_33_
_Ustadz Pribadi_
"pepatah itu bilang. Gak perlu khawatir soal jodoh, jodoh itu nggak kemana-mana. Jadi, gak perlu lah diiket sama yang namanya pacaran, diiket pun kalo nggak jodoh pasti ngilang, yang pada akhirnya ngiket jodoh orang. Selain sia-sia, dosa bertebaran"
Adnil_
Usai menyalami ayah juga papanya, dia mengajakku bertemu tantenya namun sebelumnya ayah menyuruhku menemui Nyai, pengasuh pondok tentunya bersama Kiyai yang ternyata ada ustadzah Kalila menemani Nyai, juga ada Naila disitu.
"Katanya Ustadzah nggak bisa dateng?" Tanyaku setelah menyalami keduanya dan menyapa Nyai sekadarnya, kecanggungan mendominasi. Aku tidak biasa berbicara dengan orang terhormat seperti beliau, kalau ustadzah mungkin sudah biasa. Kulihat Kafani sedang berbincang-bincang kecil dengan Kiyai.
Ustadzah tersenyum, didekatnya ada Naila yang menatapku dengan senyum anehnya. "Saya memang nggak bisa dateng Tha, soalnya keponakan saya juga mau nikah dadakan. Tapi, qodarullah ternyata--" suaranya terpotong karena tiba-tiba Kafani menghampiri kami.
"Assalamulaikum Tante, Nyai!" Sapa Kafani mangkupkan tangan pada Nyai dan tersenyum, lalu mencium tangan ustadzah yang membuatku kaget tak mengerti. Keduanya menjawab salam bersamaan. Sedang tatapan Naila tak mau berhenti menggodaku. Aku mengerti maksudnya, dia orang yang paling tahu kekesalanku pada ustadz Fadly yang pada akhirnya menjadi imamku.
Kiyai mengajak istrinya pamit terlebih dahulu karena masih mau menghadiri acara lain, begitupun Naila juga akan ikut dengan Kiyai karena tugasnya mengiringi Nyai. Sebelum pergi Naila minta izin untuk pamit kepadaku lalu menghampiriku, memelukku lalu berbisik, "Apa aku bilang, benci jadi nikah kan? haha, aku gak nyangka, kenapa bisa. Kamu hutang cerita sama aku." Tawanya samar dan melepas pelukannya.
"Jangan lupa main kepondok, eh tapi bentar lagi aku berhenti. Yaudah deh see you next time." Naila beranjak pergi tapi urung saat aku masih mencegat tangannya, Nyai sudah terlebih dahulu pergi. Aku teringat sesuatu menyangkut Naila.
"Kamu tahu kak Ano?" suaraku samar yang membuat netranya membelalak, dan gugup. Aku tetap menatapanya meminta jawaban, lalu dia mengangguk pelan bersamaan dengan kaitan tangannya yang dilepas lalu berlalu. Kegugupannya kentara.
"A.. Aku sudah ditunggu Nyai, assalamualaikum," ucapnya gugup dan cepat pergi dengan senyum yang dipaksakan. Tinggallah kami bertiga. Hening beberapa detik yang membuat posisiku tak nyaman.
"Kemana om Tan?" Kafani membuka keheningan. Apa katanya? Tan? Maksudnya?
"Lagi sama Mas Thorik di depan."
"Oh, ada Ibra juga berarti donk. Tapi kok gak kelihatan ya?" wanita bergamis maroon ini menggeleng.
Issh.. apa maksudnya? Thorik? Ibra? Bukankah nama-nama itu tidak asing bagiku?
Oh, astaghfirullah. Ibra kan sepupunya Kafani dan Thorik bukankah ayah dari Ibra saat pembicaraan di kantor polisi minggu lalu? Oh ya Allah, tapi kenapa Ustadzah bilang mas? Terus sebutan tante?
Ah, kenapa aku gak kepikiran? Ibra sepupu Kafani dan Om Thorik adalah ayahnya? Yang berarti adalah om dari Kafani?
Maasyaa Allah aku bingung dibuatnya.
"Maaf ustadzah, maksudnya Tan, itu tante?" tatapanku bingung.
"Oh ya Allah, tadi saya mau jelasin ini ya, kenapa gak bisa hadir pernikahanmu?" aku mengangguk kecil. "jadi itu karena ponakanku ini," netranya mengarah pada pria disampingku yang entah seperti patung menatapku dan ustadzah bergantian, "nikah dadakan dan waktunya sama persis dengan undanganmu. Tapi qodarullah, dua aundangan itu ternyata satu acara." Ustadzah menggeleng tak menyangka.
"Kamu inget nggak? Dulu saya pernah mau jodohin kamu sama keponakan saya. Ya, ponakan saya yang lagi disampingmu itu, Tapi kamu bilang udah ada yang nghithbah. Jadi, dia pria yang nghitbah kamu?" netra ustadzah fokus pada pria berjas putih disampingku, "pria yang nggak kamu ketahui siapa bahkan sampai H-5 pernikahan?" tanyanya beruntun memastika. Aku mengangguk membenarkan. Saat kulirik Kafani membulatkan mata, masih mencerna kata-kata yang dipanggil tante olehnya.
" Rencana Allah nggak ada yang tahu ya? Nama kalian sudah tertulis di lauhul mahfudz, makanya meski saya gagal menyatukan kalian pasti ada saja jalan Allah yang lain, ternyata kalian sudah terikat sebelum saya berusaha mengikat."
"Makanya, sering pepatah itu bilang. Gak perlu khawatir soal jodoh, jodoh itu nggak kemana-mana. Jadi, gak perlu lah diiket sama yang namanya pacaran, diiket pun kalo nggak jodoh pasti ngilang, yang pada akhirnya ngiket jodoh orang. Selain sia-sia, dosa bertebaran." Aku mengangguk membenarkan sedang Kafani masih setia dengan tautan alisnya, menatapku dan ustadzah bergantian.
Benar, pacaran itu sia-sia, membuang waktumu sia-sia, membuang tenagamu sia-sia. Mengapa sia-sia? Ya, setiap bertemu atau jalan bareng itu butuh tenaga, waktu juga dikorbankan hanya untuk memenuhi hasrat yang berbuah dosa, jika berbuah pahala mungkin tak akan dikatakan sia-sia. Dan aku menyesal pernah melakukannya. Memang yang namanya penyesalan tidak ada diawal kan? Jika ada diawal tidak akan ada yang mendapat pelajaran dari sebuah tindakan
## #
Senja telah berlalu, semburat merah jingga sudah menghilang beberapa menit yang lalu, gema dzikir dari masjid diujung kompleks sudah hampir usai. Dua jam yang lalu, acar walimah telah berakhir. Aku sendiri dikamar yang sudah dihias khusus pengantin. Aku geleng-geleng tak percaya. Bagiku ini berlebihan. Rasa gugup yang sedari tadi terpatri akhirnya terjeda, karena Kafani memutuskan untuk solat di masjid bersama ayah.
Usai solat isya, aku merapikan mukena yang kupakai. Lelah yang merembet kini berkurang, tidakkah solat itu ajaib? Kalau kamu tahu betapa nikmatnya solat itu akan menghilangkan beban-beban pundakmu, membuat pikiranmu tenang, lelahmu berkurang bahkan bisa hilang.
Terakhir aku memutuskan kedapur untuk menyiapkan makan malam. Aku tak mau bunda Niin menyipkan makan malam sendiri, lagi pula aku juga harus berbakti bukan? Aku bukan lagi anak gadis yang baktinya pada orang tua, baktiku sudah berpindah pada suami.
Aish, kenapa ku merasa geli sendiri dengan ungkapan suami? Rasanya baru kemarin aku bermain ayunan ditaman belakang, baru kemarin aku bermain kejar-kejaran bersama ayah di ruang tamu dan bunda hanya tertawa memperhatikan.
Tess..
Ah, mengingat bunda, air mataku tak dapat kubendung. Bersamaan dengan menuruni tangga, air mataku juga turun dari ujung mataku melewati por-pori pipiku.
"Hey.. hey.. kenapa menangis?" bunda langsung menyadari pipi basahku saat kakiku memasuki dapur. Aku hanya tersenyum membalasnya dan mengusap sisa-sisa air mata yang mencoba kuhentikan.
"Mau masak apa bund? Apa yang perlu Agatha bantu?" alihku agar air mata ini tak menerus merembes kepermukaan.
"Pengantin baru duduk aja disitu, duduk yang manis, nanti lecet, kasian suaminya nanti khawatir lagi hehe." Bunda Nin tertawa sendiri sama godaannya yang juga mengundang bik Inah terkekeh geli. Ya, bunda Niin tidak sendiri, ada bik Inah yang juga membantu.
"Aduuhh.. bibi jadi inget masa muda bibik deh Nya, lihat deh pipi non Agatha merah begitu," lagi-lagi keduanya terkekeh menggodaku menatapku bersamaan. Aku yang sedari tadi berdiri akhirnya memutuskan menyiapkan piring dan minum, daripada menjadi bahan godaan.
"Kita berdua masak opor ayam sama tumis brokoli, kira-kira suami kamu mau?" sontak pertanyaan bunda membuatku gelagapan.
"Su.. suami?" pasalnya kata suami itu masih asing ditelingaku. Bunda Niin menautkan kedua alisnya sambil membawa masakan yang sudah siap keatas meja.
"Jangan bilang kamu lupa kalo punya suami!" suara baritone membuatku mematung.
jazakumullahi khair....
jangan lupa tinggalkan jejak dengan tekan tanda bintang dan komennya ya..
btw jangan lupa untuk scrool lagi kebawah, aku update dua part.
baikk kann?
siapa nih yang keinginannya terkabul?
sekali update dua part? cung
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustadz Pribadi (End)
Teen FictionNo plagiasi.. allah maha tahu. Allah cemburu jika hambaNya mencintai selainNya melebihi cintanya kepada al-wadud yang maha memberikan cinta itu sendiri. Sepahamku diajari ustadz pribadiku. Agatha Syakila Rank 1# mylife_ 14 juni 2019