Aurora
Sekiranya Tuhan memberi manusia mulut untuk berbicara, mata untuk melihat dan telinga untuk mendengar. Bukan, mulut untuk mendengar, mata untuk berbicara atau telinga untuk melihat.*****
Pergi.
Hanya ada satu kata itu yang memenuhi otak Hinata. Kalau perlu pergi sejauh mungkin dan tidak usah bertemu dengan Sasuke seumur hidupnya lagi. Hinata malu. Lebih dari malu setengah mati. Rasanya saat Hinata berjalan di rumah sakit atau jalanan desa mata mereka seolah berkata 'aku lihat semua yang kalian lakukan'. Hinata risih. Namun, dia tahu semua itu hanya perasaannya saja. Mereka hanya orang asing yang tidak akan tahu siapa Hinata apalagi mengetahui perbuatan beraninya-kini amat dia sesali-yang terkesan sembrono. Hinata tak henti meruntuki dirinya sendiri karena dengan mudah dikalahkan oleh sifatnya yang dia kenal selalu tanpa pikir panjang.
Hinata mengusap wajah gusar. Dia tengah dikalahkan oleh rasa malu yang amat besar. Hinata bahkan berpikir untuk tenggelam di sungai Hi sekarang.
Desahan panjang sukses keluar dari bibir Hinata entah untuk keberapa kali. Dia tidak berniat menghitungnya. Sangat membuang energi otaknya yang tengah kacau ini.
Jemari Hinata mengusap pelan bibir merahnya dengan dada masih bergemuruh gila. Meski tak sehebat saat bibirnya menyentuh Sasuke. Sudah lewat satu jam sejak Hinata kabur, namun sensasi bibir Sasuke saat menggulum bibirnya masih sangat terasa dan membuat dada Hinata sesak karena teriakan tertahan. Hinata gila. Tapi tadi adalah ciuman pertamanya. Kontak fisik paling intim dengan lawan jenis yang pernah dia lakukan. Rasanya sangat baru dan asing. Sulit untuk dijelaskan. Lalu bagaimana jika Hinata mulai melakukan misi sesungguhnya dengan Sasuke? bahkan itu lebih dari ciuman. Menciptakan penerus Uchiha tidak bisa hanya dengan berpegangan tangan atau berciumankan? Mereka butuh melakukan lebih dari itu. Pipi Hinata bersemu memikirkan jalan otaknya yang kejauhan.
Ada penyesalan meninggalkan Sasuke begitu saja karena emosinya yang tiba-tiba terpancing. Sasuke memang kurangajar tapi Hinata lebih gila karena termakan permainan Sasuke. Harusnya dia bisa menjaga kontrol untuk tidak bertindak gegabah. Seperti pergi begitu saja. Hinata pusing memikirkan dirinya jika bertemu dengan Sasuke nanti. Hinata kau payah! Padahal aku sudah bersumpah untuk terlihat keren dan kuat di depan Sasuke. apa-apaan sikapku ini?!
Lagipula tadi Hinata meninggalkan Sasuke sendirian sebelum dirinya selesai dengan pekerjaanya memandikan Sasuke.
"Apa Sasuke sudah pakai bajunya?"
Hinata ragu, tapi tidak mungkin Sasuke tidak pakai baju kan? Setidaknya Sasuke bisa meminta tolong pada suster yang lain untuk itu.
Hinata tak perlu resah karena hal kecil. Sasuke bukan anak-anak lagi.
*******
Bayangan Suster mengganti baju Sasuke hilang tersapu angin dingin Konoha begitu Hinata melihat sosok perempuan berambut merah dengan kaca mata hitam membingkai apik di mata tajam penuh penilaian yang tengah mengancing baju Sasuke. Hinata terdiam di tempat memperhatikan Sasuke dan perempuan itu bergantian. Jelas sekali Hinata tak terlalu kenal dengan perempuan sexy berambut merah tersebut.
"Ah! Hyuga?" sapa perempuan itu, tak bersahabat. Nadanya tinggi dan sinis.
"Dia istrimu, Sasuke-kun?" nadanya berubah manja saat bertanya pada Sasuke. Lengkap dengan raut cemberut yang Hinata nilai sedikit berlebihan.
Hinata yakin perempuan berambut merah itu bukan sembarang orang untuk Sasuke. Lihat saja cara dia menempeli Sasuke dan yang ditempeli tampak tak ambil pusing. Jadi siapa dia?

KAMU SEDANG MEMBACA
AURORA [TAMAT]
Fanfiction[Selesai] Hinata tidak pernah berpikir akan mendapatkan misi konyol hanya untuk menyelamatkan dirinya dari status Bunke. Hokage memberinya misi menikah dengan Uchiha terakhir.