_36_
_Ustadz Pribadi_
Ayah sedang berhadapan dengan seseorang saat kami memasuki rumah dan mengucap salam.
"Waalaikumussalam" jawab ayah, sesorang disebrangnya menoleh.
"A.. Andre?" raguku. Sedang yang merasa disebut namanya membulat lalu kembali menghadap ayah.
Ayah mempersilahkan kami duduk jika tidak lelah. Tentu saja kami lelah pulang selarut ini, tapi Kafani dibuat bingung dengan tingkahku yang tiba-tiba diam tak bergerak dari tempat berdiri, ditambah ekspresi ayah yang terlihat khawatir.
Kafani menarik lenganku untuk duduk, "tidak baik jika mengabaikan tamu", bisiknya. Aku mengangguk menurutinya. Kafani menyalami Andre, bertukar senyum dan nama, tapi raut Andre tidak bersahabat saat bersalaman.
Lima menit masih sunyi, membuat membuat malam terasa semakin sunyi, Kafani bingung sendiri apa yang terjadi. Aku dan Kafani memilih duduk dikursi panjang.
Andre berdeham dan memperbaiki posisi duduknya lalu tatapannya mengarah padaku dan Kafani. "Selamat atas pernikahan kak Agatha dan mas Kafani. Maaf aku tidak hadir."
Ayah dan aku menatapnya dengan Tanya kenapa?sedang Kafani menatap kebingungan. Aku paham dia tidak mengerti tentang laki-laki yang mengucapkan selamat ini, pasti ada tanda tanya siapa.
"Aku datang hanya untuk mengucapkan maaf juga terimakasih, terimakasih buat kak Agatha sudah menghidupkan rasa seambisius ini, membuatku buta dan tidak bisa menerima, membuatku tetap bersikukuh kamulah khadijahku." Jeda.
Kafani mengeraskan rahangnya, jemarinya menyusuri jemariku, menggenggamnya erat, tatapannya penuh intimidasi.
"Terimakasih juga untuk papa, terimakasih sudah memberitahuku aku punya kakak perempuan tapi tidak mengenalkannya padaku, membuatku terjerembab pada perasaan salah, mencintai kakakku sendiri." Lanjutnya membuang nafas kasar, melongos, seolah sesak didadanya benar-benar tertahan.
Tatapannya beralih pada sosok disampingku yang terlihat kaget, sebelah ujung bibirnya terangkat. "Buat mas Kafani, tak perlu menatapku seperti itu, aku tak akan merebut kak Agatha. Dosa." Menyeringai santai.
"Pa, siapa lagi yang belum aku ketahui? Jangan-jangan aku juga punya adik?" senyumnya miring menatap ayah.
"Beri tahu aku, agar aku juga tidak terlanjur mencintainya. Hhh.. aku lupa, aku tidak perlu tahu apapun tentang papa, tidak perlu. Itu tidak penting bagiku, iyya kan?"
Lagi-lagi napasnya dihembuskan kasar dan tergelak dibuat-buat. "Aku lupa, kalau aku anak yang tak dianggap. Aku lupa kalau hanya Eang yang menginginkan aku," nadanya naik seoktaf, matanya terpejam seolah menahan perih.
Sedetik kemudian ia berdiri dan berbalik, "Andre pamit."
"Andre," seru ayah tegas. sedang yang dipanggilnya abai, terus melangkah keambang pintu.
"Andre, berhenti!." Suara tegas ayah meninggi. Aku tak pernah mendengar suara tegas ayah yang begitu kuat.
Tepat dipintu, ia berhenti. Tak terasa airmataku menetes. Ayah berdiri dan menghampiri Andre pun dengan diriku yang disusul Kafani.
Kafani menggenggam erat tanganku, menyalurkan kekuatan seolah aku lemah.
Tidak, aku tidak lemah. Hanya saja aku merasakan apa yang Andre rasakan, terlebih sebelumnya Andre memang pernah cerita tentang kehidupannya, papanya yang terpisah dengan mamanya karena pernikahan terpaksa dan tanpa cinta, hingga ia memilih hidup sendiri dengan fasilitas terpenuhi.
Kulihat ayah begitu frustasi menjelaskan pada anak didepannya. Tapi, beberapa menit kemudian mulai tenang, Andre akhirnya mau menginap setelah paksaan dari ayah.
Melihat jam bundar yang terpampang di dinding atas pintu sudah menunjukkan angka satu, aku pamit pada ayah untuk istirahat. Sedang ayah dan anak itu memilih kembali duduk dikursi ruang tamu.
Usai berwudhu, seperti biasa, semoga bacaan surah Al-Mulk menentramkan hatiku, lalu kubaringkan tubuh lelahku. Tak lama, Kafani menyusul.
"Tha," sapanya lembut.
Aku membuang napas kasar. "Aku akan cerita, tapi tidak sekarang. Aku benar-benar lelah Kaf," jawabku dengan mata yang tetap terpejam.
Aku lelah, bukan fisikku yang lelah, tapi hati juga pikiranku. Seharusnya aku tidak mengeluh, aku akan minta maaf besok, tidak sekarang. Emosiku sedang tidak baik.
# # #
Pagi-pagi bik Inah sudah berkutat dengan teman setianya, kompor, wajan, dan kawan-kawannya.
"Non Agatha mau masak apa?" tanyanya saat aku membuka lemari es dan mengambil beberapa macam sayur.
Kujawab akan membuat sayur asam, tanpa memberi tahunya itu adalah makanan kesukaan Kafani. Ya, sayur asam, sesimple itu, dan itu memudahkanku.
Kulanjutkan potongan sayur dan bik Inah melanjutkan masakannya, aku memintanya memasak lebih banyak karena Andre menginap.
Pagi itu, dimeja makan berukuran 2x3 meter tertata menu makanan pagi hasil kolaborasi antara aku dan bik Inah. Masakanku memang tidak sebaik masakan bik Inah, tapi aku bisa, bik Inah yang mengajariku semenjak kepergian bunda.
Tidak ada suara saat sarapan berlangsung, hanya dentingan sendok yang beradu dengan piring. Andre ikut sarapan, duduk berhadapan dengan Kafani disampingku. Sepertinya hatinya sudah membaik. Raut wajah ayah sepertinya lumayan tenang seperti biasanya.
Usai sarapan Kafani mengajakku jalan-jalan sebentar. Ia sangat mengerti aku butuh hiburan.
"Kamu ingat jalan ini?" Tanya Kafani tiba-tiba saat kami sudah 15 menit yang lalu meninggalkan rumah.
Kuedarkan mataku untuk melihat sekeliling jalan, sepi. Ini bukan jalan umum seperti biasanya. Sontak aku menggeleng.
"Emang kita mau kemana?" tidak ada jawaban, ia hanya fokus mengemudi di jalanan sempit komplek.
Tak lama, mobil yang Kafani bawa memasuki halaman rumah sederhana dikelilingi bongsai berbentuk pagar.
Setelah turun, aku tak berhenti menatapi rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas, banyak tanaman bunga disekitarnya.
Menggeleng pelan, rumah ini? Aku pernah melihatnya.
"Kamu lupa? Ini rumah nek Rahma," mataku melebar, benar, aku lupa. Aku mengangguk dan tersenyum.
Kutanyakan perihal, apakah nek Rahma datang saat pernikahan? Kafani menggelang, dia bilang saat datang kesini untuk mengundang, nek Rahma sedang tidak ada.
Semoga saja hari ini ada, harapku saat salam Kafani tak kunjung mendapat jawaban.
Kutelusuri setiap jengkal rumah ini, tidak ada yang berubah, tetap ada meja bundar diteras depan dan kursi taman dibawah pohon rindang tepat diujung batas depan rumah Nek Rahma, bunga-bunga masih tetap membuat mata yang melihat terpesona, nenek sangat pandai merawatnya.
Tepat disalam ketiga pintu terbuka, tentu disambut wajah kaget nenek berusia. Ia menatap Kafani lekat dari ujung rambutnya yang disisir kekiri tapi tak membuat rambut itu tertidur karena tidak terlalu panjang.
Beralih pada wajah berserinya, rahangnya yang tegas dan tertarik membuat lekungan bulan sabit dibibirnya.
Netra nek Rahma tak berhenti menelusuri, kemeja kotak-kotak yang sengaja dibuka dan lengan panjang yang sengaja dilipat sampai siku, menambah aksen keren pada dirinya.
Dub. Ah, kenapa aku juga ikut memperhatikan?
"Kafani?" suara seraknya girang. Kafani tersenyum penuh.
"Assalamualaikum nek."
Terlihat jelas ia ingin memeluk wanita berusia lebih dari setengah abad ini saking merindukannya. Tapi, tidak ia lakukan. ia paham batasnnya, nek Rahma bukan nenek kandungnya.
Mau lanjut?
Komen yang banyak ya...😉😉
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustadz Pribadi (End)
Teen FictionNo plagiasi.. allah maha tahu. Allah cemburu jika hambaNya mencintai selainNya melebihi cintanya kepada al-wadud yang maha memberikan cinta itu sendiri. Sepahamku diajari ustadz pribadiku. Agatha Syakila Rank 1# mylife_ 14 juni 2019