“Lanjut,” kata Adiba.
“Truth or dare?” tanya Nita saat pulpen yang berada di tengah-tengah antara Helen, Adiba dan dirinya mengarah kepada Helen.
“Truth,” jawab Helen.
“No, no!” Nita mengibaskan tangannya, lalu berkata kembali, ”Gue ganti, jadi dare or dare?”
Helen menoyor kepala Nita. ”Itu sama aja! Gak usah pake embel-embel or.”
“Dib, kasih dare apa nih?” tanya Nita kepada Adiba tanpa memperdulikan tatapan kesal dari Helen.
“Aldi.”
“Hah? Apa sih gak ngerti. Lo ah, heran deh gue, kebiasaan banget kalo lagi gak mood ngomong, ujung-ujungnya yang keluar cuma satu kata dua kata. Lo irit apa pelit ngomong sih?”
Adiba terkekeh pelan mendengar perkataan Helen. ”Bilang suka ke Aldi.”
Helen membelalakkan matanya. ”Gila! Ogah gue. Ganti, ganti.”
“Enggak! Gak ada ganti-ganti. Udah cepet keluarin hp lo,” titah Nita sambil memakan batagor yang tadi ia beli di kantin.
“Ganti dong ganti. Atau gue nyerah ajalah, gue pilih dikasih hukuman. Gue rela jajanin kalian dalem seminggu atau sebulan atau selamanya, serah dah. Ayo dong,” pinta Helen.
“Gak ada hukuman-hukuman. Dare harus tetap terlaksana!” tegas Nita.
“Kalo dia mikir ini serius gimana? Kalo dia tau ini cuma dare gimana? Kalo gue dapet masalah gara-gara dare ini gimana? Ogah ah.”
“Gue yang tanggung jawab dari dare ini,” kata Adiba.
Helen berdecak kesal lalu mengeluarkan ponselnya. ”Chat apa telpon nih?”
“Langsung!” seru Nita dan Adiba.
Helen memelotot kepada Nita dan Adiba, lalu ia menyimpan ponselnya di atas meja dengan kasar. ”Gue nyerah!”
“Kalo lo gak berani ngomong kaya gitu, jangan-jangan lo suka dia beneran, ya kan?” tanya Nita sambil memicingkan matanya.
“Enggak lah!” sergah Helen cepat. ”Gila kali gue suka sama orang model kaya gitu.”
“Ya udah, kalo lo gak suka dia berati fine-fine aja kan? Sono pergi, dia di kantin sama Bilan.”
Helen beranjak dari duduknya, baru saja sampai di ambang pintu, Helen membalikkan tubuhnya saat Nita mengatakan sesuatu. ”Sekarang lo gak boleh ngomong ini dare, tapi lo boleh ngomong ini dare pas udah lulus sekolah.”
“Good luck!” kata Adiba sambil mengacungkan jempolnya.
“INGET! NGOMONGNYA HARUS LEMBUT. JANGAN LUPA PAKE SENYUM YANG MANIS!”
“Langsung diare gue dengernya.”
💌💌💌
“Bokap gue dulunya playboy. Kalian percaya gak?” tanya Bilan kepada Aldi, Regan, dan Teyo.
“Wih pantesan,” kata Aldi.
“Pantesan apaan? Pantesan ganteng ya?” tebak Teyo.
Aldi menggelengkan kepalanya. ”Bukan. Pantesan kemaren bokap lo nembak gue.”
“Gila. Lo kira bokap gue maho?!”
Aldi mengaduh kesakitan saat Helen yang datang dari belakang menggeplak kepala Aldi. ”Istri yang baik itu kalo nyamperin suami sun tangan dulu, bukannya ngegeplak kepala kaya tadi. Cium dulu pala gue, sakit nih.”
“Kapan nikahnya anjir? Ko gue gak diundang? Gan, lo diundang kagak?” tanya Bilan kepada Regan.
“Kagak, temen macam apa dia?” kata Regan.
“Halah, mereka mah kawin lari, Bang,” sahut Teyo lalu menyeruput es teh manis miliknya.
"Gila, yang gini aja didengerin. Kata-kata yang dikeluarin nih anak gak ada yang bener. Ikut gue lo, gue mau ngomong.”
“Iya, bunda. Bentar. Ini cendol nya belom abis."
💌💌💌
“Ada apa nih, Bun?”
“Stop panggil gue bunda!”
“Oke. Ada apa nih, Mah?”
“Sama aja somplak!”
“Ganti. Ada apa nih, Bu?”
“Lo pikir gue udah ibu-ibu?!”
Aldi berpikir sejenak, lalu menatap Helen kembali. ”Ada apa nih, sayang?”
“Apa sih lo?! Bodo amat ah gue gak jadi ngomong.” Helen beranjak dari duduknya, tapi belum juga ia berjalan tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Kalo lo gak berani ngomong kaya gitu, jangan-jangan lo suka dia beneran, ya kan?”
Helen duduk kembali saat teringat kata-kata Nita. Ia harus membuktikan kepada Nita dan Adiba bahwa ia berani mengatakan ini karena ia tidak menyukai Aldi. Helen melirik Aldi yang sedang menatapnya dari samping. Tidak sampai lima detik, Helen memalingkan wajahnya, gengsi juga jika ia mengingat bahwa perempuan yang menyatakan perasaan duluan kepada laki-laki sama seperti memutuskan urat malu nya.
“Gue suka lo.”
“Hah, gimana? Lo kalo ngomong jangan galak-galak gitu dong, Hel. Gue gak ngerti. Ulang.”
“INGET! NGOMONGNYA HARUS LEMBUT. JANGAN LUPA PAKE SENYUM YANG MANIS!”
Helen memejamkan matanya, lalu membuka matanya kembali dan menatap Aldi. Tak lupa juga ia tersenyum manis sesuai permintaan dari Nyonya Danita. ”Di gue.. gue suka, gue suka itu, itu apa sih ah, gini g-gue.. gue suka lo.”
💌
Jangan lupa di vote dan comment ya😙
Jangan lupa juga buat share cerita ini ke temen, sahabat, gebetan, pacar buat baca cerita ini yaa.
Trimakasii
KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Bandana [Completed]
Teen Fiction[SEQUEL BILAN] Helen jadi berurusan dengan laki-laki berbandana hanya untuk mencari tahu siapa sebenarnya laki-laki berbandana yang melempar surat ke balkon kamarnya. Tapi, masalahnya laki-laki yang memakai bandana itu bukan hanya satu. Di mulai dar...