Semua Rasa (2)

6.4K 544 33
                                    

"jangan bilang kamu lupa kalo punya suami!" suara baritone membuatku mematung, tidak bisa melihat sumber suara yang membuat kecanggunganku kembali. bunda Niin menyeringai lalu mengambil posisi duduk. Aku bisa mendengar ada beberapa ketipak langkah yang masuk.

"Kenapa kamu masih mematung Tha?" duh ayah, gak bisa ya kalau bantu putrinya lepas dari ujian ini? Apakah setiap pengantin baru pasti mendapat ujian seperti ini?

"Sabar, Non, pengantin baru pasti begitu," ucap bik Inah setelah selesai meletakkan nasi, seolah mengerti yang aku rasa.

"Tau yah, kayaknya istri saya lupa kalau tadi pagi sudah diakadkan." Istri? Ish, dasar Kafani menyebalkan. Sepertinya dia sekongkol buat bikin pipi ini merah bak tomat.

Ada derap langkah yang mendekat. Kumohon jangn mendekat, aku gak mau pipi panasku ketahuan. Nyatanya deruan hatiku tak didengar, ada dua tangan menyentuh bahuku lalu memutarku, mempersilahkan aku duduk di kursi yang sudah digesernya. Yang kulakukan hanya bisa tertunduk pasrah sambil menggigit bibir bawah, berharap ada kekuatan.

Akhirnya aku duduk disebelah bunda Niin. Setidaknya dengannya bisa mengurangi kegugupanku walau pada nyatanya bunda Nin tak pernah berhenti menggodaku juga.

"Jangan biarkan suamimu mengambil nasi sediri," bisik bunda Niin tepat di daun telingaku saat kulihat Kafani hendak mengambil piringnya. Seketika aku merampasnya, mengikuti gerakan seperti yang bunda Niin lakukan untuk suaminya.

Aku gugup. Bukankah aku sudah biasa mengambilkan ayah nasi dan lauknya? Aku kebingungan, pasalnya aku gak tahu apa yang Kafani mau, jadi kuambil sembarang sesuai seleraku. Aku jadi tak enak sendiri, bukan ayah lagi yang aku perhatiin.

"Ano kemana, Mas?" Tanya bunda Niin pada om Hisyam saat memberikan nasinya, menyadari ada yang kurang di meja makan.

"Tadi aku lihat masih gobrol sama warga," yang dibalas anggukan oleh bunda.

Setelah makan kami berkumpul diruang tamu dengan televisi menyala namun sibuk dengan obrolan masing-masing. Para lelaki sibuk membicarakan bisnis, sedang aku dan bunda masih bahasan tentang perempuan. Tak lama, pintu diketuk.

"Assalamuaaikum," ucap seseorang bersamaan dengan pintu dibuka, menampilkan sosok laki-laki berbadan kekar dengan baju koko biru muda dan peci hitamnya yang msih setia tertempel.

"Waalaikumussalam," jawab kami bersamaan mengalihkan kefokusan masing-masing.

"Kok telat pulangnya?" bunda Niin mengintrogasi putra satu-satunya itu. Sedang yang ditanya garuk-garuk tengkuknya tak gatal.

"E.. anu bund, tadi masih ketemu warga hehe," cengirnya, hendak berlalu namun bunda mencegatnya, lebih tepatnya menyindirnya.

"Ketemu warga apa ngehindarin bunda? Takut disuruh nikah?" Skakmat.

Benar-benar lucu ekspresi kak Ano membuat semua yang diruang tamu tertawa termasuk aku. Ah, bunda memang selalu bisa bikin orang gelagapan tak karuan.

"Ketawa kamu Tha!" tatapan kak Ano tepat digaris mataku membuatku berhenti tertawa bak patung. tatapan waspada level atas kalau sudah begini.

"Mentang-mentang udah punya misua ya, kakak diejek gini. Gak lupa kan selama jomblo kakak yang nemenin? hahaha," tanyanya diiringi cengiran yang berhasil membuatku diam tanpa ekspresi.

Dasar kakak nyebelin, paling bisa nipu. Itulah dia, selalu bias menghindar agar bias menetralisir todongan bunda buat nikah.

"Bukannya karena kamu juga jomblo?" Huwa, rasanya ingin tertawa puas untuk membenarkan ucapan om Hisyam.

"Papah ish, bukan bantu anaknya malah diceburin. Iya iyya deh Ano kalah. Ano laper mau kedapur." Berlalulah pria dingin sok cool kalau diluar tapi paling menyebalkan kalau sudah diantara keluarganya.

Ustadz Pribadi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang