar di kaki dan tangannya. Kejadian seperti ini terus berulang. Bahkan ini lebih parah dari sebelumnya. Aku segera berdiri dan mencari sesuatu di meja belajarku.
Roberto menatapku. Mengerti apa yang akan kulakukan. "Ngga nyerah udah di lupain?"
Aku tertegun sambil memeluk benda yang kucari. Tentu aja aku ngga akan nyerah. Aku sudah berjanji, akan membuatnya bahagia.
Roberto mendecak. "Kalau kamu ngga serius sama Ica, mending nyerah aja sekarang!" katanya sebelum menghilang.
Aku jadi bingung apa maksudnya. Kuhilangkan semua pemikiranku. Prioritasku sekarang adalah membuatnya bahagia!
***
Sakit sekali. Rasanya sakit. Aku mengelus kakiku. Apa ini yang selalu kudapatkan ketika aku pulang ke rumah? Wanita itu siapa? Ibuku? Apa memang begini seharusnya sikap ibu kepada anaknya?
Air mataku tak berhenti mengalir. Tapi entah mengapa rasanya aku sudah terbiasa dengan rasa sakit ini. Aku hanya... kecewa.
Aku melirik foto di atas meja belajar. Ada dua foto disana. Aku berdiri dan berjalan perlahan. Kuraih salah satu foto. Foto yang berisi empat orang. Tes! Eh? Dengan tanganku yang lain aku meraba pipiku. Aku menangis? Kenapa?
Teng! Teng! Teng!
Aku menoleh. Sebuah kaleng. Aku berjongkok dan mengambilnya. Aku tak sengaja mendekatkannya ke telingaku.
"Lihat keluar jendela!"
Aku mengikuti suara itu. Seorang anak lelaki tersenyum menatapku dari jendela rumah sebelah. Aku mengingatnya. Dia lelaki dari rumah sakit itu. Lelaki yang mengatakan akan selalu membuatku bahagia.
Aku tersadar. Aku mengingat keadaanku sekarang dan segera mencari cara untuk menyembunyikan luka ini.
Dia tersenyum. "Aku sudah melihat semuanya."
Aku agak tersentak. Tapi kurasa itu wajar. Aku membiarkan jendelaku terbuka. Jadi sudah wajar dia tahu itu.
Aku mendekatkan kaleng itu ke mulutku. "Kamu sudah melihat aku menangis, kan?"
Aku bersender diantara lemari dan meja belajarku. Cukup lama aku menunggu jawabannya. Hingga akhirnya dia berbicara.
"Jangan nangis"
Aku tersenyum pahit. Ngga kok. Aku ngga nangis. Aku hanya kecewa. Entah mengapa aku tadi mengharapkan sesuatu yang lebih hangat daripada pukulan tadi. Meski aku merasa aku sudah tau ini akan terjadi.
"Aku udah bawa buku kesukaanmu." katanya polos.
Harusnya dia tau aku bukan anak kecil lagi. Aku menghela nafas. "Buku itu ngga bisa menghapus air mataku."
Sempat kudengar suara tawa darisana. Sebelum dia mengatakan sesuatu yang membuat wajahku memanas. "Tapi yang baca bisa menghapus air matamu, kan?" setelah itu aku mendengar suara lembut yang membuat sanggup memanah hatiku. "Jangan nangis. Nanti aku kesana, lho!"
Hanya beberapa kata. Tapi sanggup membuatku lupa akan rasa sakitku. Hanya beberapa kata. Tapi sanggup untuk melukis senyum di bibirku. Lucu memang. Padahal kami baru saja bertemu. Tapi rasanya aku sudah sangat mengenal dirinya.
"I-iya ngga nangis lagi." ucapku sambil berusaha menahan getaran suaraku.
"Pintar. Besok aku jemput ya jam 7"
Aku berpikir sebentar. "7? Pagi banget?"
Bukannya sekolah kami itu masuknya jam setengah delapan, ya? Kemarin Wisye menjelaskan semuanya. Dia juga sudah mengatur semua urusan di sekolah agar besok aku bisa bersekolah. Mungkin Wisye memang terdengar sedikit kasar. Tapi aku mengerti dia begitu karena dia mengkhawatirkanku.
"Ica?"
Aku agak kaget. Aku menjawabnya dengan dehaman kecil. Aku bisa mendengar dia menghela nafas lagi.
"Sepertinya kamu belum mengerti. Ngga ada yang namanya terlalu pagi atau terlalu malam jika itu untuk bertemu denganmu."
Hatiku langsung ambyar. Aku mengeluarkan kepalaku. Berusaha melihat wajahnya saat ini. Dia tersenyum jahil saat melihatku mengeluarkan kepalaku. Tapi senyumannya. Senyumannya membuat detak jantungku sangat berisik.
Dia melemparkan kaleng miliknya. Aku menangkapnya dengan cepat. Membuat seluruh wajahku terlihat olehnya. Rambut coklat terangku sebagian terurai ke depan. Membingkai wajahku dengan indah.
"Kamu cantik." ucapnya jujur. "Jangan menangis lagi. Aku tak suka melihatmu bersedih. Nanti dunia jadi ikut sedih."
Aku tersenyum. Setelah mengucapkan selamat malam kami menutup jendela masing-masing dan mulai tidur. Aku menatap telepon kaleng yang kami gunakan untuk telekomunikasi. Siapa dia? Mengapa bisa menyembuhkan rasa sakitku? Aku mengelus telepon kaleng yang ada dipangkuanku.
"Siapapun dirimu, kau pasti orang yang sangat penting untukku."

Edenshii [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang