Kafani (2)

5.7K 490 13
                                    

     Gemersik angin malam menjelajah ruang asing bagiku, tapi tidak bagi Kafani. Ini kamar Kafani.

     Malam ini Kafani benar-benar solat  maghrib dan isya' bersamaku, mengimami solatku. Ini bukan hal biasa, sejauh yang kutahu semenjak menikah ia tak pernah absen solat di masjid.

Untuk hari ini pengecualian.

     Tidak ada tanda-tanda papa sudah pulang, yang ada Kafani yang diam, membuatku tak enak hati.

     Aku tidak tahu apa yang dia simpan, yang jelas aku ingin menyalurkan rasa yang ia rasa.

     Ia berdiri didepan dipan setinggi dirinya yang terletak dipojok kamar bersebelahan dengan lemari persegi yang telah usang tak terpakai.

     Aku tahu ia melihat dirinya sendiri tapi tatapannya kosong, seolah ia melihat apa pun di kepalanya.

     Usai membereskan perlengkapan solat aku ingin membantu bik Nani masak untuk makan malam, tapi urung melihat Kafani seperti itu. Sepertinya dia butuh untuk meluapkan isinya.

    Kuhampiri dirinya tepat di belakangnya, aku ingin memeluknya namun ragu, ada debaran yang tak mampu aku kontrol.

    Tapi, entah keberanian dari mana tiba-tiba tanganku sudah menyusuri pinggangnya, berharap ia menyalurkan rasanya padaku.

     Kurasakan tubuhnya terkesiap, seolah baru menyadari keberadaanku. Tapi pada akhirnya ia tidak bergerak, seolah pasrah.

     "Aku siap menjadi pendengar setiap keluhmu," bisikku pelan, menyandarkan kepalaku dipunggung bidangnya, hangat.

     Aku tidak tahu beban apa yang dia pendam, pasalnya selama aku kenal menjadi sahabat sampai pacar, ia tak pernah mngeluhkan tentang hidupnya, tak pernah menceritakan perihal senang atau bahagianya. Yang aku tahu dia selalu terlihat baik-baik saja.

     "Aku cuma butuh kamu," ucapnya setelah berbalik dan memelukku erat, lebih erat dari yang aku lakukan tadi.

    Semenit, dua menit, tidak ada tanda-tanda ia akan melepas pelukannya, namun tiba-tiba pintu terdengar diketuk, dengan terpaksa ia melerai pelukannya dan aku melihat senyumannya yang sejak tadi murung.

     Saat kubuka pintu ternyata bik Nani, ia bilang papa sudah menunggu untuk makan malam.

    Aku dan Kafani segera turun. Sampai di ruang makan kami menyalami papa yang sedang tersenyum girang.

     "Kalian gak bilang mau kerumah papa, kalau bilang papa akan pulang lebih cepat," katanya sambil menyuapi sesendok nasi pada mulutnya.

     Setelahnya perbincangan ringan antara ayah dan anak yang mengisi makan malam kami selain dentingan sendok. Kemudian pertanyaan ayah membuat kami tersedak bersamaan.

    "Gimana permintaan papa? Sudah proses kan?"

"Uhukk.."

"Uhukk.."

     "Kalian ini jodoh tulen ya, sampai batuk aja barengan," ucap ayah sambil geleng-geleng. Sedang kami sibuk saling tatap-tatapan setelah minum. Gugup.

     "E..i.. iyya pa, lagi proses."

   Kafani tak perlu pura-pura tidak mengerti apa permintaan papa, kami sudah mengerti, makanya sampai tersedak.

     Permintaan papa satu, cucu untuk meramaikan rumahnya.

# # #

    Malam semakin larut setelah Kafani memutuskan untuk memasuki kamar setelah berbincang banyak hal dengan papa.

Ustadz Pribadi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang