Salah Berasumsi

6.2K 504 10
                                    

_21_

_Ustadz Pribadi_

Senyummu menyedihkan Tha, semua orang bisa lihat itu. Cukup kau percaya Allah selalu ada didekatmu.

Adnil_



Happy reading...

       Pagiku, lihatlah mentari tak tersenyum kepadaku, semesta juga menetawaiku, bodoh. Ini hanya perihal dunia, kenapa aku harus sedih dan pillu? Bukankah dibalik ketetapan yang Allah berikan selalu ada hikmah dibaliknya? Ya.

      Fokusku terbagi, namun aku harus tetap sportif. Panas, dingin, gugup, takut, khawatir, semua bercampur menjadi satu rasa. Satu yang kuyakini, 'aku pasti bisa melewatinya'. Ya, dan harus bisa.

"Agatha Syakila," serunya dari ambang pintu ruang Uji.

"fokus. Jangan pikirin ayah, kakak yang akan temani dia." Aku mengangguk. Kak Ano menatapku dengan senyum ibanya.

"Semangat Tha, you can," Reza mengepal tangannya semangat. "Terimakasih Za."

"Semangat Tha, jangan sedih donk gue ikutan nih," bibirnya dimajukan dan berhambur memelukku. "Tangan lo kok gak dingin ya? Muka lo gak kelihatan gugup, justru seperti sedih. Sahabat gue  ini kenapa ha?" Kubalas dengan senyum terbaikku pagi ini untuk Rara, kugelengkan kepala sebagai tanda aku baik-baik saja.

"Agatha Sayakila, ada, kan?" ulangnya.

Kami menoleh bersamaan, lalu mengangguk. "Aku kedalam dulu yaa? Doakan semoga lancar," pamitku pada ketiganya, tersenyum dan berlalu.

     Senyummu menyedihkan Tha, semua orang bisa lihat itu. Cukup kau percaya Allah selalu ada didekatmu. Lirihku menyemangati diri. Bismillah, bisa.

      Ada yang kurang dihari sidangku, seperti ada seseorang yang kuharapkan juga menyemangati. Tapi, entahlah harapan itu hanya akan menyakiti dan membuat kecewa. Ya, kecewa pada diri sendiri yang telah berharap.

       Keringat dingin yang menyapa kulit akhirnya pergi. Beban dipundak akhirnya berkurang. Aku hanya berusaha semampuku, hasilnya biar Allah yang tentukan. Usaha tidak akan menghianati hasil. Walau sempat limbung karena ayah, aku sudah mempersiapkan ujian ini sebelumnya.

       Keputusan penguji menyatakanku lulus membuatku ingin segera menemui ayah. Bagaimana sidang ayah? Kulihat jarum jam yang berjalan dilingkaran tanganku sudah menunjukkan angka 11, sedang jarum panjangnya menuju angka 4. Pasti sidang Ayah juga usai. Sempat terselip rasa khawatir ayah tetap dinyatakan salah, tapi bukankah Allah yang lebih tahu kebenaran? Ya, Allah akan tunjukkan keadilannya.

      "Bagaimana Tha? Pasti lulus kan? Ah, gue pengen segera sidang deh, gak kuat nunggu lusa, biar lekas hilang gedebuk di dada," cerocos Rara membuat semuanya hening, termasuk Reza yang pandanganya bergantian menatapku juga Rara.

     "Ehm.." Reza memecah hening. Rara menyadari dan bungkam seketika.

      Kuangkat sedikit kedua ujung bibirku, "Alhamdulillah, Allah melancarkan segalanya, dan semoga Allah juga lancarkan sidang ayah." Ups, mereka tidak tahu soal ini. Semoga saja mereka tidak mendengar

"Alhamdulillah."

"Maksud lo Tha? Sidang ayah?" Rara ternyata tidak mengabaikan kalimat belakangku. Semuanya bungkam menunggu jawabanku.

Ustadz Pribadi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang