PROLOG

3.2K 187 11
                                    

Disebuah tempat hancur yang aku pijak, tidak ada yang terasa seperti ini. Bau amis darah dan juga mesiu menjadi satu.

Harusnya aku sudah terbiasa. Berada di Medan Canae selama dua bulan. Tubuh kotor, perut lapar, tubuh letih. Ditambah lagi teman-temanku yang mayoritas sudah menjadi mayat.

Padahal, kemarin atau dua bulan yang lalu, kami masih tertawa. Berbagi senyum selagi bersiap di kereta.

Suara tembakan kembali membuatku sadar. Aku menoleh ke kiri, tertegun. Lagi, salah satu rekanku tewas.

Aku marah. Darahku mulai semakin mendidih. Emosional dan sensitif. Mungkin mataku sudah memerah, menahan sedih juga marah. Aku mengarahkan senjataku pada musuh. Sejenak berlindung di salah satu tembok hancur, kemudian menghitung total musuh.

Ada 25 yang tersisa, sementara dari pasukanku hanya sebelas. Dan sama-sama terlihat letih. Tapi aku tidak boleh iba. Jika begitu, aku yang akan mati. Pilihannya adalah dibunuh atau membunuh. Jelas aku memilih opsi kedua.

"Perhatian, aku akan menyerang mereka. Kalian back up dan terus berlindung. Aku tidak mengizinkan kalian mati, mengerti?!" Lewat alat yang terpasang di telinga kanan untuk berkomunikasi, aku berbicara.

"Letda Heinz, kita bisa menghabisi me-"

"Tidak," kataku menyela. "Kalian harus hidup agar bisa membalas dendamku. Turuti perintahku."

Kemudian alat itu aku buang. Tak lagi berguna juga, untuk apa aku pakai.

Setelah mengisi peluru, aku mengambil posisi tiarap dan mulai menembaki satu persatu. Aku harus bertahan selama tiga menit lagi sampai bala bantuan datang. Tapi aku tidak bisa lagi menahan diri.

Emosi yang terpendam sudah memuncak. Meninggalkan posisi tiarap, aku berlari dan menembak membabi-buta. Tak lagi menghiraukan rasa perih akibat sayatan di kaki ataupun peluru yang bersarang di bahu.

Tepatnya, aku mati rasa.

Dan ketika semua musuh terakhir telah habis, aku jatuh. Menatap langit dengan senyum kecil yang aku sendiri tidak tahu mengapa. Merasakan kedamaian.

Ketika hitungan mundur telah selesai, bala bantuan datang. Tapi menurutku mereka terlambat, karena aku sudah berhasil mengalahkan mereka. Seruan dari anak buahku yang tersisa juga tak lagi aku hiraukan.

Mataku berat. Dan aku mulai memejamkan mata, menyambut kegelapan yang datang dengan sukacita.

Barangkali ini saatnya bagiku untuk tenggelam. Tak apa. Aku sudah letih menjadi malaikat pencabut nyawa di peperangan. Aku akan mengambil waktu istirahat, mungkin untuk selamanya.

••••

Aku bikin cerita baru, HAHAHA HAHAHA.

Terus yang lamanya gimana?
Oh, tenang, lagi proses juga, kok. Sabar, ya.

Sky [Harry Styles]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang