Tentang Kafani(2)

6.2K 471 12
                                    

_25_

_Ustadz Pribadi_

bismillah..

assalamualaikum semua..

ada yang masih nunggu nggak?

atau ada yang masih belum tidur?

semoga aja ada.

dan jangan lupa vote dan komennya ya jika kamu mendukung cerita ini, terimakasih.

happy reading.

Dalam perjalanan mengantar perempuan berusia setengah abad lebih ini, Aku ingat ada sesuatu yang pernah ku ingin tanyakan namun urung hingga akhirnya perpisahan terjadi. 

        Tapi, kali ini masa lalu yang susah payah kulupakan harus kembali bagai puzzle yang mungkin bisa kususun ulang tempat yang pernah kosong. namun bukan berarti aku akan kembali pada perasaan semula. aku tak ingin menjilat lagi keputusan yang sudah kubuat.

"Nek, Agath ingat bagaimana dulu kondisi rumah nenek yang sederhana. padahal Kafani orang berada. kenapa nenek mau tinggal dirumah kumuh itu?"

wajah nenek yang tadi bersemu bahagia tiba-tiba berubah sendu dan menatapku tak percaya.

"Maaf nek, bukan maksud Agatha mencaci rumah nenek. maaf, Agatha begitu memang, berkata tanpa berfikir." Nenek tersenyum dan mengelus punggung tanganku, dia menggeleng kepalanya pelan. Kami memang duduk berdampingan di jok belakang, dan kak Ano seolah supir yang siap mengantar kami kemanapun.

"Nenek Faham kebingunganmu, mungkin karena Kafani gak pernah cerita ya kalau nenek bukan nenek kandungnya?" senyum ringannya mendamaikan. aku yang menyetujui perkataannya langsung menautkan alis tak percaya.

"Ma.. maksud nenek?"

"Iyya, Agatha. nenek bukan nenek kandung Kafani. nenek dulu hanya pembantu dirumahnya. lebih tepatnya, dirumah neneknya Kafani."

"Nenek Kafani?" tanyaku kebingungan kenapa Kafani hanya menjenguk nenek yang bukan nenek aslinya.

"Nenek Kafani meninggal saat Sarah, ibu Kafani masih berusia 7 tahun, waktu itu dia baru menginjak sekolah Dasar. sejak saat itulah Sarah menganggapku ibu. Sampai dia menikah dan punya anak, tetap menganggapku ibu dan nenek bagi anak-anaknya."

Tak terasa cairan bening mengalir begitu saja disela-sela kulit dermis pipiku. Ternyata, aku masih belum tahu tentang apapun menyangkut Kafani. Bagaimana bisa? Kafani seolah menyembunyikan identitas dan masalahnya dariku. Walaupun posisiku saat itu adalah pacarnya. Bahkan aku sempat bertengkar karena Kafani menyimpan semuanya dengan rapat.

"Aku tahu, mungkin aku pacarmu, tapi aku sama sekali tak berarti kan buat kamu?" ucapku saat aku ingin bertemu dengan ibunya. ingin menunjukkan bahwa aku perempuan layak yang Kafani pilih untuk melanjutkan sisa hidupnya.

"Ssstt..." telunjuk Kafani menutup bibirku yang sedari tadi mengoceh dan merajuk bak anak kecil minta susu. "Jangan bilang begitu, kamu sangat berarti buat aku."

"Kalau aku berarti, kenapa kamu tak pernah mengeluhkan atau menceritakan masalahmu? kamu anggap aku apa Kaf?"  bentakku dihadapannya dengan posisi  berdiri dan dia terduduk dimotor  besarnya hingga sejajar dengan tinggiku.

"Karena aku menganggap kamu perempuan yang pantas dibahagiakan, bukan ditimpakan beban."

Dan kalimatnya mampu membius dunia sadarku, rasanya seperti mimpi karena diterbangkan dengan ratusan sayap yang akan membawa kemanapun terbang. Disini, tempat ku berdiri seolah bukan parkiran sekolah, tapi istana kayangan. Ah, sepertinya aku terlalu lebay.

Ustadz Pribadi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang