_12_
_Ustadz Pribadi_
Pagi itu, semesta masih sama. Syukur yang tiada batasnya. Segurat sinar mentari terurai dari ufuk timur. Semerbak angin pagi menyegarkan rongga hidung.
Sentuhan dibahu memecah kehangatan pagi yang menjadi saksi bahwa aku sedang menikmati.
"Katanya mau bantu bik Inah masak? tuh bik Inah sudah berperang sama alat-alat dapur."
Senyum ayah tak pernah pudar. Ada segurat rasa bangga yang terpancar. Aku mengangguk dan berlalu meninggalkan ayah.
Ah hari libur yang selalu aku tunggu. Kenapa? Karena ayah tak akan diganggu sama kertas-kertas yang menjadi pacarnya sehari-hari. Kadang aku cemburu, meski ayah telah berusaha pulang sore dan tak lagi pulang malam seperti masih ada bunda, tetap saja, dirumah ayah masih berkutat dengan kertas-kertas dan elektronik yang tidak tahu diri itu, bagiku.
"Masak apa hari ini bik?" tanyaku membuat bik Inah yang sedang memotong wortel terperanjat kaget.
"Astaghfirullah, Non ngagetin aja." Kubalas dengan cengiran tak merasa berdosa. "Mau masak sup ayam non"
"Agatha yang potong sayurnya bik, bibik fokus sama ayamnya saja."
Ah, motongin wortel, kacang buncis, gubis. Tidak begitu sulit ternyata. tapi mengapa dulu aku tak pernah membantu hal kecil seperti ini?
"Temennya non Agatha belum bangun?"
"Sudah bik tapi perutnya masih kram, lagi datang matahari eh bulan maksudnya." bibik terkekeh dengan candaan garingku.
Dentingan sendok beradu memecah keheningan. Diruang makan tampak Rara yang kurang nafsu makan lantaran masalah diperutnya, sedang ayah begitu menikmati dengan sesekali melihatku yang tampak bahagia karena bisa sarapan bersama ayah yang jarang sekali kita bertemu dimeja makan pagi-pagi, dan bik Inah tampak canggung karena tak biasa makan bersama majikannya.
"Yah," sapaku. ayah menatapku menautkan kedua alisnya sambil mengelap bibir basahnya dengan tissu, bertanda makanan sudah tandas.
"Tha, aku ke kamar dulu ya?" Rara meringis. Aku mengiyyakan. "Mari om," pamit Rara pada Ayah. Bik Inah sudah berlalu sejak tadi.
"Ada apa Tha hmm?" suara lembut ayah layaknya berbicara pada anak kecil. Padahal aku bukan lagi putri kecilnya yang selalu dimanja dan ingin diperhatikan. Walau pada nyatanya tetap manja.
"Agatha boleh balik lagi kepondok?"
"Hmm?" pupil ayah melebar, nampak kaget dengan pertanyaanku. Ayah tercengang seolah meminta penjelasan lebih lanjut.
"Agatha pengen belajar agama lagi yah, masih banyak yang belum Agatha ketahui."
"Agatha yakin?" aku mengangguk penuh keyakinan. "Bagaimana dengan kuliahnya?"
"Mondoknya setelah kuliah yah. Insyaallah dua tahun lagi Agatha bakal tuntasin."
"Bagaimana dengan ayah?" Sontak aku beku dengan pertanyaan ayah yang tidak sepenuhnya aku pahami.
"Bagaimana dengan ayah yang akan kau tinggal sendirian jika kamu mondok," lanjutnya setelah ia memahami kebingunganku. Anak macam apa aku ini yang tak memikirkan ayahnya, hanya memikirkan diri sendiri. Egois.
"Agatha tak perlu mondok ya? ayah akan kesepian."
Pupus sudah. Harapan hanya tinggal harapan. Keinginan yang aku simpan sejak ayah menjemputku untuk pulang dari pesantren hanya tinggallah keinginan. Tidak akan ada pencapaian dari sebuah keinginan ketika ridho orang tua tak menyertai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ustadz Pribadi (End)
Teen FictionNo plagiasi.. allah maha tahu. Allah cemburu jika hambaNya mencintai selainNya melebihi cintanya kepada al-wadud yang maha memberikan cinta itu sendiri. Sepahamku diajari ustadz pribadiku. Agatha Syakila Rank 1# mylife_ 14 juni 2019