B A B 6

4K 352 18
                                    

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

•••

Semua Demi Bunda

•••

"Kita memang memiliki kuasa untuk memilih, seperti apa dan bagaimana seseorang yang akan memebersamai kita dalam meraih ridha-Nya. Namun apa daya, jika restu orangtua lebih penting ketimbang cinta yang fana."

-Cemburunya Bidadari-

•••

"Gimana, Bang?"

Fikri berdehem sebentar dengan merubah posisi duduknya. Saat ini Rumi tengah duduk menyidang anak lelaki keduanya.

"Insyaallah Fikri akan coba."
     
Senyum merekah seketika di bibir Rumi. Dia sangat puas dengan jawaban sang putera. Fikri memang selalu menuruti keinginannya. Itu yang menjadi nilai istimewa tersendiri di mata Rumi.
       
Ridha Allah ada padanya. Restunya memudahkan kaki dalam melangkah. Kebahagiaan akan dirasa jika membahagiakannya. Dia sosok wanita tangguh yang telah mengorbankan hidup matinya untuk kita.

Permintaannya adalah sebuah titah, patuh kita adalah bahagianya, senyum kita adalah semangatnya, dan duka kita adalah lukanya.

Tak bisa rasanya jika menolak, barang berucap 'ah' atau 'tidak'. Itulah yang Fikri rasakan. Saat hampir semua penduduk bumi sangat mudah menentang, justru dia sangat sulit.

Dalam kecintaan dan  kepatuhannya kepada seorang ibu, maka Fikri akan meneladani sosok Uwais Al-Qarni. Sosok yang tidak dikenal di bumi, namun terkenal di langit karena kepatuhan dan kecintaannya terhadap seorang ibu.

Ibunya hanya minta dia untuk berta'aruf dengan seorang gadis. Itu adalah permintaan yang tidak memberatkan. Karena secara gamblang dia tidak dirugikan dalam sisi manapun. Malah, dia akan mendapat untung jika memang wanita pilihan ibunya itu benar-benar jodohnya.

Hanya itu, tidak lebih. Masih pantas untuk menolak?

Pasti tidak.

Permintaan ibunya adalah permintaan sederhana dan berlandaskan untuk kebaikannya.

Jika dibandingkan dengan kisah Uwais Al-Qarni, pastilah Fikri jauh lebih beruntung.

Disaat orang lain menunggangi unta sebagai kendaraannya. Uwais yang tidak mempunyai apa-apa bahkan untuk perbekalanpun, rela menggendong ibunya yang sudah sakit-sakitan untuk bertolak dari Yaman menuju Mekkah guna mengabulkan permintaan ibunya yang ingin beribadah haji. Jalan yang dia lalui tidak lah mudah. Dengan menggendong sang ibu Uwais harus melewati padang pasir yang sangat panas. Sudah tergambar jelas besar sekali pengorbanan dan kasih sayangnya kepada sosok yang menjadi surga untuknya itu.

Mencontoh dari kisah tersebut, harusnya kita malu. Apa yang sudah kita berikan untuk ibu? Di zaman yang semakin canggih ini melakukan apapun serba instan. Disuruh membeli garam ke warung, tinggal menunggangi motor. Disuruh mencuci pakaian, tinggal menggunakan mesin cuci. Disuruh ibu membantu mengulekkan bumbu masakan, tinggal menggunakan blender. Dari semua itu harusnya kita malu. Malu jika berkata, "Ah ibu mah, nyuruh-nyuruh terus." Harusnya kita bangga, karena itu artinya kita sangat dibutuhkan oleh ibu. Itu tandanya ibu sudah percaya bahwa kita sudah dewasa dan percaya bahwa kita bisa.

Tapi faktanya, itu semua sangat sulit. Apalagi jika kita sudah dihadapkan dengan setan gepeng. Gatal rasanya jari ini jika tidak memijitnya. Sehingga titah dari orangtua seringkali kita abaikan. Kita lebih senang berselancar di dunia maya. Mengikuti trend kekinian agar tidak terlihat ketinggalan zaman. Tanpa sadar, bahwa kita sendiri sudah tertinggal rombongan menuju surga karena terlalu asik mengurusi urusan dunia. Naudzubillah himindzalik.

Cemburunya BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang