"Woi!" Terdapat seseorang yang mengejutkan Allesya dengan teriakan yang sangat keras.Orang itu berlari dengan kencang menuju Allesya. Membuat Allesya terbelalak dan kelimpungan. “Mampus gue!” Allesya celingukan mencoba untuk melarikan diri. Belum sempat ia berlari, orang itu sudah mencekal pundaknya.
“Telat lagi!”
Allesya memutar bola matanya dengan kesal. Ia menghembuskan nafas dan menjawab, “Apasih, terserah gue lah! Minggir sana, Dit, gue mau ke kelas.” Gadis itu membelalakkan matanya menatap Dito dengan sengit.
Dito menggelengkan kepalanya, masih dengan tangan yang memegang pundak Allesya. “Dalam seminggu udah berapa kali lo telat?” tanyanya dengan mata yang memicing.
“Suka-suka gue lah. Masih untung gue mau berangkat sekolah.” Setelah menjawab, Allesya menepis tangan Dito dan berjalan menuju kelas. Sedangkan Dito mengejar Allesya dan mensejajarkan langkahnya.
“Apa untungnya lo berangkat telat?”
Allesya menolehkan kepalanya menatap Dito. Ia berhenti melangkah dan berpikir. Memang, dengan semua ini tidak akan ada manfaatnya justru menyusahkannya. Gadis bertopi itu tidak bisa menjawab. Lantas ia melanjutkan langkahnya lagi.
Melihat respon Allesya, Dito segera merangkul gadis itu sembari berjalan. “Alle, seberapa besar rasa sakit yang lo rasakan, seberapa berat ujian hidup yang menimpa diri lo, dan juga ... seberapa gak adilnya dunia sama lo. Lo gak boleh kayak gini. Hal kayak gini gak bakal bikin lo sukses.” Allesya masih terdiam dengan wejangan yang diberikan Dito.
“Gue lihat lo sejak itu, sekarang berubah total. Dulu lo orang yang baik. Taat aturan. Pinter. Dan masih banyak yang lainnya, deh. Tapi untuk sekarang lo jadi orang yang brutal. Rambut lo warnain, tiap malam clubbing, berangkat sekolah telat. Sekalinya udah dikelas malah tidur.” Dito melirik Allesya dari samping.
Ia melanjutkan, “Dulu lo orang yang disukai banyak orang. Tapi sekarang, justru lo ditakuti sama anak-anak sekolah. Mulai dari waktu lo gebukin cowok kejuruan TKJ karena nyenggol lo. And so, you to be dangerous woman in here.”
“Gue pengen Allesya yang dulu bisa kembali lagi.” pungkas Dito.
Allesya melirik Dito dan melepaskan rangkulannya. “Gue gak perduli.” Ia menggelengkan kepalanya yang kemudian berjalan menuju kantin. Tujuan awalnya yang ingin ke kelas sudah lenyap. Mendengar semua ocehan Dito membuatnya malas untuk beraktivitas.
Gadis itu berjalan santai dengan totebag yang terlampir di lengan kirinya. Banyak tatapan yang melihatnya, karena terdapat kelas yang sedang tidak ada gurunya. Namun, pandangan yang dilontarkan kepadanya tidak sekalipun digubris oleh gadis bertopi yang dingin itu.
“Ini sekolah teknik, bukan sekolah kecantikan. Sok-sokan rambut di warnain,” celetuk seorang siswi yang dibarengi dengan anggukan teman-temannya.
Allesya tidak menggubris dan tetap berjalan dengan pelan.
“Kalo mau ngelonte jangan di sekolahan, njing.” Lagi. Allesya berhenti melangkah tanpa membalikkan tubuhnya mengarah siswi-siswi yang berani menghujatnya.
“Mentang-mentang cantik bisa seenaknya. Cantik luar aja kalo dalamnya busuk, ya, gak guna.”
Tepat di kalimat terakhir, Allesya membalikkan tubuhnya dan berlari menghampiri orang yang mencacinya. Membuat semua orang yang berada di koridor terbelalak ketakutan. Memang hanya tiga orang yang menghinanya, tapi di luar koridor terdapat banyak teman yang menyaksikan.
Semuanya tiba-tiba berlari menuju kelas, tak terkecuali tiga siswi tersebut. Pintu kelas ditutup dengan rapat. Membuat Allesya terengah-engah menahan derunya napas dan juga emosi. Allesya tersenyum miring sembari menengok ke jendela atas yang mana semua teman sekelas itu melihat Allesya dengan ketakutan. Cowok sekalipun.
BRUGH!
Gadis itu tak kehabisan akal. Ia menendang pintu yang terkunci dalam satu kali tendangan. Membuat semua terdiam dan menunduk ketika Allesya telah berhasil masuk kedalam kelas. Memang tak sia-sia dulu ia pernah berlatih pencak silat.
Gadis yang mengenakan totebag warna maroon itu menarik napas dengan dalam sembari membenarkan topinya.
“Jadi ....” Allesya berbicara dengan nada yang dingin dan juga mengintimidasi. Semua orang semakin terlihat menunduk. “Siapa tadi yang menghujat gue? Sini, gue pengen lihat muka lo.” Tidak ada yang berani bersuara dan juga mengaku. Mereka semakin ketakutan dengan nada dingin yang diberikan Allesya.
“Sini, deh. Mau gue kasih tau.” Lagi-lagi tidak ada sahutan.
Allesya meregangkan tangannya yang sedikit pegal sembari berkata, “Santai aja kali. Gak bakal gue tonjok, kok. Paling cuma gue jambak.”
“Kalo gak ada yang ngaku ... semuanya bakal gue jambak, dan yang cowok semuanya bakal gue tonjok.” Allesya tersenyum sangat manis.
Bisik-bisik terdengar dan juga banyak yang mulai saling menunjuk-nunjuk. Para cowok pun tidak kalah heboh. Mereka semua menunjuk tiga gadis yang tadinya mencaci Allesya. Tidak, tidak. Tidak hanya cowok, bahkan semua cewek dikelas terkecuali tiga gadis tadi.
Allesya menghampiri tiga gadis tersebut. Benar saja, mereka terlihat gemetaran. “Oh, jadi para jalang ini yang tadi ngatain gue. Heh, ingat! Meskipun lo kakak kelas, gue gak takut sama lo.” Ia menarik rambut salah satu gadis yang sangat menor.
Allesya membaca nametag yang terpasang. Widya.
“Eeh. Lo ini yang nindas gue dulu itu, kan? Yang waktu itu lo nampar pipi gue dengan keras.” Allesya teringat ketika dirinya baru saja memasuki sekolah ini, ia ditindas oleh tiga kakak kelas. Setelah melihat Widya, sudah dipastikan teman yang lainnya adalah Nesa dan Angel.
Setelah melihat ketiga orang itu, Allesya segera menampar pipi Widya dengan keras. Membuat Widya berteriak kesakitan. “Dulu gue gak sempet bales. Sekarang udah impas, Tante.”
Allesya kemudian menarik lengan Nesa dengan kencang dan juga kasar. Mengingat, dulunya ia diperlakukan seperti ini oleh Nesa. Ia dicengkeram dan dijambak. Gadis itu pun memperlakukan Nesa dengan sama. Ia semakin menekan cengkeramannya dengan menjambak secara bersamaan sehingga Nesa meringis kesakitan. “Ini balesan buat lo, yang gak seberapa.”
“Sini lo!” Gadis bertopi itu memanggil Angel. Allesya mencengkeram dagu Angel dengan kencang. “Gue gak ada rasa sama Bima, sana lo goda kalo dia mau. Dan juga, jaga semua ucapan lo. Ucapan kalian bertiga itu ....” Allesya memiringkan kepalanya melihat Nesa dan Widya, kemudian melihat Angel lagi. Dan mengimbuhkan, “Toxic!” Ia menghempaskan dagu Angel dengan kasar.
Terakhir, Allesya berjalan menuju depan kelas. Baru saja ia membuka mulutnya, tiba-tiba saja terdapat cowok yang memasuki kelas tersebut.
“Allesya ....” jika ada cowok yang memanggil nama gadis itu dengan lengkap, sudah bisa ditebak jika ia adalah Agil. Mantan kekasih sekaligus saudara tiri Allesya.
Panggilan yang didengar Allesya, membuatnya terdiam.
“Udah, ya, gak usah diladenin. Ayo keluar.” Agil mengatakan dengan nada yang sangat lembut dan juga pelan. Belum sempat Allesya menggeleng, Agil mengimbuhkan, “Gue kakak lo juga yang bakal melindungi adik gue.” Agil tersenyum tipis.
Perih rasanya ketika mendengar Agil berbicara seperti itu. Allesya kira, Agil menyusulnya ke kelas karena cowok itu masih mencintainya. Ternyata, hanya sekedar kakak adik.
“Gue gak perduli siapapun kalian. Jika kalian ingin hidup tenang, jangan usik Allesya. Karena, siapapun yang berani nyentuh Allesya sedikit aja. Bakal ada urusan sama gue. Cewek, sekalipun.” Agil melihat Angel, Nesa, dan juga Widya yang menunduk ketakutan.
***
Hai, hai, cemuaaa! Maaf ya baru update. Sibuk sekali soalnya, hehe.Jangan lupa vote dan komen yaaa, jangan jadi silent reader. Mari belajar menghargai karya seseorang, yok!
Makasih udah mau baca ceritaku sampai sejauh ini, dan maaf jika membosankan.♥
KAMU SEDANG MEMBACA
ALLESYA [END]
Teen FictionAmazing cover by : @seulwoonbi "Gue ingin bahagia, tapi kebahagian sangat sulit untuk mendekat kearah gue. Kebahagian seakan-akan berpaling ketika gue berusaha meraihnya," ucap Allesya ditengah isakannya. Agil mengeratkan pelukannya, ia mengusap pun...