24. Sebuah Pengakuan [2]

1.1K 123 0
                                    

Jika sudah mengetahui satu, maka kenapa tidak jika mengetahui semuanya?

***

Sesuai kesepakatan bersama, mereka menginap satu malam lagi disini. Kini keduanya tengah makan malam. Dimana jam menunjukkan pukul setengah tujuh.

Selesai makan, tak ada hal yang lain. Mereka hanya menonton anime yang ada di laptop Allesya dan memakan camilan sebagai pelengkapnya.

“Selamat malam.” Suara wanita menginterupsi mereka. Allesya yang sudah menghapal suara itu hanya menghela napas gusar. Ia lantas melihat Agil yang terlihat bingung.

“Mama merindukanmu, Nak,” ucapnya sembari memeluk Allesya.

Ya. Dia Fika, Mama Allesya. Seorang desainer ternama dan juga ... seseorang yang tak ingin ditemui Allesya.

Allesya tak membalas pelukannya. “Mama pulang kesini?” tanya Allesya datar.

Fika tersenyum, “Ya. Mama sengaja kesini untuk menemuimu.”

Allesya menampakkan senyum miring yang sangat sinis, “Ada maksud apa?” tanyanya.

Fika terkejut dengan respon anak perempuannya itu, “Setelah lulus sekolah, kamu harus tinggal sama Mama.”

“Sama saudara tiri maksud Mama? Seriously? I can’t.” Allesya menolaknya mentah-mentah.

Agil hanya menyimak, mendengarkan debat antara ibu dan anak itu sembari menelaah semua yang telah terjadi.

“Sayang, mereka menanyakan kamu dan juga Ilham. Mereka dari keluarga yang baik.” Fika membujuk sembari mengelus-elus rambut Allesya. Ia mengimbuhkan dengan sinisnya, “sekarang Mama tanya, apakah keluarga papamu itu pernah menanyakanmu? Bahkan Mama sendiri ragu jika papa kamu menemuimu setelah kita berpisah.”

Allesya tertohok dan menepis tangan Fika dengan kasar, “Aku gak perduli.”

“Oh, ayolah. Papa berengsekmu itu hanya memberimu uang dan mobil. Sedangkan Mama? Mama memberimu uang, dan sekarang Mama menemuimu. Membelai rambutmu. Bukankah itu yang kamu inginkan, Sayang?” tanyanya dengan sinis.

“Jaga ucapan Mama! Mama jangan sok tau. Papa meskipun berengsek itu sering meneleponku, ia sering bertanya tentang kabarku. Sedangkan Mama tidak, bahkan Mama hanya menemuiku sekarang.”

“Aslinya, Mama gak mau susah-susah kesini kalau bukan keluarga Mama yang menanyakan kamu,” ucapnya sembari melihat kuku-kuku cantiknya.

“Ya, kenapa kesini? Silahkan pulang, Nyonya Fika. Pintu rumah saya terbuka lebar. Sungguh, saya tidak membutuhkan Anda.” Allesya berdiri dan menunjuk pintu rumah.

Plak!

Suara tamparan yang sangat keras itu membuat Allesya sedikit memuncratkan darah dari mulutnya.

Memang sekeras itu, ya?

Agil terbelalak. Ia ingin memaki Fika. Namun, Allesya menahannya.

Fika melihatnya dengan senyum sinisnya. Benar-benar wanita yang kejam, bukan? Ia berkata, “Jaga mulut kamu. Kalo gak Mama buat yang lebih dari itu.” Fika menghela napas kasar, “jangan membantah omongan Mama. Mama ini ibu kandungmu. Mama gak mau ngotori tangan Mama buat nampar kamu.”

ALLESYA [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang