B A B 3 2

2.5K 310 104
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

...

Seperti Ibunda Khadijah

...

"Dalam kesempatan ini kita hanya diizinkan untuk saling menyapa. Bukan untuk saling bercanda, apalagi menyusun skenario bersama. Alasannya cukup sederhana. Karena nyatanya, aku dan kamu tidak pernah ditakdirkan untuk benar-benar bersama."

-Cemburunya Bidadari-

...

Tiga lampu merah sekaligus Fikri langgar, tidak peduli dengan peringatan ataupun umpatan yang dilontarkan oleh pengemudi lain. Karena fokusnya sekarang hanyalah sampai di tempat tujuan dengan segera. Tidak lagi mau menunda, apalagi menggagalkan. Sudah sedari lama dia menunggu momen ini, momen dimana dia bertemu kembali dengan seorang gadis yang telah sukses mengacaukan hidupnya.

Gerimis yang awalnya hanya sebuah rintik, kini telah berubah menjadi sebuah lebat yang membanjiri tanah. Beruntung, Fikri sudah sampai di tempat tujuan.  Setelah memarkirkan si Jaguar, Fikri segera menerobos pintu masuk. Mulai mengedarkan pandangannya guna memonitor sekeliling. Dan tepat pada saat dia menangkap sosok seorang gadis yang duduk membelakanginya di sebuah bangku pojok, Fikri segera menghampiri ketika yakin bahwa itu adalah Gwena.

Namun, semakin dekat, langkah Fikri semakin melambat. Detak jantungnya berdebam dengan kencang, keseimbangan tekanan di dalam paru-parunya membuat rongga dadanya berkontraksi, mengembang kempis dengan napas yang menderu. Dari jarak dekat, Fikri bisa melihat, seorang gadis yang tertunduk dengan tangan yang saling bertautan di atas meja.

"Assalamualaikum," ucapnya dengan suara senormal mungkin.

"Waalaikumsalam." Jawaban salam itu tidak kalah lirih.

Gwena mendongak, netranya bertubrukan dengan pandangan Fikri. Demi menyelamatkan kinerja jantungnya, Gwena lebih memilih untuk kembali menunduk, sedangkan Fikri mulai duduk di hadapan Gwena. Mereka dihalangi oleh meja persegi kecil yang menjadikan jarak. Di atas meja, sudah terhidang segelas kopi yang masih mengepulkan asapnya. Rupanya, Gwena masih ingat apa minuman kebiasaannya. Dengan samar, Fikri tersenyum. Merasa ada letupan-letupan kecil kala tahu bahwa Gwena masih perhatian terhadapnya.

"Gwen...."

"Iya."

"Kenapa kamu menghilang?" Tanya Fikri dengan lirih. Tanpa mereka sadari, panggilan yang terbiasa menggunakan 'gue' dan 'lo' kini sudah berganti secara otomatis.

Gwena hanya terdiam, pandangan matanya menatap jauh ke luar jendela. Fikri geram, tidak suka jika Gwena sudah dalam mode irit bicara. Baginya, Gwena adalah gadis ceriwis yang tidak punya rem dalam bercakap. Bukannya seperti maneken yang hanya diam dan membisu.

"Gwe—"

"Karena aku tahu, Kang Fikri pasti sudah mendengar cerita yang sebenarnya." Ujar Gwena memotong ucapan Fikri.

Fikri memilih diam, terlebih saat melihat sebuah linangan di pelupuk mata Gwena. Hatinya terasa perih.

"Kalo Kang Fikri ingin bertanya, apakah cerita itu benar? Aku akan menjawab, iya."

Tubuh Fikri tehempas pada sandaran kursi. Jadi benar, Gwena memang seperti gadis yang bundanya tuduhkan?

"Maaf kalo aku gak jujur sama Kang Fikri, karena memang aku gak inget sama sekali kejadian malam itu. Dan kemarin, aku bertemu dengan temanku yang datang bersama ke club. Dia mengatakan, kalo aku memang bertemu dengan seorang wanita malam itu di depan minimarket. Dan wanita itu adalah ibumu. Wanita yang aku maki dalam keadaan mabuk itu ibumu."

Cemburunya BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang