Extra Part

12.4K 594 34
                                    

Tidak ada yang paling membahagiakan selain diberinya kesempatan, menjadi pencetak mujahid penerus Rasul Allah, memperjuangkan Agama Allah.

Adnil_

Extra Part

Bismillahh..
Nunggu ini kan yak?

Siapa saja yang nunggu nih? Cung✋

"Pa, ka.. em m..mas Kaf.. e Kemana?" Tanyaku pada papa yang sedang bersantai di sofa ruang tamu.

Duhh.. segugup itu kalau nggak biasa. Padahal dua bulan sudah berlalu sejak pembahasan tentang aku mau manggil apa, tapi tetap saja rasanya masih gugup. Hampir saja aku keceplosan menanyakan Kafani pada papa mertua tanpa embel mas, yang kemungkinannya akan menimbulkan tanda tanya.

     Papa tersenyum menatapku yang sedang kikuk sendiri, semakinlah aku tidak enak hati.

    "Sini, tunggu Kafani di sini," ujar papa sambil menepuk sofa panjang yang ia duduki. "Kafani masih keluar beli bubur ayam, katanya kamu nggak enak badan?" Nada suara papa setelah pernyataan seolah pertanyaan.

    Aku mengangguk kecil sambil berjalan menghampiri papa. Ya, aku sedang berada di rumah papa karena ayah keluar kota selama 3 hari dan aku sudah di sini sejak lusa kemarin, Kafani yang mengajak untuk menginap di sini, mumpung ayah keluar kota, katanya.

    Aku duduk di dekat papa, di sofa panjang dengan jarak yang mungkin masih bisa diduduki untuk dua orang. Papa melihatku sekilas, lalu kembali fokus dengan tablet di tangannya.

    "Agatha bosen ya di rumah papa?" Pertanyaannya tiba-tiba dengan pandangan yang masih fokus pada layar didepannya.

    "E.. ti.. tidak kok pa." lagi, aku gugup karena pertanyaan papa yang tiba-tiba. Sungguh aku nyaman berada dimanapun dan akan betah asal bersama Kafani. Lebay.

    Sebegitu kuatnya rasa yang Allah fitrahkan kepada hambanya, hingga semuanya terasa indah. Ya, apapun yang terikat dengan halal akan indah dan mendamaikan.

     "Kirain nggak betah. Soalnya dulu mama Kafani juga begitu, sakit pas papa ajak nginep di rumah orang tua papa. Katanya, mungkin karena nggak biasa." Aku ber_oh ria saat bercerita masa lalunya, lebih tepatnya hanya mengaitkan dengan apa yang terjadi padaku.

      Segera kepalaku bekerja untuk menanyakan sesuatu yang belum pernah Kafani ceritakan. Mumpung Kafani tidak di sini. Mungkin tentang bagaimana Kafani kecil? Ihihi..

    "Nggak kok pa, Agatha betah banget kok di sini, nggak ada yang nggak bikin nyaman kok. Em.. tapi Agatha boleh tanya sesuatu?"

    Papa mengernyit, mengalihkan tatapannya kepadaku lalu tersenyum penuh sayang.

     "Boleh donk, apa yang mau kamu tanya? Perihal Kafani?" Aku mengangguk. Papa meletakkan benda persegi empat itu di meja dan memfokuskan tatapannya padaku. Aku semakin kikuk ditatap begitu.

     "Tentang almarhumah mama?" Nadaku ragu, tapi senyum papa mencairkan keraguanku.

     "Kenapa Dengan mama Kafani?"

     "Pengen tahu pah, Kafani nggak pernah cerita soalnya." Papa mengangguk kecil.

     "Mama Kafani itu kebalikannya papa, ya gimana Kafani. Cuek, tapi penyayang. Kalo udah sayang, sayangnya nggak terbilang. Makanya papa nggak mau nikah lagi hanya karena nggak ada yang menemani di masa-masa terakhir papa, meski pada awalnya Kafani nggak mau menemani papa, nggak mau ketemu papa. Papa tetep mau sendiri, karena mama Kafani begitu bererti bagi papa, perempuan hebat setelah ibu, perempuan yang nggak bisa mengalihkan ke perempuan mana pun. Dia tetap terbaik.

Ustadz Pribadi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang