"Aira, ini Iyas anak tante."
Uhuk uhuk aku tersedak ludahku sendiri. Loh bukan suaminya? Mama menyodorkan segelas air putih. Kuteguk sampai habis air putih itu sambil kupukul-pukul dadaku.
"Kamu ga papa Aira?" Tante Ningrum mendekat tampak khawatir.
"Ga papa kok tante, cuma keselek." Aku tersenyum, melirik sekilas kearah pria yang duduk disamping Tante Ningrum.
"Iyas, ini Aira anaknya tante Ambar."
Karena aku sudah tau namanya maka aku sebut saja dia bang Iyas ya. Bang Iyas mengulurkan tangannya. Aku masih bengong, sampai tersadar beberapa detik kemudian ketika mama menyenggol lenganku. Aku sambut uluran tangannya.
"Iyas." Katanya sambil tersenyum. Astaga gantengnya.
"Aira bang." Eh jempol ngapa ni ngusap-usap tangannya si ganteng. Ya elah jempol tau aja lu mana tangan orang ganteng. Inget Aira inget, nih orang yang udah brutal corat coret draft skripsimu. Buru-buru aku lepas tanganku.
Selanjutnya kami sama-sama menyantap makanan yang sudah tersedia. Setelah selesai makan papa asik ngobrol sama bang Iyas, dan mama ngobrol sama tante Ningrum. Aku? Aku ngobrol juga nih, sama layar ponsel tapi.
"Aira, papa mau bicara." Aku meletakkan ponselku diatas meja. Aku alihkan perhatianku pada papa. Duh mau bicara apa nih, perasaanku kok ga enak ya.
"Jadi sebenernya papa, mama sama tante Ningrum sengaja ketemuan malam ini." Papa meneguk minumnya lalu melanjutkan bicara. "Dulu sewaktu SMA kami bertiga dan Almarhum suaminya tante Ningrum yaitu Harun punya perjanjian. Kalau kelak kami punya anak, kami akan menjodohkan anak kami. Yah sebenernya itu cuma perjanjian konyol aja. Tapi tepat setahun yang lalu Om Harun meninggal. Papa dan mama ga dapet kabar, karena tante Ningrum hilang kontak sama kita. Sebelum meninggal om Harun bilang kalau dia pengen jumpa sama kita dan melihat anaknya menikah sama kau Aira. Tapi ya namanya sudah takdir, mau dikata apalagi. Belum sempat ketemu sama kamu, Om Harun sudah berpulang. Sebulan yang lalu ntah dapat kontak papa dari mana, tante Ningrum menghubungi papa. Tante Ningrum menceritakan semuanya dan memohon sama papa supaya kau mau menikah sama anaknya yaitu Iyas, karena itu keinginan terakhir om Harun."
Uhuk uhuk uhuk uhuk. Untuk kedua kalinya aku tersedak kembali.
"Apa tadi uhuk papa bilang? Uhuk menikah?" Tanyaku yang masih terbatuk-batuk.
"Minum dulu Aira." Tante Ningrum menyodorkan air putih kehadapanku. Aku tenggak minuman itu sampai habis. Sehabis pulang dari sini, siap-siap aja bolak balik kamar mandi, pipis mulu shay akibat kebanyakan minum.
"Pelan-pelan Aira." Mama mengusap-usap bahuku.
"Pa, Aira kan masih kuliah." Sebenernya aku ngga terima dan pengen marah. Tapi aku takut diliatin banyak orang dan aku menghormati tante Ningrum. Alhasil cuma kalimat itu yang keluar dari mulutku.
"Iya, papa tau kau masih kuliah. Tapikan tak ada larangan kalau kuliah ga boleh nikah Ra."
"Ma~." Rengekku pada mama.
Mama cuma mengangkat bahu acuh. Kan maen, emakku satu ini. Rela banget kayaknya kalau aku mau di nikahin sama orang. Bukannya dibelain, malah dicuekin.
"Aira, maaf ya kalau ini buat kamu ga nyaman dan terlalu tiba-tiba. Tante cuma mau ngabulin permintaan almarhum suami tante." Duh ngga enak jadinya kalau gini, malah tante Ningrum pasang muka sedih gitu lagi.
"Please, tante mohon ya Aira, kamu mau ya nikah sama Iyas." Tante Ningrum menggenggam tanganku. Aku melirik sekilas seseorang yang duduk disebelah tante Ningrum. Duh bang, sempet-sempetnya ya main ponsel. Disaat emaknya lagi bujuk-bujuk anak gadis orang dia malah bodoh amat. Gantian aku lirik papa dan mamaku. Mereka kompak menganggukkan kepala. Aduh pusing pala barbie.
KAMU SEDANG MEMBACA
ABYASA (Completed)
RomanceDosen Pembimbing (n) Suatu makhluk setengah manusia dan setengah malaikat pencabut nyawa, penyebab utama skripsi tak kunjung selesai dan pemicu depresi. Yah, seperti yang Aira rasakan sekarang, ia sedang pusing dengan skripsinya sendiri. Tak kunjung...