Keesokan harinya, Rangga datang ke rumah keluarga Alvaro, meskipun ia tahu bahwa mungkin kali ini akan lebih sulit. Ia tidak tahu pasti apa yang akan dikatakan Nawalia, atau apakah ia akan menerima kedatangannya dengan sikap yang lebih terbuka. Namun, ia sudah mempersiapkan dirinya untuk segala kemungkinan, apapun reaksi Nawalia.
Setelah disambut oleh pelayan, Rangga menuju ruang tamu, tempat Nawalia biasanya menghabiskan waktu. Begitu ia masuk, ia melihat Nawalia duduk di salah satu sofa dengan ekspresi wajah yang keras, seperti biasa. Nawalia sedang membaca buku, namun matanya sesekali melirik ke arah Rangga, meskipun ia berusaha tidak menunjukkan perhatian lebih.
Rangga menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang.
"Al" panggilnya dengan suara lembut namun tegas.
Nawalia menutup bukunya perlahan, lalu menatap Rangga dengan tatapan yang cenderung datar.
"Ada apa?" jawabnya, suara yang tegas dan sedikit dingin, seperti biasanya.
Rangga merasa sedikit cemas, namun ia berusaha untuk tidak terpengaruh oleh sikap Nawalia.
"Aku cuma ingin bicara sebentar. Tentang seleksi PSDP TNI... Aku tahu kamu pasti merasa cemas, dan aku hanya ingin memastikan bahwa kamu tidak sendirian menghadapi ini."
Nawalia menatap Rangga dengan mata yang tajam.
"Aku baik-baik saja, Jangan terlalu khawatir. Aku tidak butuh bantuan siapa pun," jawabnya cepat, suaranya lebih keras, seperti menegaskan bahwa ia ingin dihindari dari perhatian lebih.
Rangga tidak terpengaruh oleh ketusnya Nawalia. Ia tahu betul bahwa di balik sikap itu ada kekhawatiran yang mendalam.
"Al, aku tahu kamu kuat, dan aku tidak meremehkan itu. Tapi kadang, kita semua butuh sedikit dukungan. Aku cuma ingin kamu tahu, kamu tidak harus menghadapinya sendirian."
Nawalia mendengus pelan, lalu berdiri, melangkah beberapa langkah menjauh dari Rangga.
"Aku tidak membutuhkan siapapun, Aku bisa mengurus diriku sendiri. Jadi, lebih baik kamu pergi dan tidak ganggu aku lagi."
Rangga tetap berdiri, tidak bergerak, meskipun Nawalia berusaha menghindar darinya.
"Aku tidak akan pergi begitu saja, Al. Aku tahu kamu merasa berat dengan segala yang terjadi, dan aku ingin kamu tahu kalau aku di sini, untuk mendukungmu—meski kamu tidak memintanya."
Nawalia menoleh, wajahnya terlihat kesal, namun ada sedikit kecemasan yang tersembunyi di baliknya.
"Kamu nggak ngerti" ujarnya dengan suara lebih rendah, namun tetap ada ketegasan.
"Aku nggak mau bergantung pada orang lain. Aku nggak mau kamu atau siapa pun merasa kasihan padaku."
Rangga melangkah maju sedikit, mencoba untuk lebih dekat dengan Nawalia, namun tanpa mengganggu ruang pribadinya.
"Aku tidak kasihan padamu, Al. Aku hanya peduli. Dan itu bukan soal bergantung atau tidak. Ini tentang saling mendukung, terutama saat-saat seperti ini."
Suasana hening beberapa detik, dan Rangga dapat melihat ketegangan yang jelas di wajah Nawalia. Dia tahu, meskipun Nawalia berusaha keras untuk menutup dirinya, ada rasa takut yang tak terlihat yang mengendap di dalam hati gadis itu. Rangga tidak memaksanya, tapi ia juga tidak berniat pergi begitu saja tanpa memberikan sedikit keyakinan.
Nawalia akhirnya menghela napas, ekspresinya sedikit melunak, meskipun ia tetap tampak bingung dan kesal.
"Aku nggak butuh kamu atau siapa pun memberi tahu aku apa yang harus aku lakukan" katanya dengan suara yang lebih rendah, hampir seperti bisikan.
Rangga melihat ada sedikit perubahan dalam sikap Nawalia, meskipun ia masih keras kepala.
"Aku tidak akan memberitahumu apa yang harus dilakukan, Al. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku di sini, Tidak ada salahnya jika kamu ingin berbicara atau hanya butuh seseorang yang mendengarkan."
Nawalia tetap diam, matanya menatap ke lantai, berusaha mengendalikan emosinya. Meskipun ia tidak mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata, Rangga bisa merasakan betapa dalamnya kegelisahan yang ada di dalam diri Nawalia.
"Nanti aku fikirkan" jawab Nawalia akhirnya, dengan suara pelan, seperti ia mulai membuka sedikit ruang untuk kemungkinan.
Rangga tersenyum kecil, merasa sedikit lega, meskipun Nawalia masih belum sepenuhnya menerima dukungannya.
"Aku tidak akan memaksa, tapi aku akan selalu ada jika kamu butuh seseorang."
Dengan itu, Rangga memberi jarak dan melangkah mundur. Ia tahu bahwa meskipun pertemuan ini belum mengubah banyak hal, setidaknya ia bisa memberikan sedikit rasa aman bagi Nawalia, bahwa ia bukanlah orang yang datang hanya untuk mengganggu, melainkan untuk memberi dukungan yang tulus.
Nawalia tetap diam, seolah mencerna kata-kata Rangga, sementara Rangga melangkah pergi, yakin bahwa langkah kecil ini mungkin adalah awal dari sesuatu yang lebih besar, meski Nawalia belum sepenuhnya siap untuk menerima perubahan itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/187536235-288-k697164.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Fly To Eternity
Nonfiksicinta, kehilangan, dan pengorbanan, meskipun hidup penuh dengan ujian dan penderitaan, jiwa seorang pahlawan tetap terbang menuju keabadian.