Pendonor

6 2 0
                                    

Rehan melajukan sepeda motornya pulang, ia memarkirkan motornya di garasi rumah dan mulai menjejakkan kakinya di pintu utama. Sebelum ia bisa masuk tiba-tiba sakit menyerangnya dengan kuat membuatnya tidak sadarkan diri.

"Re."

Panggil seorang wanita paruh baya yang beriri setengah membukuk di tepian ranjang rumah sakit. Rehan kenal tempat ini, bahkan sangat kenal. Ia menelengkan kepalanya dan menatap mamanya sendu.

"Maaf ma, Rehan buat mama khawatir lagi."

Wanita itu menggeleng kuat sambil sedikit tersenyum, memperlihatkan wajah keriputnya tapi tidak dengan kecantikannya.

"Kamu mau minum?"

Rehan hanya mengangguk dan menerima sodoran gelas dari mamanya.

"Nia nungguin kamu di luar, dia khawatir banget."

Rehan membuang napasnya kasar, menatap bayangan seseorang di luar sana.

"Rehan masih lemes ma, Rehan gak mau diganggu."

Mamanya mengangguk dan menegakkan tubuhnya berjalan menuju pintu. terdengar sedikit perdebatan di luar, tapi Rehan berusaha tidak perduli dan melanjutkan tidurnya.

"Rehan."

Itu Dania, ia tetap berusaha masuk walaupun dilarang. Rehan membuka mata perlahan dan enatap malas cewek di hadapannya.

"Kenapa?"

Rehan mendatarkan suarany dan wajahnya.

"Lo gak papa? Gue temenin ya."

Rehan menggeleng tanda ia tidak setuju dengan usulan Dania.

"Gue pengen sendiri."

Bahu Dania merosot dan memenadang sedih sosok di hadapannya.

"Yaudah. Kalau gitu gue pamit pulng. Cepet sembuh."

Setelah Dania pergi, Rehan kembali membuka matanya dan berusaha mencari ponselnya. Ia membuka kunci dan menggeser layar yang menampakkan foto dua anak kecil yang sedang tertawa. Ia mengusap pelan gadis kecil di layar ponselnya.

"Gue kangen banget sama lo. Lo dimana?"

Decitan pintu mengalihkan perhatian Rehan. Itu Dimas teman yang dia dapat tampa sengaja.

"Kenapa lo?"

Tanya Dimas duduk di sebelah Rehan, Rehan hanya memandang datar dan membuang napasnya. Ia menyimpan ponselnya dan menatap langit- langit.

"Dia pergi Dim."

Dimas menaikkan alisnya tinggi. Seakan bertanya siapa?

"Zeze, tunangan gue. Dia pergi dan batalin pertunangan kita."

Dimas hanya mengangguk ringan dan kembali menatap Rehan.

"Kalau gue jadi dia, gue juga bakalan ngelakuin hal yang sama."

Rehan terbelalak mendengar penuturan Dimas. Ia memukul kuat lengan Dimas yang mulai tertawa terbahak.

"Sialan."

Dimas mengusap air matanya karena terlalu banyak tertawa.

"Bucin sih lo."

------------

Ze berjalan di lorong sekolah barunya, ia cukup menyukai tempat ini terutama udaranya yang menenangkan tapi disini tidak ada Naya da Dara sedikit membuatnya sedih, bukan sedikit tapi banyak. Ze melangkahkan kakinya sampai ke kelas barunya membuatnya menatap sebentar pintu itu dan menarik napas dalam, ia harus siap untuk hal yang baru.

"Hai, Ara!"

Ze erlonjak kaget saat ingin membuka ointu kelas pasalnya Adam sudah memuncukkan kepalanya terlebih dahulu, Ze memegang degub jantungnya yang menggila tapi manusia di hadapannya hanya terkekeh. Entah kekuatan dari mana tangan Ze melayang memukul kepala Adam kuat.

"Adam!"

Ze mengejar Adam yang berlari keluar kelas menuju lapangan basket membuat Ze mengejarnya sambil mengangkat tinggi tasnya ingin kembali memukulnya.

"Aw, aw, Ampun Ara, ampun."

Adam memegang tangan Ze membuat mereka menatap sejenak, rasanya lingkungan sekitar berhenti. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama karena bel masuk berbunyi, karena tersadar Adam meniup mata Ze yang masih belum berkedip.

"Kuy, masuk."

Adam melenggang masuk membuat Ze menatapnya bingung tapi juga menimbulkan senyum kecil di bibirnya.

"Jadi kangen es batu."

Ze tersenyum dan menyusul Adam dengan sedikit berlari.

Setelah hari yang panjang di sekolah Ze akhirnya sekarang berdiri di gerbang depan sekolahnya menunggu angkot lewat. Apalagi yang ia tunggu kakaknya Kara sudah kembali ke Jakarta jadilah ia sekarang hanya harus mandiri, tidak mungkin ia minta jemput omanya kan?

"Ara."

Ze mendelik saat melihat Adam yang sudah mendorong motornya mendektainya, membuat Ze gugup setengah mati, bukan karena di dekati Adam tapi karena pandangan para siswi yang menatapnya tajam di belakang punggung Adam. Lalu kenapa si konyol itu mendorong motornya ke arahnya?

"Pulang bareng yuk naik motor, gue anterin dengan selamat sampai tujuan."

Lontar Adam semangat tapi ditatap heran oleh Ze, pasalnya ia baru kenal Adam belum genap 3 hari tapi sudah sangat menyebalkan dan konyol.

"Ogah."

Jawab Ze meninggalkan Adam. Adam terus mengikutinya dalam diam membuat Ze meliriknya sinis.

"Kan gue udah bilang gak mau terus ngapain lagi lo ngikutin gue?"

Adam menyerngit dan memegang dagunya mentapa ke langit. Seolah apa yang dipertanyakan Ze adalah soal kimia yang sangat rumit.

"Tadikan lo gak mau pulang naik motor bareng gue?"

Tanya Adam memastikan dan diangguki oleh Ze.

"Jadi gue udah memutuskan pulang bareng lo gak naik motor tapi jalan kaki sambil dorong motor."

Adam menjawab seolah-olah jawabannya sangat-sangat benar membuat Ze geram dan kembali memukul bahu rehan kuat.

"Kenapa sih? Suka banget mukul, gue kan gak salah Ara kuntet."

Ze kembali mendelik saat dirinya dikatai kurang tinggi dan mejambak rabut Adam kuat membuat Adam mengaduh dan meronta ingin melepas tangan Ze tapi sayangnya tidak bisa karena ia sedang memegangi motor.

"Dasar Adam listrik!"

Ze berteriak dan memberi sentakan kaut pada rambut Adam dan pergi meninggalkanya. Hampir saja rambut Adam lepas, ia menatap miris dirinya di cermin motornya. Ia sangat- sangat buruk sekarang.

"Dasar gadis bar-bar, untung gue suka. Kalau enggak udah gue musnahin tu bocah."

14/6/19

holla trulala

jangan lupa tinggalin jejak biar rajinan dikit update

RELVINA (Completed) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang