B A B 2

5.2K 493 31
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

•••

Calon Pilihan Bunda

•••

"Hati-hati dengan hati. Salah sedikit saja kamu dalam memperlakukannya, maka akibatnya sangatlah besar."

-Cemburunya Bidadari-

•••

"Udah adzan, Bun. Abang mau ke masjid dulu," ucap Fikri dengan maksud mengusir bundanya dengan halus dari kamarnya.

"Tapi kamu mau kan, Bang, kalo bunda cariin jodoh?" desak Rumi.

Fikri hanya mengangguk, mengiyakan. Karena jika tidak, maka perbincangan akan berbuntut panjang. Bisa-bisa dia nanti ketinggalan berjamaah di masjid.

Selepas itu, Rumi keluar dari kamar anak ke duanya. Fikri bisa bernapas lega, dan mulai bersiap untuk pergi ke masjid komplek.

Beberapa minggu ini, bundanya kerap sekali mendesaknya untuk segera mencari pendamping hidup. Padahal dia sendiri belum lah lulus kuliah. Masih jauh jika berpikir ke arah pernikahan. Baginya, sukses dulu lebih penting sebelum mengajak anak orang untuk hidup bersama. Karena dia tidak ingin isterinya nanti hidup susah jika dia belum mapan. Fikri selalu berpemikiran, jika dia memang sudah benar-benar siap, maka harus tidak ada lagi kendala yang menghalangi nantinya. Memanglah harta tidak begitu penting dalam konteks ini. Hanya saja bagi Fikri, hal itu menjadi modal dasar sebelum sebuah kesiapan. Bukan hanya tanggungjawab perihal keimanan istrinya yang nanti menjadi tanggungannya, tapi juga mencakupi seluruh biaya hidupnya. Fikri hanya tidak mau, mengajak anak gadis orang hanya untuk hidup serba keterbatasan dengannya. Gengsinya besar. Bayangkan saja, seorang ayah rela membanting tulang bekerja siang dan malam demi memenuhi kebutuhan anak gadisnya, lalu dengan sangat tidak tahu diri dia mengajak anak gadis itu untuk hidup susah dengannya? Maka Fikri akan sangat tegas menjawab tidak. Kehidupan istrinya kelak haruslah dalam zona yang layak, karena dia akan melanjutkan estafet tanggungjawab seorang ayah terhadap puterinya.

Di sisi lain, hatinya masih meragu. Fikri takut jika menikah dengan terburu-buru dan dalam hati yang tidak menentu. Dia takut jika nyatanya hatinya belum bisa berpaling, dari sosok yang selama ini mengendap dalam hati. Karena jika itu semua sampai benar-benar terjadi, maka jadilah dia suami yang sangat tidak tahu diri karena menikah tanpa hati yang condong terhadap pasangan.

Subuh kali ini Fikri pergi ke masjid sendiri. Karena papanya yang  kebetulan mendapatkan sif malam.

Namun dugaannya ternyata salah, begitu  keluar dari rumah, saat itu pula bertepatan dengan Fawwaz, Rendra mertua Fawwaz, dan Zidan adik ipar Fawwaz yang juga akan berangkat ke masjid.

Fikri tersenyum ramah menyapa mereka, sebelum akhirnya mereka berjalan bersama menuju masjid yang hanya membutuhkan waktu sekitar lima menit jika berjalan kaki.

"Bunda bilang, lo lagi nyari calon istri?" tanya Fawwaz memecah keheningan. Mereka berdua berjalan beriringan.

"Gak usah kenceng-kenceng juga kali, Bang," pintanya, karena takut pertanyaan Fawwaz menarik perhatian Rendra dan Zidan yang berjalan di depan.

Fawwaz terkekeh melihat reaksi adiknya. Ditepuknya bahu Fikri dengan pelan, "Kenapa mesti malu?"

Fikri terlihat  kesal, tanpa menimpali.

Begitulah sikapnya beberapa tahun terakhir ini. Terkesan dingin, dan jauh. Fikri yang terbiasa ceriwis kini lebih banyak diam.

"Gue rasa, lo juga udah cocok nikah, Dek."

Cemburunya BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang