Bakal LDR

6.8K 496 28
                                    

assalamualaikum..

jangan lupa vote dan komennya.

selamat membaca.

_35_

_Ustadz Pribadi_

"Tha, papa minta kita makan malam di sana," ucapnya seraya memandangi bayangannya dipantulan kaca membenarkan peci juga baju koko yang melekat ditubuh kekarnya. Aku mengangguk, bayanganku juga terlihat disana, Kafani tersenyum menatapku dari bayangan yang ditampilkan kaca.

Dub, aku mengalihkan garis mataku yang bertemu dengan manik mata Kafani dikaca pintu lemari, lalu beranjak dari ujung kasur yang aku duduki, mengalihkan rasa aneh yang tak pernah hilang saat Kafani menatapku. Tujuanku kamar mandi, bersiap untuk sholat maghrib.

"Aku berangkat Tha, assalamualaikum," pamitnya saat aku hendak memasuki pintu kamar mandi. Lagi-lagi aku hanya mengangguk tanpa menoleh sambil menjawab salamnya.

Heuft, ini hari keduaku menjadi seorang istri, tidak pernah terbayangkan sebelumnya akan seperti ini rasanya. Apakah jantung ini akan terus seperti ini sampai waktu berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun?

Aku benar-benar tidak habis pikir, mungkin aku harus memeriksakan jantungku yang tidak normal saat bertatap dengan manik Kafani yang meneduhkan, damai. Sampai kapan ini akan berakhir?

Usai dari kamar mandi, sholat dan membuka lembaran mushaf sambil menunggu isya. Aku tahu Kafani dan ayah akan berada di masjid sampai waktu sholat isya.

Tak lama, adzan isya berkumandang, kusegerakan untuk menghadap rabbku, setelahnya aku bersiap-siap sesuai yang Kafani katakan, kita akan makan malam bersama papa, ayah mertuaku. Namun sebelumnya aku sempat menemui bik Inah untuk tidak membuat makan malam terlalu banyak, memberitahukan kepergianku, dan seperti biasa, bik inah akan menggodaku.

Kafani datang, aku sudah menyiapkan kebutuhannya, jadilah aku keluar. Menunggunya diruang tamu itu lebih baik untuk kesehatan jantungku.

"Mau kemana Tha?" Tanya ayah saat aku duduk disampingnya. Kujawab sesuai yang Kafani bilang.

"Apakah kalian akan menginap?" Oh, astaga, aku belum menanyakan hal itu, Kafani tidak mengatakan apapun. Kujawab dengan gelengan tidak tahu, kukatakan bahwa Kafani tidak bilang akan menginap. Ayah mengangguk paham.

Aku teringat sesuatu. Sebelum Kafani turun kutanyakan pada ayah perihal Kafani, bagaimana ayah bisa menerima khitbah dari ayah Kafani, sedang Kafani adalah laki-laki yang ayah tampar empat tahun yang lalu. Apa karena ayahnya adalah teman ayah? Atau ayah tidak tahu bahwa anak dari temannya itu adalah Kafani?.

Ayah menggeleng, tersenyum.

"Ayah sudah tahu siapa yang menghitbahmu, bahkan khitbahan itu sebenarnya sudah dua tahun yang lalu saat kita berkabung atas kematian bunda. Awalnya, ayah memang kaget saat Om Wira berniat menghitbahmu dan membawa putranya, ayah kaget karena dia laki-laki yang ayah tampar karena tidak bertanggung jawab sebagai laki-laki.

"Buat ayah, dia laki-laki tidak bertanggung jawab karena hanya bisa memacari putri ayah, tidak berani datang kehadapan ayah dan memintamu. Tapi, sejak pertemuan itu presepsi ayah tentang dia berubah, apalagi om wira pernah menceritakannya, tentang kenakalannya dan perubahannya. Lambat laun ayah mulai menerimanya, ditambah permintaan maafnya dan alasannya memintamu, ada rasa iba sekaligus kagum pada dirinya."

"Apakah ayah menerimanya karena iba?" selaku memotong kalimat panjang ayah.

"Saat itu, ayah tidak langsung menerimanya, dan juga tidak menolaknya. Ayah bilang waktunya tidak tepat. Kamu sedang bersedih karena kepergian bunda, apalagi kamu belum lulus kuliah, ditambah ayah tahu bagaimana kesedihanmu dan uring-uringan saat kepergiannya. Ayah tahu kamu sangat mencintainya-."

Ustadz Pribadi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang